Period 1953-1961
KRISIS SASTRA INDONESIA
Setelah Chairil Anwar meninggal dunia,
lingkungan kebudayaan ‘Gelanggang Seniman Merdeka’, seakan-akan kehilangan
vitalitas. Asrul Sani yang beberapa lamanya asik meniulis esai, sudah jarang
sekali menulis sajak atau hasil sastra lainnya. Demikian pula Rivai Apin
padahal kedua orang itu tadinya dianggap sebagai tumpuan- harap yang akan
melanjutkan kepeloporan Chairil.
Pada bulan April 19532 di Jakarta
diselenggarakan sebuah simposion tentang “kesulitan-kesulitan zaman peralihan
sekarang”. Dalam simposion yang diselenggarakan oleh golongan-golongan kebudayaan
Gelanggang, Lekra, Liga Komponis, PEN-Club Indonesia dan Pujangga Baru itu
telah dibahas kesulitan-kesulitan zaman peralihan, ditinjau dari sudut
sosiologi psikologi, dan ekonomi. Di antara para pembaca adalah St. Sjahrir,
Moh. Said, Mr. Sjafrudin Prawiranegra, Prof. Dr Slamet Iman Santoso, Dr J.
Ismael, S. Takdir Alisjahbana, Boejoeng Saleh, dan lain-lain. Dalam simposion
itu dilontarkan istilah “krisis akhlak”, “krisis ekonomi” dan berbagai krisis
lainnya.
Tahun 1953, di Amsterdam diselenggarakan sebuah
simposion tentang kesusastraan Indonesia. Antara lain berbicara dalam simposion
itu Asrul Sani, S. Takdir Alisjahbana, Prof. Dr. Wertheim dan lain-lain. Di
sinilah untuk pertama kali dibicarakan tentang “impasse” (kemacetan) dan
“krisis sastra Indonesia sebagai akibat dari gagalnya revolusi Indonesia”.
Tetapi persoalan tentang krisis baru menjadi bahan pembicaraan yang ramai betul
ketika terbit majalah Konfrontasi pada pertengahan tahun 1954.
Dalam nomer pertama majalah itu dimuat sebuah esai Sudjatmoko (lahir di
Sawahlunto tanggal 10 Januari 1922) berjudul ‘Mengapa Konfrontasi”. Dalam
karangan itu secara tandas dikatakan oleh penulisnya bahwa sastra Indonesia
sedang mengalami krisis.
Dalam esainya itu Sudjatmoko melihat adanya
krisis sastra sebagai akibat dari krisis kepemimpinan poltik. Ia lebih lanjut
mengatakan bahwa sastra Indonesia sedang mengalami krisis karena yang ditulis
hanya cerpen-cerpen kecil yang “berlingkar sekitar psikologisme perseorangan
semata-mata”. Roman-roman besar tak ada ditulis. Karangan Sudjatmoko ini
mendapat reaksi hebat.
Nugroho Sudjatmoko, S.M. Ardan, Boejoeng Saleh
dan lain-lain secara tandas disertai dengan bukti-bukti yang sukar untuk
dibantah, menolak penamaan “krisis sastra”. Menurut mereka sastra Indonesia
sedang hidup dengan subur. H.B. Jassin dalam simposion sastra yang
diselenggarakan olh Fakultas Sastra Universitas Indonesia di Jakarta pada bulan
Desember 1954, mengemukakan sebuah prasaran yang dengan tandas diberinya judul
; ‘Kesusasteraan Indonesia Modern Tidak Ada Krisis’. Dengan bukti-bukti dari
dokumentasinya yang lengkap, Jassin pun menolak sebutan adanya krisis
maupun impassedalam kehidupan sastra Indonesia.
