Rabu, 08 Januari 2014

sejarah sastra periode 1933-1942

BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang Masalah
Beberapa orang penelaah sastra Indonesia telah mencoba membuat babakan waktu (periodisasi) sejarah sastra Indonesia. Meskipun di antara para ahli dan sarjana itu ada persamaan persamaan yang menyolok dalam membagi-bagi babakan waktu sejarah Indonesia, namun kalau diteliti lebih lanjut maka akan tampak bahwa masing-masing periodisasi itu menujukan perbedaan-perbedaan yang menyolok juga, baik istilah maupun konsepsinya (Ajip Rosidi, 1986:11).
Pernyataan tersebut menejelaskan bahwa kesusastraan di Indonesia mengalami perkembangan dari masa ke masanya.perkembangan tersebut tentunya mempengaruhi ragam sastra terutama cirri khas dari masing-masing pengarang yang sesuai dengan jamannya pada waktu itu.
Ajip Rosidi dalam bukunya Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Ajip Rosidi, 1986:11-12) membagi pembabakan waktu sejarah sastra Indonesia sebagai berikut:
1.      Masa Kelahiran atau Masa Penjadian (kurang lebih 1900-1945) yang dapat dibagi lagi menjadi beberapa periode, yaitu:
1)      Periode awal hingga 1933;
2)      Periode 1933-1942;
3)      Periode 1942-1945;
2.      Masa Perkembangn (1945-hingga sekarang) yang lebih lanjut dapat pula dibagi menjadi beberapa periode sebagai berikut:
1)      Periode 1945-1953;
2)      Periode 1953-1961;
3)      Periode 1961-samapi sekarang)
Dari pernyataan tersebut penulis mencoba mengkaji perkembangan sastra pada masa eriode 1933-1942 sebagi materi dengan rumusan masalah.

1.2   Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang
1.      Bagaimana peristiwa serta perkembangan kesusastraan Indonesia periode 1933-1942?
2.      Siapa dan karya apa saja yang lahir pada perkembangan kesusastraan Indonesia periode 1933-1942?
3.      Bagaimana dampak kepengarangan terhadap perkembangan kesusastraan Indonesia 1933-1942?

1.3   Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui peristiwa dan perkembangan kesusastraan Indonesia periode 1933-1942.
2.      Untuk mengetahui siapa dan karya apa saja yang lahir pada perkembangan kesusastraan Indonesia periode 1933-1942.
3.      Untuk mengetahui dampak kepengarangan terhadap perkembangan kesusastraan Indonesia 1933-1942.










BAB II
LANDASAN TEORI

            2.1 Pegertian Sastra
Secara harfiah, kata sastra berarti ‘huruf, tulisan, dan karangan’. Lalu karena tulisan atau karangan biasanya berwujud buku, maka sastra berarti juga ‘buku’. Dalam pengertian kesusastraan lama, istilah sastra berarti juga buku, naik yang berisi tentang dongeng, pelajaran agama, sejarah, maupun peraturan perundang-undangan. (Sugiantomas, 2011:7)
Dalam bahasa inggris, sastra disebut litterature yang diambil dari bahasa latiin litteretura, perkembangan dari kata litera yang berarti ‘tulisan’. Sedangkan menurut Webster, sastra merupakan wujud pernyataan manusia tentang sesuatu subyek yang dijelmakan dengan bahsa tulis, dan mengandung nilai-nilai abadi yang universal. (Sugiantomas, 2011:7)
Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa (Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan, 1989 : 3, 109). Dan pengertian sastra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah, bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yg dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari).
Sehingga ditarik kesimpulan dari uraian di atas yang menyatakan bahwa, sastra adalah hasil kegiatan kreatif manusia yang dituangkan ke dalam media bahasa (kata-kata, gaya bahasa) baik lisan maupun tulisan. Sugoantomas (2011:9). Sebuah karya seni yang dapat dikatakan sebagai karya yang bernilai sastra bukan hanya karena bahasa indah, beralun-alun, penuh dengan irama dan perumpamaan, melainkan harus dilihat secara keseluruhan, dari nilai-nilai estetika, nilai-nilai moral, dan nilai-nilai konsepsi yang tedapat dalam karya sastra tersebut.

            2.1 Ilmu-ilmu Sastra
Ilmu-ilmu sastra meliputi tiga macam cabang ilmu di dalamnya, yakni teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Dari ketiga ilmu sastra tersebut memiliki objek penelitian tertentu, antara teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra. Tetapi masing-masing dari cabang ilmu sastra ini memiliki keterkaitan satu sama lain di dalam bidang kesusastraanya.
2.2.1    Teori Sastra
Teori sastra ialah menyelidiki dasar-dasar yang bersangkut paut dengan sastra, misalnya hakikat sastra, fungsi sastra, jenis sastra, aliran-aliran sastra, masyarakat sastra dan unsur-unsur pembangunan yang lainnya. Hakikat sastra adalah perwujudan dari sebuah seni, hasil karya cipta manusia yang berwujud karya sastra (Sugiantomas, 2011:1). Karya seni sebagai ungkapan kreatif seniman tidak mungkin dihindari lagi keberadaannya. Secara sadar atau tidak, kehadirannya telah menjadi bagian dalam kehidupan ini. Dan yang membedakan satu karya seni dengan karya seni lainnya tidak lain adalah media atau alatnya. (Sugiantomas, 2011:5).
Bentuk-bentuk sastra didalamnya dapat digolongkan menjadi tiga bentuk, yakni puisi, prosa, dan drama. Bentuk sastra berarti cara dan gaya dalam penyusunan dan pengaturan bagian-bagian karangan; pola structural karya sastra (Sujiman, 1984:12). Puisi ialah bentuk karya sastra yang diungkapkan dengan gaya dendang. Prosa adalah karya sastra yang diungkapkan dengan gaya cerita. Drama adalah karya sastra yang diungkapkan dengan gaya dialog. Dan sedangkat masyarakat sastra dibagi menjadi kedalam empat kelompok, yaitu sastrawan, penikmat sastra, pengkaji sastra, dan penerbit sastra atau media masa.
Sastrawan merupakan pekerja kreatif yang menuangkan idenya melalui media bahasa serta memilih bentuk – bentuk sastra sesuai selera, baik bentuk puisi, prosa maupun naskah drama. Penikmat sastra ialah mereka yang terlibat baik secara aktif atau pasif dalam kegiatan kesusastraan. Pengkaji satra ialah mereka yang merupakan penikmat satra aktif yang melangkah lebih jauh lagi mempelajari karya satra sebagai sasaran kajian (studi). Satu lagi yang harus diperhatikan dalam masyarakat satra yaitu penerbit atau media masa, ialah mereka yang menerbitkan baik suatu karya satra ataupu suatu kajian sastra. Tanpa adanya penerbit atau media masa maka siklus masyarakat satra, sastrawan – penikmat sastra – pengkaji sastra akan terhenti.

2.2.2    Sejarah Sastra
Cabang ilmu sastra yang berusaha menyelidiki perkembangan sastra sejak dari mula pertumbuhannya sampai perkembangannya sekarang. Sejarah sastra dibahas periode-periode kesusastraan, aliran-aliran, jenis-jenis, pengarang-pengarang, dan juga reaksi pembaca. Semua itu dihubungkan dengan perkembangan di luar sastra seperti, sosial, politik, dan filsafat. Jadi, sejarah sastra meliputi penulisan perkembangan sastra dalam arus sejarah dan di dalam konteksnya. (Luxemburg, 1984:202-212). Pengetahuan atau uraian tentang peristiwa kesastraan yang terjadi di masa lampau serta perkembangannya sampai dengan sekarang. (Jaelani, 2013:6).

2.2.3    Kritik Sastra
Karya satra adalah bidang garapan yang perlu dipelajari dengan seksama karena kebutuhan akan bidang itu ternyata sangat penting dalam kehidupan dunia apresiasi sastra. Suatu kritik sastra akan tercipta setelah orang mengenal, merenung, dan bertanya apa hakikat karya satra. Suatu karya sastra bisa hidup tanpa adanya kritikan sastra, sementara suatu kritikan sastra mustahil hidup tanpa adanya suatu karya sastra. H.B.Jassin mengutarakan bahwa kritik sastra adalah pertimbangan baik buruk suatu hasil kesusastraan, yang terkutip dari buku kajian prosa fiksi & drama (Sugiantomas, 2012:8). Sedangkan Andrea Harjana yang terkutip dari buku kajian prosa fiksi & drama (Sugiantomas, 2012:8) mengatakan bahwa kritikan sastra merupakan hasil usaha mencari nilai hakiki karya sastra melalui pemahaman, penafsiran dengan sistematik dalam bentuk tulisan.