Dalam tulisan berjudul ‘Situasi 1954’ yang
ditujukan kepada sahabatnya Ramadhan K.H., Nugroho Notosusanto mencoba mencari
latar belakang timbulnya penamaan “impassesastra Indonesia” yang bagi
dia tak lebih dari hanya sebuah “mite” (dongengan) belaka. Nugroho pun
melihat kemungkinan bahwa golongan “old cracks” Angkatan ’45 yang pada
tahun-tahun 1945 mengalami jaman keemasan, pada tahun sesudah 1950 mengalami
kemunduran lalu mereka berpegang kepada jaman sekarang dimana muncul banyak
tokoh-tokoh baru .
Sitor Situmorang dalam sebuah tulisannya yang
berjudul Krisis H.B. Jassin dalam majalah Mimbar Indonesia (1955)
mengemukakan pendapatnya bahwa yang ada bukanlah krisis sastra, melainkan
krisis ukuran menilai sastra. Dan karena ketika itu sebagai kritikus yang
terkemuka bahkan satu-satunya pula adalah H.B. Jassin, maka Sitor berkesimpulan
bahwa krisis yang terjadi adalah krisis dalam diri Jassin sendiri karena
ukurannya tidak matang.
SASTRA MAJALAH
Roman-roman karangan Pramoedya Ananta Toer yang
dalam tahun-tahun 1950-51-52-53 selalu muncul dengan judul-judul baru,
tebal-tebal pula, dielakkan oleh para penuduh itu dengan alas an bahwa
roman-roman itu ditulis Pram dalam penjara, jadi sebelum tahun 1950.
Sejak tahun 1953, Balai Pustaka yang sejak zaman
sebelum perang merupakan penerbit utama buat buku-buku sastra, kedudukannya
tidak menentu. Penerbit ini yang bernaung dibawah kementrian P.P dan K.
Maka aktivitas sastra terutama hanya dalam
majalah-majalah saja sepertiGelanggang/ Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith,
Pudjangga Baru dan lain-lain. Karena sifat majalah maka
karangan-karangan yang mendapat tempat terutama yang berupa sajak, cerpen dan
karangan-karangan lain yang tidak begitu panjang. Sesuai dengan yang dibutuhkan
oleh majalah-majalah, maka tak anehlah jika para pengarangpun lantas hanya
mengarang cerpen, sajak dan karangan-karangan lain yang pendek-pendek.
Keadaan seperti itulah yang menyebabkan lahirnya istilah “sastra majalah”.
Istilah ini pertama kali dilansirkan oleh Nugroho Notosusanto dalam tulisannya
“situasi 1954” yang tadi sudah disebut, dimuat dalam majalah kompas yang
dipimpinnya.
Pada masa
sekitar persoalan “krisis kesustraan Indonesia” diramaikan orang, ada pula
persoalan lain yang menjadi pokok perhatian pada peminat sastra. Yaitu,
persoalan lahirnya angkatan sesudah angkatan ’45, atau sesudah angkatan Chairil
Anwar. Dalam simposion sastra yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra
Universitas Indonesia tahun 1955, Harijadi S. Hartowardojo memberikan sebuah
prasaran yang berjudul ‘puisi Indonesia sesudah Chairil Anwar
Dalam simposion sastra yang dieselenggarakan di
Jakarta pada tahun 1960, Ajip Rosidi memberikan sebuah prasaran tentang
‘Sumbangan Angkatan Terbaru Sastrawaan Indonesia Kepada Perkembangan
Kesustraan Indonesia’/ dalam prasaran itu dicoba untuk mencari cirri-ciri yang
membedakan angkatan tebaru dengan angkatan ’45.
Lebih
lanjut dalam prasaaran itu dikemukakan bahwa setiap budaya para sastrawan yang
tergolong pada ‘angkatan baru’ merupakan sintensis dari pada dua sikap ekstrim
mengenai konsepsi kebudayaan Indonesisa. Yang pertama adalah, sikap yang
berpendapat bahwa kebudayaan nosional Indonesia itu merupakan persatuan dari
puncak-puncak kebudayaan daerah. Yang kedua adalah sikap yang berpendapat bahwa
kebudayaan Indonsia adalah mendunia dan mempersetan kebudayaan daerah. Maka
sikap sintesisnya adalah Kebudayaan Nasiaonal Indonesia akan berkembang
berdasarkan kenyataan-kenyataan dalam masyarakat Indonesia masa kini, yaitu
adanya kebudayaan daerah dan adanya pengaruh dari luar.