Ada beberapa hal yang menjadi ciri dari kritik satra yaitu:
1.   Tidak bisa pendek
2.   Berbentuk prosa
3.   Bersifat objektif
4.   Bersifat memberikan penilaian baik buruk karya satra
5.   Sistematis
                       
2.3   Sejarah Sastra
Sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa, misalnya sejarah sastra Indonesia. Dalam pengertian dasar itu tampaklah bahwa objek sejarah sastra adalah segala peristiwa yang terjadi pada rentang masa pertumbuhan dan perkembangan suatu bangsa. Peristiwa yang dimaksud dalam sejarah sastra adalah peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan kesusastara, yaitu yang bersangkutan dengan lahirnya karya-karya sastra, pengarangnya, kualitas karya, munculnya konsep-konsep baru, serta situasi sosial-budaya-politik yang melatar belakangi terjadinya peritiwa penting tersebut. Jadi yang dimaksud sejarah sastra adalah pengetahuan atau uraian tentang peristiwa kesastraan yang terjadi di masa lampau serta perkembangannya sampai dengan sekarang.
Menurut K. S Yudiono (2007:11) yang dikutip dari buku (Jaelani, 2013:10) memaparkan bahwa secara sederhana dapat dikatakan bahwa sastra Indonesia ialah sastra berbahasa Indonesia. Sedangkan dari Soemawidagda dalam Surwadadi (1994:13-14) mengungkapkan pengertian sastra Indonesia sebagai berikut:
1.      Ditulis pertama kalinya dalam bahasa Indonesia.
2.      Masalah-masalah yang dikemukakan didalamnya haruslah masalh-masalah Indonesia.
3.      Pengarangnya haruslah berbangsa Indonesia.
Dan Surwadadi (1994:14) yang dikutip dari buku (Jaelani, 2013:10) mengungkapkan bahwa sastra Indonesia ialah sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia. Jadi unsur persyaratannya ada dua, yakni media masa bahasanya bahasa Indonesia dan corak isi karangannya mencerminkan sikap dan watak Indonesia didalam memandang sebuah masalah.
Berdasarkan uraian diatas, maka kiranya perlu dibedakan dan ditegaskan beberapa pengertian istilah – istilah seperti berikut ini:
1.      Sastra indonesia adalah sastra yang diungkapkan dalam bahasa indonesia dan memiliki ciri – ciri khas budaya indonesia.
2.      Sastra daerah adalah sastra yang diungkapkan dalam bahasa daerah dan memiliki ciri – ciri khas kebudayaan daerah.
3.      Sastra asing adalah sastra yang diungkapkan dalam bahasa asing dan memiliki ciri – ciri khas kebudayaan asing.
4.      Sastra terjemahaan adalah sastra yang dihasilkan dari karya satra orang lain yang sudah ada, dengan cara menerjemaahkan bahasa karya satra itu kedalam bahasa yang lain.
5.      Sastra seduraan adalah sastra yang dihasilkan dari karya sastra yang sudah ada dengan car mengungkapkannya kembali dengan gaya bahasa yang lain tanpa mengubah idenya.



2.4   Sejarah Sastra Indonesia Periode 1933-1942
Sekitar tahun 1920 dikenal majalah, dan diantaranya juga yang mwmuat karangan-karangan berupa cerita, sajak, serta karangan-karangan tentang sastra seperti majalah, Sri Poestaka (1919-1941), Pandji Peostaka (1919-1942), Jong Sumatra (1929-1926), dan lain-lainnya, tetapi hingga awal tahun 1930-an niat para pengarang untuk menerbitkan majalah khususnya kebudayaan dan kesustraan belum juga terlaksana. Tahun 1930 terbit majalah Timboel (1930-1933) yang awal mulanya dalam bahasa Belanda dan di tahun 1932 terbit edisi bahasa Indonesia dengan Sanusi Pane sebagai redaktur. Tahun 1932, Sultan Takdir Alisjahbana bekerja di Balai Pustaka mengadakan rubrik ‘Menuju Kesusastraan Baru’ dalam majalah Pandji Poestaka.  Di tahun 1933, Armijn Pane, Amir Hamzah dan Sutan Takdir Alisjahbana berhasil mendirikan majalah Poedjangga Baroe (1933-1942 dan 1949-1953). ). Pada mulanya keterangan resmi tentang majalah itu berbunyi “majalah kesusastraan dan bahasa serta kebudayaan umum”, tetapi sejak tahun 1935 berubah menjadi “pembawa semangat baru dalam kesusastraan, seni, kebudayaan dan soal masyarakat umum” dan sejak 1936 bunyinya berubah pula menjadi “pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia”.
Dalam siaran yang ditanda tangani oleh Armijn Pane, Amir Hamzah dan Sutan Takdir Alisjahbana menjelang penerbitan majalah tersebut dapat kita baca dari kalimat : “Dalam zaman kebangunan sekarang inipun kesusastraan bangsa kita mempunyai tangungan dan kewajiban yang luhur. Ia menjelmakan semngat baru yang memenuhi masyarakat kita. Ia harus menyampaikan berita kebenaran yang terbayang-bayang dalam hati esgla bangsa Indonesia yang yakin akan tibanya masa kebesarannya itu.”
Segeralah majalah  Poejangga baroe menjadi tempat berkumpul kebudayawan, seniman dan cendekiawan Indonesia. Dalam lingkungan majalah itu munculnya nama-nama Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Mr. Sumanang, Mr. Amir Sjarifuddin, Mr. S. Muh. Sjah, Dr. Ng. Poerbatjaraka, W.Z.S Poerwadaminta, H.B. Jassin, dan yang lainnya sebagai anggota redaksi. Nama- nama itu silih berganti kecuali Sutan Takdir Alisjahbana yang masih duduk memegang kemudi redaksi. Sedangkan para pembantunya datang dari segala penjuru tanah air dan berasal dari segala golongan serta suku bangsa : Dr. M. Amir (Tanjungpura), L.K Bohang (Jakarta), M.R. Dajoh (Bogor), Fatimah H. Delais (Palembang), Muhammad Dimjati (Solo), Karim Halim (Padang), Ali Hasjmy (Seulimeum, Aceh), Intojo (Rangkasbitung), Aoh K.Hadimadja (Parakan Salak), Or. Mandank (Medan), Selasih (Padangpanjang), Sutan Syahrir (Bandaneira), Suwandhi (Yogyakarta), J.E Tatengkeng (Ulu-siau), AM. Thahir (Ujungpandang), I. Gusti Njoman P. Tisna (Singaraja), dan yang lainnya. Majalah Poedjangga Baru  terbit dengan setia meskipun pegorbanan dan keuletan Sutan Takdir Alisjahban bukan tanpa kesulitan maplahnya sekitar 500 eksemplar setiap terbit dan langganan yang membayar hanya 190 orang kerugian ditanggung oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane. Ketika Jepang masuk ke Indonesia majalah  Poejangga Baroe segera dilarang terbit karena dianggap “kebarat-baratan” tetapi setelah Indonesia merdeka majalah ini diterbitkan kembali oleh Sutan Takdir Alisjahbana dengan staf redaksi diperkuat dari tenaga muda seperti Chairil Anwar, Rifa’I Apin, Asrul Sani, Achdiat K. Mihardija, Dodong Djiwapradja, Harijadi S. Hartowadojo, S.Rukiah dan yang lainnya. . Majalah ini terus terbit sampai tahun 1953 kemudian dihentikan penerbitannya dan Sutan Takdir Alisjahbana menerbitkan majalah baru bernama Konfrontasi (1954-1962).
Kelahiran majalah poedjangga baru yang banyak melontarkan gagagsan gagsan baru dalam bidang kebudayaan itu bukan tidak menimbulkan reaksi. Sutan Takdir Alisjahbana dalam sebuah esainya dalam tahun pertama (1933) menulis antara lain: “Bahasa Indonesia ialah bahasa perhubungan yang berabad-abad tumbuh perlahan-lahan dikalangan penduduk Asia Selatan dan yang setelah bangkitnya pergerakan kebangunan rakyat Indonesia pada permulaan abad dua puluh dengan insaf diangkat dan dijungjung sebagai bangsa persatuan” sikap ini menimbulkan reaksi dari para tokoh baha yang erat berpegang kepada kemurnian bahasa Melayu tinggi. Maka terjadilah polemic tentang bahasa yang tidak hanya dimuat dalam majalah pujangga baru saja, melainkan juga meluas dalam surat-surat kabar dan majalah-majalah yang terbit pada masa itu.
Polemic golongan pujangga baru dengan kaum tua itu tidak hanya mengenai bahasa saja karena gerakan pujangga baru bukanlah hanya gerakan bahasa dan sastra belaka. Juga mengenai soal-soal lainnya seperti kebudayaan, pendidikan, pandangan hidup kemasyarakatan terjadi polemic yang seru. Sulta Takdir yang pro barat dan mengatakan bahwa hanya dengan jalan mereguk ilmu dan roh barat dengan sepuas-puasnya sajalah kita dapat mengimbangi barat, ia berhadapan dengan doctor.Soetomo (1888-1938), Ki Hadjar Dewantara (1889-1958) dan lain-lain yang hendak mempertahankan tradisionalisme yang dianggap sebagai kepribadian bangsa. Sanusipane yang juga turut aktif dalam polemic-polemik itu akhirnya menyatakan bahwa baginya manusia (Indonesia) baru haruslah merupakan campuran antara Faust (yang dianggap mewakili roh kerpibadian barat) dengan Arjuna (sebagai wakil roh kepribadian timur). Sebelumnya Sanusipane dikenal sebagai seorang yang sangat mempertahankan timur dalam menghadapi Sultan Takdir.
           