Dalam seminar kesusastraan yang diselenggarakan
Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1963. Nugroho menekankan pada
kenyataan bahwa para pengarang yang aktif mulai menulis pada period 1950 adalah
mereka yang telah mempunyai “sebuah tradisi Indonesia sebagai titik tolak”.
Sifat imitatif dari Belanda atu Eropah berkurang.
Dalam
hal ini peranan majalah kisah (1953-1956), tak bisa dibilang kecil, karena
banyak para pengarang yang muncul dalam period ini mengemukakan tulisannya yang
mula-mula dalam majalah ini. Atau banyak pula pengarang yang sudah menulis
sebelum tahun 1953, kemudian mendapat kesempatan berkembang sebaik-baiknya
dalam majajalah kisah.
BEBERAPA PENGARANG
Nugroho Notosusanto terkenal sebagai penulis
prosa, terutama pengarang cerpen. Pengarang kelahiran Rembang, 15 Juli 1930
telah menerbitkan tiga buah kumpulan cerpen. Cerpen yang pertama adalah ‘Hudjan
Kepagian (1958)’, ‘Tiga Kota (1959)’, dan ‘Rasa Sajange (1963)’.
A.A. Navis, lahir di Padangpanjang 17 November 1924, ia disebut sebagai
pengarang Islam. Cerpen pertamanya dan yang terkenal berjudul ‘Robohnya Surau
Kami’ cerpen ini menunjukan sindiran terhadap orang-orang yang kelihatannya
patuh melakukan syariat agama tetapi sebenarnya rapuh di dalam, sehingga mudah
saja terhasut untuk bunuh diri. Cerpen lainnya ‘Hudjan Panas (1964)’, dan
‘Bianglala (1954), dan sebuah roman yang berjudul ‘kemarau (1967)’.
Tisnojuwono, lahir di Jogjakarta, 5 Desember 1926. Kumpulan cerpen pertamanya
‘laki-laki dan mesju (1957)’, cerpen-cerpen Trisnojuwono menarik karena ia
melukiskan manusia dalam situasinya lengkap dengan ketakutan, nafsu birahi,
kelemahan dan kekuatan. Kumpulan cerpen yang kedua adalah ‘Angin Laut (1958)’,
‘Di Medan Perang (1961)’,dan ‘ Kisah-Kisah Revolusi (1965). Ia juga menulis
roman berjudul ‘Bulan Madu (1962),’Biarkanlah Tjahaja Matahari Membersihkanku
Dulu (!966).
Iwan Simatupang, lahir di Sibolga 18 Januari 1928. Dramanya ‘Bulan Bujur
Sangkar’, ‘Taman’, ‘RT Nol/RW Nol’.Romannya berjudul ‘Ziarah’, dan’ Merahnya
Merah (1968)’.
Toha Mohtar, romannya berjudul ‘Peluang (1958)’. Roman ini mendapat hadiah
sastra nasional BMKN tahun 1958. Kemudian roman selanjutnya berjudul ‘Daerah
Tak Bertuah (1963)’, ‘Bukan Karena Kau (1968), dan’ Kabut Rendah (1968)’.
Subagio Sastrowardojo, buku kumpulan sajak yang pertama yaitu ‘simphoni
(1957)’. Lalu cerpen-cerpennya dbukukan dengan judul ‘Kedjantanan di Sumbing
(1965)’,’Perawan Tua’, cerpen ini melukiskan jiwa seorang gadis yang karena
ingin setia kepada kekasihnya yang gugur dalam pertempuran melawan belanda lalu
menghadapi hidupnya yang sepi. Kemudian, ‘tujuan hidup’ cerpennya mamiliki plot
yang sama dengan ‘Perawan Tua’.