BAB III
PEMBAHASAN

            3.1 Peristiwa Sastra Periode 1933-1942
1). Lahirnya Majalah ’Pujangga Baru’.
 Majalah mulai dikenal pada tahun 1920 yang memuat karangan-karangan berupa cerita, sajak. Ada juga karangan-karangan tentang sastra seperti majalah Sri Poestaka (1919-1941), Pandji Poestaka (1919-1942), Jong Sumatra (1920-1926). Pada pertengahan tahun 1930an terbit majalah Timboel (1930-1933) yang mula-mula dalam bahasa Belanda, kemudian pada tahun 1932 terbit juga edisi bahasa Indonesia dengan Sanusi Pane sebagai RedakturPada tahun 1933, Armijn Pane, Amir Hamzah dan Sutan Takdir Alisjahbana berhasil mendirikan majalah Poedjangga Baroe (1933-1942 dan 1949-1953). Mulanya keterangan resmi tentang majalah itu berbunyi  “majalah kesustraan dan bangsa serta kebudayaan umum”, tetapi sejak tahun 1935 berubah menjadi ”pembawa semangat baru dalam kesustraan, seni, kebudayaan, dan soal masyarakat umum”dan tahun 1936 bunyinya berubah pula menjadi “ pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebuayaan persatuan Indonesia”.
Tokoh-tokoh yang berkecimpung di dalam lingkungan majalah Poedjangga Baroe ialah Sultan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Amir Hamzah, dan J.E Tatengkeng.

2). Pujangga baru yang dilarang terbit.
Ketika Jepang masuk dan menduduki Indonesia, majalah Poejangga Baroe ini segera dilarang terbit karena dianggap “kebarat-baratan”. Tetapi setelah Indonesia merdeka, majalah ini diterbitkan kembali oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan staf redaksi yang diperkuat oleh tenaga muda seperti. Chairil Anwar, Rivai Apin, Asrul Sani, Achdiat K. Mihardja, Dodong Djiwapradja, Harijadi S. Hartowardojo ,S. Rukiah dan lain lain.

3). Adanya Polemik.
Polemik golongan pujangga baru dengan kaum tua itu tidak hanya mengenai bahasa saja, karena gerakan pujangga baru bukanlah hanya gerakan bahasa dan sastra belaka. Juga mengenai soal-soal lainnya seperti kebudayaan, pendidikan, pandangan hidup kemasyarakatan terjadi polemic yang seru. Sutan Takdir yang pro barat dan mengatakan bahwa hanya dengan jalan mereguk ilmu dan roh barat sepuas-puasnya sajalah kita dapat mengimbangi Barat, merupakan seorang polemis yang tajam dan bersemangat. Ia berhadapan dengan Dr. Soetomo (1888-1938),  Ki Hajar Dewantara (1889-1958), yang hendak mempertahankan tradisionalisme yang dianggap sebagai keprbadian bangsa. Sanusi Pane yang juga turut aktif dalam polemik-polemik itu akhirnya menyatakn bahwa baginya Manusia (Indonesia) baru haruslah merupakan campuran antara Faust (yang dianggap mewakili roh kepribadian Barat) dengan Arjuna (sebagai wakil roh kepribadian Timur).
           
                        4). Para Pengarang Balai Pustaka
Sastra Balai Pustaka tidak muncul dari masyarakat Indonesia secara bebas dan spontan. Sastra ini dimunculkan dan diatur oleh pemerintah jajahan Belanda di Indonesia. Sastra ini penuh dengan syarat-syarat dan ditulis dengan maksud-maksud tertentu, yang akhirnya bermuara bagi kepentingan politik jajahan. Dari sudut ini dapat dikatakan bahwa sastra Balai pustaka bukanlah hasil ekspresi bangsa secara murni. seperti yang dijelaskan oleh Sumardjo (1992:31) bahwa:
Sastra balai pustaka adalah sastra bertendens, yakni sstra yang ditulis untuk maksud-maksud praktis tertentu, dalam hal ini adalah mendidik bangsa Indonesia agar menjadi pegawai negeri yang patuh dan tidak ambisius sehingga ingin menyamai orang-orang belanda.

Balai Pustaka adalah suatu badan yang merupakan penjelmaan dari “Commissie voor de Volkslectuur” atau dalam bahasa indonesianya: “ Komisi Untuk Bacaan Rakyat” yang berkedudukan di Jakarta dan dibentuk oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908. Komisi untuk bacaan rakyat didirikan, juga disebabkan politik ethis Belanda, politik balas jasa, untuk mengambil hati rakyat Indonesia. Tujuan dibentuknya Komisi Bacaan Rakyat ialah:
1. Membendung dan memberantas bacaan cabul yang diedarkan oleh penerbit partikelir.
2. Mencegah beredarnya bacaan yang membahayakan kedudukan pemerintah penjajah belanda.
3. Menjual buku-buku bacaan dengan harga yang semurah-murahnya, agar penerbit partikelir menjadi bangkrut.
4. Menerbitkan buku bacaan yang dianggap bermanfaat bagi kepentingan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. 
Pengarang Balai Pustaka Nur Sutan Iskandar. Karena ia minat dan perhatiannya kepada dunia karang-mengarang, meninggalkan kedudukannya sebagai guru dan melamar ke Balai Pustaka. Dan I Gusti Njoman Pandji Tisna dalam tahun 1935 oleh Balai Pustaka diterbitkan sebuah roman berjudul Ni Rawit Ceti Penjual Orang yang melukiskan kebengisan masyarakat feudal di Bali. Dan pengarang-pengarang baru pun muncul sebagai pengarang roman yang penting seperti I Gusti Nyoman Pandji Tisna, Suman Hs, Aman Dt. Madjoindo dan lain-lain.





            3.2 Karya Sastra dan Pengarang Periode  1933-1942
1. Sutan Takdir Alisjahbana
Lahir di Natal pada tahun 1908 ia telah sejak tahun 1929 munjul dalam panggung sejarah sastra Indonesia yaitu ketika menerbitkan romannya yang pertama berjudul Tak Putus Dirundung Malang. Roman ini diterbitkan oleh bali pustaka seperti juga roman-romannya yang lain. Roma kedua yang ditulisnya berjudul Dian yang Tak Kunjung Padam (1932) dan yang ketiga berjudul Layar Terkembang (1936). Roman yang berjudul Disarang Penyamun (1941) ditulisnya lebih dahulu daripada layar terkembang tiga puluh tahun kemudian konon takdir menulis sebauah roman berjudul Grotta Azzura (gua biru) yang diterbitkan berkenaan dengan hari lahirnya yang ke 60.
Layar terkembang merupakan roman takdir yang terpenting. Disini takdir melalui tokoh Tuti menyampaikan pendapat-pendapan dang pandangan-pandangannya tentang peranan wanita dan kaum muda dalam kebangunan bangsa. Takdirpun ada juga menulis sajak. Sajak-sajak yang ditulisnya dekat setelah kematian istrinya yang pertama diterbitkan sebagai nomor khusus majalah pujangga baru berjudul Tebaran Mega (1936). Esai-esai takdir tentang sasrta bnyak juga antara yang dimuat dalam majalah baru, misalnya ‘Puisi Indonesia jaman baru’, ‘Kesusastraan Dijaman Pembangunan Bangsa’ (1938), ‘Kedudukan Perempuan Dalam Kesusastraan dalam Timur Bru’ (1941), dan lain-lain. Iapun menyusun dua serangkai bungarampai puisi lama (1941) dan puisi baru (1946).

2. Armijn Pane
Organisator pujangga baru ialah Arjmin Pane, adiknya Sanusi Pane yang tiga tahun lebih muda (Lahir di Muarasiponi 1908). Tahun 1923 ia mengunjungi sekolah kedokteran (STOVIA dan kemudian NIAS) tetapi keinginan hatinya tertumpu pada bahasa dan sastra maka ia pindah ke AMS A-1 (sastra barat) di Solo. Kemudian ia bergerak di surat kabar dan perguruan kebangsaan. Tahun 1933 ia bersama takdir dan kawan sekolahnya, Amir Hamzah, menerbitkan majalah pujangga baru.
Armijn terkenal sebagai pengarang belenggu (1940) yang terbit pertama kali dalam majalah pujangga baru. Roman ini mendapat reaksi hebat baik dari yang pro maupun yang kontra terhadapnya.belenggu adalah sebuah Roman yang menarik karena yang dilukiskannya adalah gerak-gerak lahir tokohnya, tetapi gerak-gerik batinnya. Sebelum menulis romannya itu, Armoijn menulis cerpen, sajak, esai, dan sandiwara. Cerpennya ‘Barang Tiada Berharga’ dan sandiwaranya ‘Lukisan Masa’ merupakan prototif buat romannya belenggu.
Cerpen-cerpennya bersama yang ditulisnya sesudah perang, kemudian dikumpulkan dengan judul kisah antara manusia (1953). Sajak-sajaknya dengan judul jiwa berjiwa diterbitkan sebagai nomer istimewa majalah pujangga baru (1939). Dan sajak-sajaknya yang tersebar, kemudian dikumpulkan juga dan terbit dibawah Gamelan Jiwa (1960).