Motinggo Boesje, lahir di Kupangkota, Lampung 21 November 1937. Dramanya ‘Malam
Djahanam’ mendapat hadiah sayembara penulisan drama (1958),’Badai Sampai Sore
(1962)’,’Njonja dan Njonja (1963),’Malam Pengantin di Bukit Kera (1963)’,
kemudian cerpen-cerpennya dibukukan antaranya dalam ‘Keberanian Manusia
(1962)’,’Nasihat Untuk Anakku (1963)’,’Matahari Dalam Kelam (1963)’. Kemudian
romannya ‘Tidak Menyerah (1962)’,’Sedjuta Matahari (1963)’,’1949 (1962)’,dan
lain-lain.
PENGARANG YANG LAIN
Rijono Pratikto, lahir di Tegal 27 Agustus 1932. Cerpen-cerpennya berjudul ‘Api
dan Beberapa Tjerita Pendek Lain (1951)’.
S. M. Ardan, lahir di Medan 2 Februari 1932. Sajaknya berjudul “Ketemu Didjalan
(1956)’,’Terang Bulan Terang Dikali (1955)’. Romannya berjudul ‘Njai Dasima
(1965).
Sukanto S. A, lahir di Tegal 30 Desember 1930. Kumpulan cerpennya berjudul
“Bulan Merah (1958)’.
Alex A’xandre Leo nama samaran dari Zulkarnain lahir di Lahat 19 Agustus 1934.
Kumpulan cerpennya berjudul ‘Orang Jang Kembali (1956)’. Kemudian romannya
berjudul ‘Mendung yang disebutnya “Sebuah Novela Suka duka carita Sebuah
Rumah-Tangga”.
Bokor Hatasuhud lahir di Balige 2 Juli 1934. Kumpulan cerpennya berjudul
‘Datang Malam (1963)’, dan romannya “Penakluk Udjung Dunia (1964)’, dan ‘Tanah
Kesajangan (1965)’.
Alex L Tobing lahir di Surabaya 12 Juli 1934. ‘Perkenalan dengan Haraga
Manusia’,’Pudar Menjelang Kilau’,’Mekar Karena Memar (1959).
Ali Audah lahir di Bondowoso 15 Juli 1924. Kumpulan cerpennya berjudul ‘Malam
Bimbang (1961)’. Buku-buku terjemahan sastra arab modern berjudul ‘Suasana
Bergema (1959)’,’Peluru dan Asap (1963)’,’Genta Daerah Wadi (1967)’, dan
‘Kleopatra dalam Konperensi Perdamaian (1966).
Suwardi Idris, lahir di Solok 10 November 1930. Cerpennya di bukukan berjudul
‘Isteri Seorang Sahabat (1963)’ dan ‘ Diluar Dugaan (1963). Romannya berjudul
‘Dari Puntjak Bukit Talang (1964).
Djamil Suherman, lahir di Surabaya 1926. Kumpulan cerpennya dibukukan berjudul
‘Umikalsum dan Cerita-cerita Pendek Lainnya (1963)’. Romannya berjudul
‘Perjalanan Keachirat (1965).
M. Alwan Tafsiri lahir di Ngawi 1937. Cerpennya dimuat di majalah Kisah dan
sebagian dimuat dalam kumpulannya berjudul ‘Lukisan Dinding (1963).
BEBERAPA PENYAIR
Toto Sudarato Bachtiar, lahir di Palimanan,
Cirebon 12 Oktober 1929. Sajaknya yang pertama ‘Ibukota Senja (1951), sebagian
kecil dari terjemahan-terjemahan cerpennya dikumpulkan dalam ‘Bunglon (1965)’.
W. S. Rendra Lahir di Solo 7 November 1935. Sajak-sajaknya dimuat dalam
kumpulan sajaknya berjudul ‘Balada Orang-Orang Tertjinta (1957). Judul sajaknya
diantaranya ‘Terbunuhnya Atmo Karpo’,’Tahanan’. Selain menulis sajak, iapun
menulis cerpen dan drama.
Ramdhan K.H, lahir di Bandung 16 Maret 1927. Buku dramanya berjudul ‘Yerma Saja
(1959),’sajak-sajaknya sendiri ia bukukan dengan judul ‘Priangan Sidjelita
(1958). Romannya berjudul ‘Rojan Revolusi’.
Kirdjomujo, lahir di Jogjakarta tahun 1930. Tahun 1955 terbit buku kumpulan
sajaknya berjudul ‘Romance Perdjalanan 1’. Umumnya sajaknya merupakan lirika
yang melukiskan perasaan penyairnya terhadap alam, tanah tumpah darah, lautan,
gunung, dll. Selain menulis sajak, ia menulis drama dan cerpen.
BEBERAPA PENYAIR LAINNYA
Hartojo Andangdjaja (1930), M. Husyn Umar (1931), Odeh Suardi (1930), Sugiarta
Sri Wibawa (1932), A.D Donggo (1932), Surachman R.M (1936), Ajatrohadi (1939),
Mansur Samin (1930), dll.
DRAMA
Tahun 1958 diumumkan tiga orang penulis yang dramanya mendapat hadiah dalam
sebuah sayembara penulisan naskah drama yang diselenggarakan oleh bagian
kesenian P.P&K yang mendapat hadiah pertama adalah Motinggo Boesje.
Dramanya berjudul ‘Malam Djahanam’. Kedua, M. Jusa Biran. Dramanya berjudul
‘Bung Besar’. Dan yang ketiga Nasjah Djamin dramanya berjudul
‘ Sekelumit Njajian Sunda’.
PENGARANG WANITA
N.H Dini, nama lengkapnya Nurhajati Srihardini
lahir di Semarang 29 Februari 1936. Cerpennya berjudul ‘Dua Dunia (1956)’,
dalam cerpen itu Dini menunjukkan perhatiannya yang besar terhadap
kepincangan-kepincangan sosial yang dia lihat terjadi di sekelilingnya.
Misalnya dalam cerpennya ‘Kelahiran’, dan ‘ Perempuan Warung’. Roman pendeknya
berjudul ‘Hati Jang Damai (1961), ‘Hiroko’,’Pada Sebuah Kapal’ dan ‘La Barka’.
Analisis
Karya Sastra Period 1953-1961
Analisis Sajak
Ada Telgram Tiba Senja ( W.S. Rendra )
Pada tahun 1957, W.S Rendra membuat kumpulan
sajak yang berjudul. Balada Orang-Orang Tercinta. Kumpulan sajaknya mendapat
Hadiah Sastra Nasional Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN).
Di bawah ini analisis salah satu kumpulan sajak
Balada Orang-Orang Tercinta. Berjudul “Ada Telgram Tiba Senja”.
• Dari judulnya /Ada Tilgram Tiba Senja/ di sana W.S Rendra melukiskan
bahwa sang aku dalam syair ini berjauhan dengan sang dia yang menjadi tujuan
syair ini.
• /ada tilgram tiba senja/,/dari pusar kota yang gila/,/disemat di dada bunda/.
Bait pertama menyiratkan bahwa ada sebuah pesan
(telegram) yang datang dari tempat yang jauh dari bayangan sang penerima pesan
yaitu bunda. Dan di terima oleh bunda dengan sangat bahagia.
• /Bunda, letihku tandas ke tulang/,/anakda
kembali pulang/.
Pada bait kedua menggambarkan dengan gamblang bahwa bait ini menceritakan isi pesan itu
(telegram).
• /Kapuk randu! Kapuk randu/,/selembut tudung
cendawan/,/kuncup-kuncup di hatiku/,/pada mengembang bermerkahan/.
Pada bait ketiga W.S Rendra menggambarkan bahwa
tokoh bunda dalam syair ini begitu bergembira, diumpamakan bagai kapuk randu yang sudah
matang dan keluar kapasnya.