3.Amir Hamzah
Amir Hamzah (1911-1946) ialah seorang keturunan bangsawan langkat di Sumatera Timur ia pergi ke sekolah Jawa, paling akhir sebagai mahasiswa Fakultas Hukum, dengan dibiayai oleh pamannya yang menjadi Sultan Langkat. Di Jawa ia aktif juga dalam kegiata-kegiatan gerakan kebangsaan. Amir hamzah sempat mengikat cinta dengan seorang gadis Jawa. Seakan-akan dia menjadi  tokoh roman adat yang banyak dihasilkan oleh para pengarang dari Sumatera pada tahun 1920-an dan 1930-an. Iapun bersama dengan Sutan Takdir dan Armiin Pane mendirikan majalah pujangga baru. Tetapi ia kemudian harus meninggalkan tapi ia kemudian harus meninggalkan semua itu karena mendapat panggilan dari pamannya. Ia harus pulang ke Langkat dan menikah salah seorang putri Sultan Langkat. Dan dengan indah pengalamannya itu diuangkan dalam bentuk puisi menjadi sekumpulan sajak berjudul Nyanyi Sunyi (1937). Sajak-sajaknya yang ditulis lebih dahulu, ke,udian diterbitkan berjudul Buah Rindu (1941).
4.      J.E Tatengkeng
J.E Tatengkeng (1907-1968)sejak semula penyair Sangihe dan beragama Kristen ini merupakan seorang yang taat bahkan ketika anaknya meninggal selagi bayi ia segera menganggapnya sebagai kehendak Tuhan yang dihadapinya dengan hati yang merasa dihibur pula oleh-Nya,seperti dapat kit abaca dalam sajaknya ‘Anakku’. Sajak itu bersama sajak lain diterbitkan menjadi buku berjudul ‘Rindu Dendam’ (1934)rindu dendam ialah satu-satunya buku J.E Tatengkeng yang pernah terbit tetapi sebenarmnya masih banyak lagi buah tangannya yang masih berserakan dalam majalah terutama dalam majalah baru. Ia tergolong kepada pujangga baru berasal dari Sulawesi yang selamanya tidak pernah hidup di Jakarta.

5.      Nur Sultan Iskandar
Lahir di Maninjau 1893. Ia seorang pengarang Balai Pustaka dalam arti sesungguhnya.Roman pertamanya berjudul: Apa Dayaku Karena Aku Perempuan (1922) diterbitkan oleh swasta, yang kedua Cinta yang Membawa Maut (1926), kemudian bukunya yang menarik adalah Salah Pilih (1928) dan beberapa lagi adalah: Karena Mertua (1932), Tuba dibalas dengan Susu(1933), Hulu Balang Raja (1940 yang terpenting merupakan sebuah roman sejarah yang dikerjakan berdasarkan disertasi H.
Kroekampde Westkust en Minang Kabau (1665-1668), Pantai Minang Kabau 91668 terbit 19310, Katak Hendak Jadi Lembu (1935) yang berlaku dikalangan priyayi sunda di Sumedang, roman ini gagal diceritakan karena ia tidak mengenal adat Sunda. Neraka Dunia (1937).
Karangan Nur Sutan Iskandar yang perlu disebut juga disini adalah Pengalaman Masa Kecil (1949) dan Ujian Masa (1952), yang keduanya merupakan kenangan otobiografis. Pengalaman masa kecil menarik hati yang melukiskan pengalaman-pengalaman sampai ia berusia 15 tahun, ketika ia mulai mengajar di sekolah desa tahun 1908. Ujian Masa lebih merupakan catatan-catatan tentang peristiwa politik yang terjadi di Indonesia sejak aksi meliter Belanda pertama sampai awal 1948.

6.      I Gusti Njoman Pandji Tisna
Tahun 1935 oleh Balai Pustaka diterbitkan sebuah roman berjudul Ni Rawit Ceti Penjual Orang yang melukiskan kebengisan masyarakat feudal di Bali. Buku ini dikarang oleh I Gusti Njoman Pandji Tisna. Dari roman tersebut kemudian disusul dengan roman yang kedua, berjudul Sukreni Gadis Bali (1936) yang melukiskan kehidupan masyarakat yang keras dan kejam.
Masalah hokum karma dikemukakan pula oleh Pandji Tisna di romannya yang ketiga berjudul I Swasta Setahun di Bedahulu (1938), roman ini menceritakan kehidupan bali di abad kesepuluh. Di dalamnya melukiskan kutuk dewata yang harus ditanggung oleh keturunan yang bersangkutan.
Dari ketiga roman yang telah di terbitkan oleh Balai Pustaka dan hasil karya dari Pandji Tisna, masih menerbitkan roman pula. Di masa sebelum perang, di Medan terbit romannya yang berjudul Dewi Karuna (1938). Dan sehabis perang ia menerbitkan roman yang berjudul I Made Widiadi (Kembali Kepada Tuhan).
            Beberapa Pengarang Lain
Tulis Sutan Sati menerbitkan buku sajak 1928, sebuah roman yang pertama adalah Sengsara Membawa Nikmat, kemudian menterjemahkan Kaba’ Sabai Nan Aluih (1929) yang ditulis oleh M. Thaib Gelar St Pamuntjak dari bahasa Minangkabau kebahasa Indonesia. Ia pun menulis dua buah syair yang pertama berjudul, Syair Siti Marhumah yang Saleh (1930), dan syair yang kedua berjudul Syarir Rosina (1933). Di samping itu ia menulis tiga buah roman lagi, yakni Tak Di Sangka (1929), Memutuskan Pertalian (1932) , Tidak Membalas Guna (1932).
Aman Dt. Madjoindo lahir 1896 di Solok terkenal sebagai pengarang anak-anak roman antara lain berjudul Menebus Dosa (1932) dan Si cebol Rindukan Bulan (1934). Dan beberapa syair diantaranya: Syair Si Banso, Gul Bakawali. Dan Aman mengerjakan pula dua buah roman yang berjudul Rusmala Dewi (1932),dan Sebabnya Rafi’ah Tersesat (1934).
Suman Hasibuan atau Suman Hs. Lahir di Bengkalis 1904. Terkenal gaya bahasanya yang lincah dan ringan. Cerita-ceritanya mirip detektif diantaranya Kasih Tak Terlarai(1929), Percobaan Setia (1931) dan Mencahari Pencuri Anak Perawan (1932). Dan cerpen-cerpennya di bukukan dengan judul Kawan Bergelut (1938). Dan diluar Balai Pustaka Suman menerbitkan roman yang berjudul Tebusan Darah (1939).
Habib St. Mahardja menciptakan roman yang berjudul Nasib (1932). Roman di jamannya itu menceritakan sekitaran  tentang kawin paksa, dan berbagai adat kebiasan buruk di lingkungan daerah.
Roman karangan Haji Said Deang Muntu, yang dikenal dengan tulisan namanya H.S.D Muntu ialah seorang pemimpin Muhammadiyah yang terkenal di Sulawesi. Roman ciptaannya berjudul Pembalasan (1935) dan Karena Kerendahan Budi (1941). Dan menjelang masuknya Jepang, Balai Pustaka menciptakan roman yang berjudul Andang Teruna (1941), yang dikarang oleh pemuda Jawa bernama Soetomo Djahuar.
            Para Pengarang Wanita
Para pengarang wanita Indonesia jumlahnya tidak banyak. Pada masa sebelum perang, yang paling dikenal dan paling penting ialah Selasih atau Seleguri. Keduanya nama samaran Sariamin (lahir di Tulu, sumatera Utara, tahun 1909) yang menulis dua buah roman dan sajak-sajak. Kedua buah roman itu ialah Kalau Tak Untung (1933) dan Pengaruh Keadaan (1937). Sajak-sajaknya banyak dimuat dalam majalah Poedjangga baroe dan Pandji Poestaka.
Pengarang wanita lain yang juga pengarang roman ialah hamidah yang konon merupakan nama samaran Fatimah H. Delais (1914-1953) yang pernah namanya tercantum sebagai pembantu majalah Poedjangga Baroe dari Palembang. Roman yang ditulisnya hanya sebuah, berjudul Kehilangan Mestika (1935) yang diceritakan dalam roman itu ialah kemalangan dan penderitaan pelakunya. Seorang gadis yang mula-mula kehilangan ayah dan kehilangan kekasih berturut-turut.
Adli Affandi dan Sa’adah Alim (1898-1968) masing-masing menulis sebuah sandiwara, masing-masing berjudul Gadis Modern (1941) dan Pembalasannya (1941). Sa’adah Alim disamping itu juga menulis sejumlah cerpen yang kemudian dibukukan dengan judul Taman Penghibur Hati (1941). Ia pun menterjemahkan Angin Timur Angin Barat buah tangan pengarang wanita berkebangsaan Amerika yang pernah mendapat hadiah Nobel 1938, ialah Pearl S. Buck (lahir 1892).
Pada saat menjelang Jepang datang, muncul pula Mario Amin (dilahirkan di Bengkulu Tahun 1920). Menulis sajak-sajak dalam majalah Poedjangga Baroe, tetapi peranannya lebih berarti pada masa Jepang ketika ia menulis dan mengumpulkan beberapa prosa lirik yang simbolistis.
Para Pengarang Dari Sumatra
Melalui usaha penyairnya sendiri dan penerbit–penerbit swasta kecil-kecilan di sumatra maka terbit beberapa buah kumpulan sajak yaitu Puspa Aneka buah tangan Yogi. Ali Hasjmy, Surapaty, Samadi, Bandaharo dan lain-lain.
Hasjmy atau lebih dikenal dengan M. Alie Hajiem (lahir di Seulimeum Aceh tahun 1914) sajak-sajaknya dimuat dalam majalah pujangga baru yaitu “Kisah Seorang Pengembara” (1936) memuat 35 buah sajak yang kebanyakan berbenmtuk soneta. Karyanya yang lain “Dewan Sajak” (1940) di bagi dalam 7 bagian yang rata-rata setiap bagian pengarang mengungkapkan pengalaman-pengalamanya. Kesukaran keindahan dan kegembiraan namun dengan cara yang datar karena tak ada penghayatan hingga karya-karya beliau dinilai tidak bermutu tinggi.
Hamka ialah putra Haji Abdul Karim Amrullah, seorang ulama pembaharu Islam yang terkemuka di Sumatra Barat yang mendapat gelar kehormatan dari Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Karangan roman Hamka yang pertama ialah  Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938), menceritakan cintara antara kedua sepasang kekasih yang tak sampai karena terhalang oleh adat. Dan romannya yang kedua berjudul Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1939), mengisahkan cinta yang tak sampai dihalangi oleh adat Minangkabau yang terkenal kukuh pula. Roman ini menimbulkan kehebohan, karena ada yang menyebut bahwa roman ini hasil plagiat Hamka dari sebuah roman karang orang Peranscis Alphonse Karr dan dikagumi oleh Hamka. Dan selain kedua roman tersebut Hamka juga menulis roman yang berjudul Karena Fitnah (1938), Tuan Direktur (1939) dan merantau ke Deli (1939).
Tapi sajak-sajak Surapaty lebih rendah mutunya dari pada karya-karya Hasjmy dan dinilai kurang meyakinkan. Demikian juga sajak-sajak H.R. Bandaharo (lahir di Medan 1917) diantaranya “Sarinah dan Aku” (1940). Kemudian sesudah masa pernag ia aktif dalam lembaga kebudayaan Rakyat (Lekra) dan menerbitkan beberapa kumpulan sajak diantaranya “Dari Daerah Kehadiran Lapar dan Kasih (1957) dan Dari Bumi Merah.
Lebih bernilai unik diperhatikan ialah kumpulan sajak Rifa’i ‘Ali (lahir di Padangpanjang tahun1909). 
Selain Rifa’I ‘Ali penyair Islam lain adalah Or. Mandank (lahir di Kotapanjang, Suliki, 1-1-1913). Lewat karyanya Sebab Aku Terdiam … beliau menyindir ulama-ulama yang banyak memberi fatwa sedangkan kelakuannya sendiri bertentangan dengan apa yang difatwakannya. karya-karya Dr.Mandank yang lain ialah Pantun Orang Muda (1939).
Penyair terpenting yang menerbitkan sajaknya di Medan sebelum perang ialah Sumadi atau Anwar Rasjid (lahir di Maninjau 18 –11-1918). Kumpulan sajak beliau yang berjudul Senandung Hidup (1941).
Tak ubahnya dengan para penyair masa itu, Samadi pun bersajak kepada tanah airnya yang disebutnya dengan “Ibuku” dan sajaknya yang berjudul ‘Angkatan Baru’ ia sadar sebagai pemuda ia memiliki peranan dan tugas menghadapi hari siang. Ia memandang dirinya sbagai Pengembara, kelana, Pedang yang mengalami berbagai kemalangan.
Dasar keagamaan pada penyair ini tidak pernah lepas, ia senantiasa ingat akan Tuhan, ia sadar dan kian ikhlas berjuang, katanya dalam sajaknya “Jangan Di kenang”. Sajak-sajaknya yang lain berjudul Aku Kembali Kekasih …….’ Ia melukiskan pertemuannya kembali dengan Tuhan setelah ia mengembara ke mana-mana merasa rindu dan “Selalu Sangsi Atas Cintamu”. Ia kemudian sadar, BETAPA GERANG AKAN JADINYA?, ASAL TAK HINA DISISI TUHAN.
Semua hal yang terkandung dalam puisi itu menyebabkan penyair akhirnya yakin akan kebenaran jalan yang benar, hidup baginya hanyalah mencari ridho ilahi semata.
Penyair ini hilang tak berbekas di tengah-tengah pergolakan perang saudara yang berkecamuk di Sumatera sekitar tahun 1957-1958 (PRRI).
           