• /dulu ketika pamit mengembara/,/ku beri ia kuda
bapaknya/,/berwarna sawo matang/,/cepat larinya/,/jauh perginya/.
Pada bait keempat ini menyiratkan bahwa ketika
tokoh anaknya akan mengembara, sang bunda memberikan keberanian yang digambarkan dengan ‘kuda
bapaknya’. Dan sang anak pun pergi jauh merantau.
• /dulu masanya rontok asam jawa/,/untuk apa ku
rontokan air mata?/,/cepat larinya/,/jauh perginya/.
Pada bait kelima ini
menyiratkan hari ketika sang anak pergi, dan bunda dalam syair ini meneguhkan
hati.
• /Lelaki
yang kuat biarlah menuruti darahnya/,/menghujam ke rimba dan pusar kota/
Pada bait keenam ini
menyiratkan bagaimana tokoh bunda pada syair ini memahami atau mengerti bahwa
takdir seorang laki-laki sudah sewajarnya mengembara
• /tinggal
bunda di rumah menepuki dada/,/melepas hari tua, melepas doa-doa/,/cepat
larinya./jauh perginya/
Pada bait ke tujuh
digambarkan bagaimana kesabaran tokoh bunda yang berdoa untuk anaknya yang
sedang merantau.
• /Elang
yang gugur tergeletak/,/Elang yang gugur terebah/,/satu harapku pada anak.
Pada bait ini di jelaskan
sosok Elang yang menggambarkan tokoh anak yang gagah berani. Di sana di tulis
elang yang gugur tergeletak dan terebah menjelaskan bahwa sekuat-kuatnya
seorang anak laki-laki ternyata bisa jatuh juga atau bisa lelah juga. Dan pada
bait ini digambarkan harapan tokoh bunda yang berharap bila anaknya sudah lelah
ia bisa kembali pada sang bunda.
• /kecilnya
dulu meremasi susuku/,/kini letih pulang ke ibu/,/hatiku tersedu/,/hatiku
tersedu/
Pada bait ini menggambarkan
bagaimana tokoh anaknya ketika kecil, yang diberi kasih sayang. Kemudian sang
anak pulang dari pengembaraannya dan betapa bahagianya hati sang bunda.
• /bunga
randu! Bunga randu!/,/anakku lanang kembali ku pangku/
Kembali pada bait ini
menggambarkan bunga randu sebagai ungkapan kebahagiaan, dan dalam bait ini
digambarkan bahwa sang bunda sudah menunggu anknya untuk kembali
kepangkuaannya.
• /darah,
o, darah/,/ia pun lelah/,/dan mengerti artinya rumah/
Pada bait ini kembali kata
“darah” menjadi gambaran tentang semangat seorang pemuda. Kemudian tokoh anak
yang sudah lelah dalam pengembaraannya dan akhirnya kembali juga ke rumah.
• /rumah
mungil berjendela dua/,/serta bunga dibendulnya/,/bukankah itu mesra?/
Pada bait ini
mendeskripsikan bagaimana keadaan rumah yang tokoh anak tinggalkan sekarang.
• /ada
podang pulang ke sarang/,/tembangnya panjang berulang-ulang/,/pulangnya pulang,
hari petualang!/
Pada bait ini digambarkan
podang yang pulang ke sarang yang berarti sejauh apapun seorang anak pergi
merantau iapun kembali ke rumahnya. Dan digambarkan bahwa hari pulangnya sang
perantau tiba.
• /ketapang.
Ketapang yang kembang/,/berumpun di dekat perigi tua/,/anakku datang, anakku
pulang/,/kembali kucium, kembali keriba/
Pada bait ini digambarkan
bagaimana kebahagian sang bunda, yang menunggu anknya pulang sebentar lagi.
Dengan bahagianya sang bunda akan menyambutnya dengan penuh kasih sayang.