            3.3 Karakteristik Karya Sastra Periode 1933-1942
                        3.3.1 Puisi
                                    Memuji Dikau
Kalau aku memuji dikau, dengan mulut tertutup, mata tertutup,
Sujudlah segalaku, diam terbelam, didalam kalam asmara raya.
Turun kekasihmu, mendapartkan daku duduk bersepi, sunyi sendiri.
Dikucupnya bibirku, dipautnya bahuku, digantunginya leherku, hasratkan suara sayang semata.
Selagi hati bernyanyi, sepanjang sujud semua segala, bertindih ia pada pahaku, maminum ia akan suaraku….
Dan,
Iapun melayang pukang,
Semata cahay,
Lidah api dilingkung kaca
Menuju restu, sampan sentosa.
            (Hamzah, 2008: 17)
            Analisis Unsur Intrinsik
1.      Tema
Tema yang terkandung dalam puisi diats ialah tentang kecintaan terhadap Tuhan. Seperti pada bait pertama.
“Kalau aku memuji dikau, dengan mulut tertutup, mata terkatup”. (Hamzah, 2008:17)

2.      Feeling atau rasa
Rasa yang terkandung dalam puisi diatas ialah cinta, cinta dalam arti kencintaan terhadap Tuhan seperti dalam kutipan puisi
“Selagi hati bernyanyi, sepanjang sujud semua segala”. (Hamzah, 2008:17)

3.      Imajinasi
Pengarang dalam puisi ini menggunakan imajinasi taktil atau perasaan seperti dalam kutipan puisi
“turun kekasihmu, mendapatkan daku duduk bersepi sunyi sendiri”. (Hamzah, 2008:17)
dan menggunakan imajinasi visual atau penglihatan seperti dalam kutipan pusi “Ia pun melayang pulang”
“Semata cahaya”
“Lidah api dilingkung kaca” (Hamzah, 2008:17)

4.      Gaya bahsa
Gaya bahasa yang digunakan dalam puisi diatas ialah gaya bahasa personifikasi yaitu gaya bahasa yang menggambarkan benda-benda mati yang tidak bernyawa menjadi seolah-olah memiliki sifat manusia. Seperti dalam kutipan puisi.
“Selagi hati bernyanyi, sepanjang sujud semua segala
bertindih ia pada pahaku meminum ia akan suaraku” (Hamzah, 2008:17)

                        J.E Tatengkeng
Anakku
Engkau datang menghintai hidup
Engkau datang menunjukkan muka
Tapi sekejap matamu kau tutup,
Melihat terang anaknda tak suka.

Mulut kecil tiada kau buka,
Tangis teriakmu tak kan diperdengarkan
Alamat hidup wartakan suka,
Kau diam, anakku, kami kau tinggalkan.

Sedikitpun matamu tak mengerling,
Memandang ibumu sakit berguling
Air matamu tak bercucuran,
Tinggalkan ibumu tak berpenghiburan.

1.      Tema
Tema yang terkandung dalam puisi diatas ialah duka ditinggal seorang anak, seperti dalam kutipan puisi
“Mulut kecil tiada kau buka,
Tangis teriakmu takkan terdengar
Alamat hidup wartakan suka
Kau diam, anakku, kami kau”



2.      Feeling atau rasa
Rasa yang terkandung dalam puisi diatas ialah tentang kesedihan seorang ayah yang ditinggalkan oleh anaknya seperti dalam kutipan puisi
“Air matamu tak bercucuran
Tinggalkan ibumu tak berpenghiburan”

3.      Imajinasi
Dalam puisi ini penyair menggunakan imajinasi taktil atau perasaan seperti dalam kutipan puisi
“Kau datang menghintai hidup
Kau datang menunjukan luka”
dan juga menggunakan imajinasi audio atau pendengaran seperti dalam kutipan puisi
 “Tangis teriakmu takkan diperdengarkan” imajinasi visual juga terkandung dalam puisi ini seperti dalam kutipan puisi
“Sedikitpun matamu tak mongering
Memandang ibumu sakit berguling”.