ANALISIS NOVEL
Saraswati Si Gadis Dalam Sunyi ( A.A. Navis )
• Sinopsis :
Kisah ini menceritakan
tentang seorang gadis yang tuna wicara dan tuna rungu. Karena musibah yang menimpa keluarganya
menyebabkan ia menjadi hidup sebatang kara. Seluruh keluarganya tewas akibat
kecelakaan lalu lintas. Sementara ia (si gadis) pada waktu itu tidak ikut
karena ia sakit bersama pembantunya.
Semenjak
anggota keluarga yang dicintainya telah tiada, ia mengalami kesedihan yang
tiada tara. Sungguh adanya keanehan perasaan yang dialami ketika merenungi
semua yang pernah ia alami beserta saudara-saudaranya.
Ia tidak
disekolahkan ayahnya seperti saudara-saudaranya karena waktu itu belum ada
sekolah untuk orang bisu tuli. Dengan terjadinya musibah bisu dan tulinya itu,
ia harus rela mengikuti keputusan keluarga lain. Ia harus kembali ke
Padang Panjang meninggalkan kota Jakarta.
Ia dijemput
oleh pamannya yang bernama paman Angah. Di atas kapal yang menuju ke Padang
Panjang, ia mendapatkan pengalaman yang menyakitkan. Di geladak kapal rupanya
ada pula penumpang bisu yang menjadi bahan cemoohan penumpang lain. Bahkan
orang bisu itu melecehkan saraswati. Ia menangis karena nasibnya telah
dimalangkan oleh lingkungannya. Pengalaman di kapal telah membangkitkan
keinginan untuk menjadi orang bisu tuli yang hebat.
Tibalah di
rumah Angah. Keluarga Angah terdiri dari empat orang yaitu istrinya, Busra
serta adiknya Bisri. Mereka menyambut kedatangan si gadis dengan ramah begitu
juga tetangganya.
Mulailah ia
menyesuaikan diri dengan keluarga Angah. Mula-mula untuk mengisi waktu dengan
cara ikut menggembalakan itik. Namun cobaan pertama datang dari anak kecil yang
suka mengganggu bila bertemu menggembalakan itik. Mereka kadang-kadang
melempari si gadis bahkan sampai berdarah. kejadian yang sebenarnya ia pendam
sendiri. Suatu ketika ia diganggu kembali oleh anak-anak sampai kepalanya
berdarah dan jatuh pingsan.
Tugas Saraswati bertambah berat. Ia harus
menggembalakan kambing karena Busra membeli beberapa ekor kambing. Namun suatu
hari saraswati harus menerima kembali ujian berikutnya. Ia harus menempati
kamar belakang yang tidak layak untuk dihuni.
Pada suatu
malam timbullah perasaan duka melanda sanubarinya, yang menyebabkan timbulnya
kekesalan, merasa diperlakukan tidak adil oleh keluarga Angah. Ia memprotes
ketidakadilan dengan menggedor pintu serta berteriak. Apa hendak dikata,
sekalipun Busra menjelaskan segala sesuatunya, sulit untuk saling mengerti
karena keadaan bisu tersebut. Tidak ada alat yang dapat memudahkan saling
mengerti.
Keesokan
harinya, ia berontak dengan cara membiarkan itik-itiknya yang harus diberi
makan. Tak
peduli kambing-kambingnya kelaparan. Ia lari sejauh-jauhnya karena merasa
dirinya diperlakukan tidak adil. Namun kejadian itu diketahui oleh Busra yang
tidak tega melihat penderitaan si gadis dengan cara memberikan pengertian yang
dalam bahwa ia sekeluarga sangat sayang. Namun dia tidak tahu apa yang harus
diberikan padanya sebagai pengisi waktunya. Terjadilah perubahan setelah ia
berontak. Ia tidak disuruh lagi menggembalakan ternaknya, namun diikutsertakan
belajar menjahit, menyulam, dan merenda pada Umi Ros.
Si gadis
mempunyai keinginan untuk belajar membaca, tetapi ia tidak tahu orang yang bisa
mengajarinya. Ketika ia ingin sekali memahami bacaan dari sebuah buku,
datanglah Busra. Dengan