4.      Gaya bahasa
Gaya bahasa yang digunakan dalam puisi ini ialah gaya bahasa metonimia gaya bahasa yang mempergunakan subah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Seperti dalam kutipan puisi
“Sedikitpun matamu tak mengerling
Memandang ibumu sakit berguling”

Karakteristik persamaan kedua pengarang diatas Amir Hamzah dan J.E. Tatengkeng, kedua penyair ini merupakan seorang yang taat kepada tuhannya seperti Amir Hamzah yang beragama islam taat kepada ajaran-ajaran yang ada diagama islam dan J.E. Tatengkeng sendiri beragama Kristen yang sama pula taat pada ajarannya. Seperti dalam puisi J.E. Tatengkeng yang berjudul anaku, ia menganggap itu sebagia kehendak Tuhan yang dihadapinya dengan hati yang merasa dihibur pula olehnya.
Perbedaan dari kedua puisi diatas terletak pada objek yang dikajinya, seperti Amir Hamzah yang mengambil Tuhan sebagai objeknya dan J.E Tatengkeng mengambil nama anaknya sebagai objeknya namun pada dasarnya dari puisi J.E. Tatengkeng menganggapnya sebagai kehendak Tuhan.
Dan dari romannya pada periode ini banyak menggunakan bahasa melayu di lihat dari tema roman kalau tak untung dan kehilangan mestika memiliki kesamaan yaitu kedua tema roman ini tentang kasih tak sampai dan kebanyakaan berisi tentang perjodohan selain itu roman dalam periode ini sangat kental sekali dengan kebudayaannya yaitu melayu seperti budaya padang dan minagkabau.

                        3.3.2 Prosa Fiksi
                                    1. Roman ‘Layar Terkembang’ karya Sutan Takdir Alisjahbana
1) Tema
Tema dalam roman ini adalah perjuangan wanita Indonesia mencapai cita-citanya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan:
“....sesungguhnyalah hanya kalau perempuan dikembalikan derajatnya sebagai manusia, barulah keadaan bangsa kita dapat berubah. Jadi, perubahan kedudukan perempuan dalam masyarakat itu bukanlah semata-mata kepentingan perempuan”. (Alisjahbana,1999:40).

2) Alur dan Plot
Roman ini menggunakan alur kronologis atau alur progresif. Yaitu alur cerita yang bergerak urut dari awal hingga akhir tulisan.

3) Tokoh dan Perwatakan
a.       Maria: anak Raden Wiriatmaja, seseorang yang mudah kagum, mudah memuji dan periang. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan:
“....sebaliknya Maria seorang yang mudah kagum, yang mudah memuji dan memuja. Sebelum selesai benar ia pikir, ucapannya telah keluar menyatakan perasaannya yang bergelora, baik waktu kegirangan maupun waktu kedudukan”. (Alisjahbana,1999:2)

b.      Tuti: anak Rade Wiriatmaja, seorang yang aktif dalam berbagai kegiatan wanita, selalu serius, pandai dan pintar dalam mengerjakan sesuatu. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan:
“....Tuti bukan seorang yang mudah kagum, yang mudah heran melihat sesuatu. Keinsaafannya akan harga harga dirinya amat besar. Ia tahu bahwa ia pandai dan cakap serta banyak yang akan dapat dikerjakannya dan dicapainya”. (Alisjahbana,1999:2)

c.       Yusuf: putra Damang Munaf, seseorang mahasiswa kedokteran yang pandai dan baik hati. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan:
“....tetapi rupanya seorang setuden Sekolah Tabib Tinggi. Kami bertemu dengan dia tadidi akuarium dan dari sana kami pulang bersama-sama”. (Alisjahbana,1999:11)

d.      Wiriatmaja: ayah dari Maria dan Tuti, seorang yang memegang teguh agama, baik hati dan penyayang. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan:
“....sebagai seorang yang besar dalam didikan cara lama, tetapi tiada menutup matanya kepada perubahan yang berlangsung setiap hari dalam pergaulan, kabar-kabur terasa kepadanya bahwa telah demikianlah kehendak zaman”. (Alisjahbana,1999:11)
“....memaksa anaknya itu menurut kehendaknya tiada sampai hatinya sebab sayangnya kepada Tuti dan Maris tiada terkata-kata”.(Alisjahbana,1999:12)
“....Wiriatmaja masuk pula meninggalkan anak-anak muda bertiga itu, di halaman akan pergi bersembahyang”. (Alisjahbana,1999:28)

e.       Partadiharja: adik ipar Wiriatmaja, seseorang yang baik hati, teguh pendirian dan peduli antar sesama. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan:
“....tiada menurut nasehat orangtua itulah yang akhirnya terjerumus. Dan kemudian hari ia akan menyesal. Coba kita lihat nanti”. (Alisjahbana,1999:27)

f.       Supomo: seorang guru muda baik hati, sopan, dan pandai bergaul. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan:
“....ia telah menghargai Supomo dalam hatinya: orang yang baik hati, lemah lembut dan sopan dalam pergaulan”. (Alisjahbana,1999:112).

4). Gaya Bahasa
Roman ini menggunakan gaya bahasa personifikasi dan banyak menggunakan bahasa Melayu. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan:
“....gadis berdua ituadik dan kakak, hal itu terang kelihatan pada air mukanya”. (Alisjahbana,1999:1)
“....sekalian perkataan itu melancar dari mulutnya sebagai air memancar dari celah gunung.” (Alisjahbana,1999:2)
“....air mata dan gelak berselisih di mukanya sebagai siang dan malam”. (Alisjahbana,1999:2)

5). Amanat
Perempuan harus memiliki pengetahuan yang luas sehingga dapat memberikan pengaruh yang sangat besar di dalam kehidupan berbangsa dengan itu, perempuan dapat lebih dihargai kedudukannya di masyarakat.
Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan :
“....Tuti yang mengatakan bahwa tiap-tiap manusia harus menjalankan penghidupannya sendiri, sesuai dengan deburan jantungnya, bahwa perempuan harus mencari bahagianya dengan jalan menghidupkan sukmanya”. (Alisjahbana,1999:11)


2. Roman ‘Kalau Tak Untung’ karya Selasih
1.      Tema
Tema yang terkandung dari roman ‘Kalau Tak Untung’ karya Selasih ialah kasih tak sampai. Dapat dilihat dari kutipan:
“Sekarang kudoakan saja mudah-mudahan berbahagia hidup kakanda sepeninggal adinda.
Lupakanlah adinda dan carilah gadis yang lain pengganti adinda.” (Selasih, 2001:155)

2.      Alur atau Plot
Alur dari roman ‘Kalau Tak Untung’ karya Selasih ini ialah alur konvensional. Karena susunan cerita didalam roman ini berurutan dari awal samapai akhir cerita.

3.      Tokoh dan Perwatakan
1)      Rasmani
Memiliki watak yang pemalu. Perwatakannya digambarkan dengan cara tak langsung, dengan menggambarkan perbuatan dan tingkah laku reaksi tokoh dalam suatu kejadian. Terlihat dari kutipan dalam roman yang berbunyi
“Rasmani memandang kepada Masrul dengan kemalu-maluan. Rupanya ia belum kenal kepada Masrul, pikiran anak itu dapat diterka oleh ibu Rasmani.” (Selasih, 2001:11)
2)      Dalifah
Memliki watak yang penyayang. Dilihat dari cara langsung atau analitik. Dapat dibuktikan dari kutipan
“Dalifah pergi ke dapur, diambilnya garam sedikit, digilingnya halus-halus, digaraminya nasi Rasmani. Iba benar rupanya hati Dalifah melihat adiknya makan dengan garam itu.” (Selasih, 2001:10)
3)      Ibu Rasmani
Memliki watak yang bijak sana. Dilihat dengan cara tak langsung, dengan menggambarakan melalui tokoh dialog. Dilihat dari kutipan
“Jangan itu pula yang kakanda rusuhkan, kalau tak dapat akan kita apakan jua, kain anak-anak tak sampai sebelit badan, makan asal jangan mati kelaparan saja.” Kata ibu rasmani. “(Selasih, 2001:11)
4)      Bapak Rasmani
Wataknya penyanyang. Dilihat dari cara tak langsung, dengan menggambarkan melalui dialog tokoh. Dapat dibuktikan dari kutipan yang berbunyi
“Iba hati saya melihat anak itu, tiap hari saja iya berhujan-hujan. Akan disuruh tempoh belajar tak mungkin, pertama ia akan ketinggalan dari kawannya, baik di sekolah pagi atau pun di sekolah mengaji; kedua tentu kita mengajar ia malas.” (Selasih, 2001:11)
5)      Masrul
Wataknya penolong. Dengan cara tak langsung, melalui tokoh dialog. Dilihat dari kutipan yang berbunyi
“Etek, biarlah Rasmani berjalan dengan saya, pulanglah Etek! Rasmani, marilah berjalan dengan saya, buangkanlah daun pisangmu!”

4.      Gaya Bahasa
a.       Personifikasi
1.      “Kain anak-anak tak samapi sebelit badan.” (Selasih, 2001:11)
2.      “Jika bunda hilang tengah malam, tubuhnya busuk terguling seorang. Jika bapak mati tengah hari, bangkainya terguling ditengah jalan.” (Selasih, 2001:23)
b.      Metonimia
1.      “Bercucranlah air matanya.” (Selasih, 2001:25)
2.      “Mukanya berserk-seri dan matanya bercahaya-cahaya.” (Selasih, 2001:50)
c.       Epitet
1.      “Hanya mata terikat oleh bunga yang dijalan itu.” (Selasih, 2001:53)

5.      Amanat
1)      Amanat Khusus
a.       Tentang Percintaan
Jangan menyianyiakan orang yang kita cintai. Terlihat dari kutipan
“Hukuman atas orang yang menyianyiakan cinta. Hukuman atas orang yang tak menghargai kasih sayang.” (Selasih, 2001:156)

2)      Amanat Umum
a.       Tentang Agama
Selalu ingat kepada Tuhan ketika mendapatkan cobaan.
“Masrul, marilah kita pergi kerumah Dalifah. Ia amat bersusah hati. Mudah-mudahan melihat engkau terhibur hatinya sedikit. Sabarlah, dan ingatlah akan Tuhan. Tiap-tiap orang mendapat cobaan.” (Selasih, 2001:149).




                                    3) Roman ‘Hulubalang Raja’ karya Nur Sultan Iskandar
                                                1. Tema
Tema dalam novel hulubalang ini adalah tentang perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan kesejahteraan tanah air.
                                                2. Alur dan Plot
Alur dalam novel hulubalang raja ini adalah alur konvensional (berurutan) dari mulai pengisahan sampai akhir.
                                                3. Tokoh dan Perwatakan
1) Ali akbar
Watak atau sifat tokoh ali akbar adalah sopan, ini terbukti  dari dialognya dengan kedua orang tuanya pada kutipan yang berbunyi:
“………. Ampun, Ayah dan Bunda! Sesungguhnya sesuatu apapun tak ada yang kurang dari hamba, cukup lengkap pemberian Ayah dan Bunda kepada hamba. ” (Iskandar, 2008:10)

2). Kemala Sari
Watak atau sifat tokoh kemala sari adalah licik ini terbukti dari tingkah lakunya yang diceritakan oleh penulis pada  kutipan dalam sebuah keadaan
“……....  sedang Ambun suri mandi sedemikian, sedang ia lalai lengah diayun buaian bunyi kecimpungnya yang beragam itu, putrid kemala sari menjalankan akal budi dan tipu muslihatnya. Ia hendak membinasakan bakal madunya. Lambat - laun ia berjalan ketepi pasir kedekat mundam ambun suri terletak itu. Sekonyong – konyong ia berbuat seakan-akan tersandung: disepaknya mundam itu sekuat-kuat tulangnya, lalu terlayang kedalam air. Hanyut dibawa arus! Setelah itu ia pun segera beralih tegak ketempat lain, ke atas batu karang yang terjojol.” (Iskandar, 2008:23)

                                                            3). Raja Hulu (Ayah ali Akbar)
Watak atau sifat tokoh Raja hulu adalah perhatian ini tergambar dari dialognya pada kutipan yang berbunyi:
 “………. Heran,  kata Raja di hulu kepada istrinya, dalam sepekan ini hamba lihat Ali Akbar bermenung berdiam diri saja, sepatahpun ia tidak berkata-kata.” (Iskandar, 2008:9)

                                                            4). Ambun Suri
Watak atau sifat tokoh Ambun Suri adalah keras kepala(tidak mau mendengar nasihat orang) ini terlihat jelas dari dialognya bersama dayang kepercayaannya pada kutipan yang berbunyi:
“……….  kembang, Kata ambun suri dengan berang,  sekali aku berkata, elok kau turutkan saja. Jangan engkau berpanjang bicara, melambatkan kami akan berjalan.” (Iskandar, 2008:21)
                                                4. Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang adalah metonomia ini bisa dilihat dari kutipan dialog tokoh pada kutipan
“………. daripada berputih mata lebih baik berputih tulang” (Iskandar, 2008:31)
                                                5. Amanat
                                                            a.Amanat umum
Untuk mencapai suatu maksud atau mencapai suatu keinginan kita janganlah bertindak semena-mena dan apalagi dengan melakukan kekerasan. Amanat ini saya kutip dari dialog tokoh pada halaman 122 yang berbunyi
“……….  Tuan ingat, Bandarsepuluh bukan negri kecil dan rakyat bukan semacam orang yang boleh dipermain-mainkan saja! Tiku dan pariman sudah terlepas dari tangan, indrapura sedang diancam raja Adil, sekarang Tuan hendak mencari-cari musuh besar pula! Tidak, dengan kekerasan demikian tidak akkan tercapai maksud kita, Tuan.” (Iskandar, 2008:122)
                                    4). Roman ‘Di Bawah Lindungan Ka’bah’ karya Hamka
                                                1. Tema
Tema dalam roman ‘Di Bawah Lindungan Ka’bah’ ini ialah tentang cerita cinta antara Hamid dan Zainab yang tak dapat bersatu karena perbedaan status sosial diantara keduanya, dan tak dapat bersatu ketika cinta bicara karena terpisahkan oleh jarak dan maut. Dapat dilihat dari kutipan berikut:
“…......Mustahil dia akan dapat menerima cinta saya karena dia langit saya bumi. Bangsanya tinggi dan saya hidup darinya tempat buat lekat hati Zainab. jika datang waktunya orang tuanya bermenantu, mustahil pula saya akan termasuk dalam golongan orang yang terpilih menjadi menantu Engku Haji Ja’far. Karena tidak ada yang akan akan diharapkan dari saya. Tetapi Tuan ... kemustahilan itulah yang memupuk cinta.” (HAMKA, 2011:24).

                                                2. Alur atau Plot
Alur yang terdapat di roman ini dikatak alur sorot balik atau yang disebut flas back
                                                3. Tokoh atau Perwatakan
1) Hamid, mempunyai watak rendah hati, saleh, penyabar, dan pendiam.Hal tersebut di atas digambarkan oleh pengarang dari cara tak langsung, dilihat dari kutipan:
“............Sifatnya pendiam, suka bernmenung seorang diri dalam kamarnya itu.” (HAMKA, 2011:5).
2) Zainab,mempunyai watak pemalu dan penurut, dia juga bukan seorang yang sombong. Dilihat dari kutipan berikut:
“…………Apa perintah ibunya diikutinya dengan patuh. Rupanya ia amat disayangi karena anaknya hanya seorang itu.” (HAMKA, 2011:14).
3) Ibu, memiliki watak yang rendah hati, dan menerima apa pun yang telah terjadi dengan ikhlas. Terlihat dari kutipan,
“……….Ibu kelihatan tidak putus harapan. Ia berjanji aknan berusaha kelak saya menduduki bangku sekolah.HAMKA (20011:12).
4) Mak Aisah, memliki watak yang baik, dan tidak sombong, serta pengasih ke sesame. Dapat dilihat dari kutipan berikut:
“……….Bahkan ibuku dipandangnya sebagai saudaranya. Segala perasaian dan penanggungan ibu didengarnya dengan tenang dan mukanya yang rawan.” (HAMKA, 2011:16).
5) Engku Haji Ja’far, memiliki watak yang dermawan, pengasih, serta rendah hati. Dilihat dari kutipan, berikut
“……….Saya, tidak beberapa bulan setelah tamat sekolah, berangkat ke Padang Panjang, melanjutkancita-cita ibu saya karena kedermawanan Engku Haji Ja’far juga. (HAMKA, 2011:21).

4. Gaya Bahasa
            1) Gaya bahasa asosiasi
“............... Setelah melayap laksana satu bayangan, ia pun hilang dan tidak akan kembali lagi.” (HAMKA, 2011:39).
            2) Gaya bahasa hiperbola
a. “....... Saya karam dalam permenungan.”(HAMKA, 2011:32).
b. “....... Saya patahkan hati anaknya yang hanya satu.” (HAMKA, 2011:40).

5. Amanat
Janganlah berputus asa dalam kondisi apapun dan belajarlah untuk tidak menjadi seorang yang sombong dan yang dapat memahami perasaan orang lain. Hal tersebut dapat dilihat dari keadaan Hamid yang hidup dalam kemiskinan dan tak ragu untuk berusaha dengan menjual kue buatan ibunya. Seperti halnya Engju Haji Ja’far yang seorang hartawan, hartawan yang juga berasal dari seorang yang miskin, akan tetapi dia tak putus dalam berusaha hingga keuntungan menghampiri hidupnya. Ia juga seorang yang tak lupa dengan fakir dan miskin disekitarnya.
Dan halnya Mak Asiah, yang memahami keadaan Hamid yang seorang miskin. Hingga Engku Haji Ja’far menyekolahkannya dengan biaya dari dirinya.
Hamid seorang yang berperasaan dimana ia lebih mementingkan permintaaan dari seorang perempuan tua yakni Mak Asiah, dan mengesampingkan perasaannya yang bertolak belakang dengan keinginan hatinya.

                                                                                    3.3.3 Drama
                                    ‘Airlangga’Drama Dalam Tiga Babak karya Sanoesi Pane
1.      Tema
Tema yang terdapat di naskah drama Airlangga ini ialah pertentangan antara anak dengan ayahnya yang member tahta menjadi raja karena si anak belum memiliki suami. Tetapi saat di jodohkan tetap anaknya tidak mau. Dapat dilihat dari kutipan dialog sebagai berikut:
“…………


            Sabggrama Wijayattunggadewi
Bapak, memikirkan saja menyebabkan saya gemetaran
Tak pernah saya akan duduk di singgasana Kahuripan
Tidak kuat saya punya semangat.

            Arya Bharad
Paduka Yang mulia!

            Sanggrama Wijayattunggadewi
Hanya dalam kesepian ada ketenangan bagi saya:
Saya ingin menjadi seorang pertapa, tanpa kesukaran, tanpa derita.
            Arya Bharad
Apakah Anda maksudkan, bahwa dalam kesombongan pengasingan diri,
Dalam keangkuhan membisu Anda dapat mengabdi?
Kebebasan untuk diri sendiri mudah didapatkan,
Tetapi katakana kepada saya: bagi orang lain apakah faedah Anda,
Bila kesusahan duniawi tidak Anda dengarkan?
Oleh karena telah ditakdirkan menjadi ratu
Suatu bidang kerja yang luas tersedia begai Anda.
Saya mohon kepada Anda atas nama ratusan ribu
Yang Mulia: kuatkan diri Anda, dan laksankanlah dharma,
Yang dibebankan di bahu Anda.”
(Pane, 2000:13-14)
“……….
                        Airlangga
Anda sekalian, yang hadir di sini!
Hari ini adalah hari
Yang Mulia putrid mahkota secara resmi
Memberitahukan kepada kita semua
Keputusannya untuk menerima atau  tidak menerima
Lamaran pangeran dari Daha.
            (Sejenak lamanya raja berdiam diri)
Yang Mulia, kami mohon Anakda berbicara.

                        Sanggrama Wijayattunggadewi
                        (Sambil membuat sembah)
Paduka,
Anakda memahami benar-benar, apa artinya penolakan
Bagi kerajaan Kahuripan.
Dengan demikian anakda sungguh-sungguh mengerti
Apa yang diperintahkan oleh kewajiban kepada anakda untuk berbuat,
Namun demikian, Paduka, namun demikian anakda tidak berdaya
Mengikuti kehendak Raja dan Rakyat

                        Airlangga
Jadi jawaban Anakda, Yang Mulia, adalah menolak.

                        Sanggrama Wijayattunggadewi
Demikianlah adanya, Paduka Yang Mulia!

                        Airlangga
(Kepada para hadirin, yang, kecuali Narottama, telah mendengar keputusan itu dengan terharu)
Anda sekalian, Anda mendengarnya: putrid mahkota menolak,
Menolak, walaupun rakyat telah meminta dengan mendesak
Seorang ratu perawan, Yang Mulia, di atas singgasana
Kahuripan, tidak membawa rakhmat kepada Jawadwipa

                       

Sanggrama Wijayattunggadewi
Paduka, anakda memahaminya. Oleh karenanya anakda, telah memutuskan,
Bukankah tak mungkin lain dapat dilakukan --- untuk meletakan
Jabatan keputrian mahkota.

                        Airlangga
                        (bangkit terkejut)
Sanggrama!

                        Sanggrama Wijayattunggadewi
Raja dan Ayahanda
Katakanlah kepada anakda, dapatkah nakda berbuat lain daripada itu?
Tidakkah kewajiban memerintahkan begitu kepada anakda?”
(Pane, 2000:31-33).
Dari kutipan itu terlihat pertentangan yang diberikan Sanggrama Wijayattunggadewi terhadapa ayahnya airlangga. Dan di akhirnya tahta Raja Kediri di berikan kepada Pangeran Termuda sedangkan Pangeran Tertua sebagai Raja Janggala.
                                                “……….
Kepala Mazhab Wisynu
Atas nama semua penyembah
Dari Wisynu yang tinggi,
Saya menyucikan Anda menjadi Raja Janggala
Dan Anda menjadi Raja Kediri.
Rakhmat Tuanku Buddha
Semoga terletak pada diri Anda dan bangsa Anda.”
(Pane, 2000:67)

BAB IV
KESIMPULAN
            Peristiwa yang terjadi dalam kesustraan Indonesia pada periode 1933-1942 ialah lahirnya majalah Poejangga Baroe yang didirikan oleh Armijn Pane, Amir Hamzah dan Sutan Takdir Alisjahbana pada tahun (1933-1942) dan 1949-1953). Pada mulanya keterangan resmi tentang majalah itu berbunyi “majalah kesusastraan berbahasa dan bahasa bangsa serta kebudayaan umum” tetapi sejak tahun 1935 berubah menjadi “pembawa semangat baru dalam kesastraan, seni, kebudayaan dan soal kemasyarakatan” dan sejak 1936 bunynya berubah pula menjadi “pembimbing semangat baru untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia”.  Namun ketika Jepang masuk dan menduduki Indonesia, majalah Poejangga Baroe  ini segera dilarang terbit akrena dianggap “kebart-baratan” tetapi setelah Indonesia merdeka majalah ini diterbitkan kembali oleh Sutan Takdir Alisjahbana dengan staf redaksi yang diperkuat dengan tenaga-tenaga muda. Kelahiran majalah Poejangga Baroe  yang banyak melontarkan gagasan-gagasan baru dalam bidang kebudayaan menimbulkan reaksi keberaniannya nenandaskan bahwa bahasa Indonesia bukanlah bahasa Melayu menimbulkan berbagai reaksi, Sutan Takdir Alisjahbana dalam esainya menulis antara lain : “bahasa Indonesia adalah bahasa perhubungan yang berabad-abad tumbuh perlahan-lahan dikalangan penduduk Asia Selatan dan yang setelah bangkitnya pergerakan kebangunan rakyat Indonesia pada permulaan abad 20 dengan insaf diangkat menjunjung sebagai bahasa persatuan”. Sikap ini menimbulkan reaksi dari para tokoh bahasa maka terjadilah polemik tentang bahasa yang tidak hanya dimuat dalam majalah Poejangga Baroe  saja, melainkan juga meluas dalam surat-surat kabar dab majalah-majalah yang terbit pada masa itu. Polemik golongan Poejangga Baroe  dengan kaum tua itu tidak mengenai bahasa saja, juga mengenai soal-sola lainnya seperti kebudayaan, pendidikan, pandangan kemasyarakatan. Snusi Pane yang juga turut aktif dalam polemik itu akhirnya menyatakan bahwa baginya manusia (Indonesia) baru harus merupakan campuran antara faust (yang dianggap mewakili roh kepribadian barat) dengan Arjuna (sebagai wakil roh kepribadiaan timur).
            Namun pada periode ini melahirkan tokoh-tokoh Poejangga Baroe  beserta karya-karyanya yaitu : Sutan Takdir Alisjahbana yang menerbitkan romannya yang pertama berjudul Tak Putus di Rundung Malang. Roman ini diterbitkan oleh balai pustaka dan yang kedua romannya berjudul Dian yang Tak Kunjung Padam (1932) dan yang ketiga berjudul Layar Terkembang (1936). Roman yang berjudul Anak Perawan di Sarang Penyamun (1941) ditulisnya lebih dahulu daripada layar terkembang. Takdir pun menulis sajak, sajak pertama yang berjudul Tebaran Mega yang dimuat dalam Poejangga Baroe dan esai-esai Takdir yang dimuat dalam majalah Poejangga Baroe, misalnya “puisi Indonesia zaman baru”, ‘keusastraan di zaman pembangunan bangsa’ (1941). Ia pun menyususn dua serangakai bunga rampai puisi lama (1941) dan puisi baru (1946).
            Yang kedua adalah Armijn Pane yang terkenal sebagai pengarang roman Belenggu (1940) yang terbit pertama kali dalam majalah Poejangga Baroe. Dan Armijn Pane banyak menulis cerpen, sajak, esai, dan snadiwara. Cerpennya ‘barang tiada berharga’ dan sandiwaranya ‘lukisan masa’ cerpen-cerpennya dikumpulkan dengan judul kisah antara manusia (1993) sedang sandiwara-sandiwaranya dikumpulkan dengan judul jinak-jinak merpati (1954). Sajak-sajaknya dengan berjudul jiwa-berjiwa diterbitkan sebagai nomor istimewa majalah Poejangga Baroe (1939) dan sajak-sajak yang tersebar dikumpulkannya di bawah judul Gamelan Jiwa (1960).
            Yang ketiga ialah Amir Hamzah yang menuangkan pengalaman dalam bentuk puisi, menjadi sekumpulan sajak berjudul Nyanyi Sunyi (1937) kemudian dikumpulkan dan diterbitkan dengan judul Buah Rindu (1941).
            Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh Pojangga Baroe  yang banyak melahirkan karya sastra seperti roman, sajak, esai dan lain-lain.  








DAFTAR PUSTAKA

Rosidi, Ajip. (2000). Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Putra Abardin.
Sugiantomas, Aan. (2011). Langkah Awal Menuju Apresiasi Sastra Indonesia. Kuningan: PBSI FKIP UNIKU.
Sugiantomas, Aan. (2012). Kajian Prosa Fiksi dan Drama. Kuningan: PBSI FKIP  Kuningan: PBSI FKIP UNIKU.
Jaelani, Asep Jejen. (2013). Sejarah Sastra Indonesia. Kuningan: PBSI FKIP UNIKU.
Alisjahbana, Sutan Takdir. (1999). Layar Terkembang. Jakarta: Balai Pustaka.
Hamzah, Amir. (2008). Nyanyi Sunyi. Jakarta: Dian Rakyat.
Hamka. (2011). Di Bawah Lindungan Ka’bah. Jakarta: Balai Pustaka.
Pane, Sonoesi. (2000). Airlangga Drama Dlama Tiga Babak. Jakarta: Balai Pustaka.
Iskandar, Nur Sutan. (2008). Hulubalang Raja. Jakarta: Balai Pustaka.
Selasih. (2001). Kalau Tak Untung. Jakarta: Balai Pustaka.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar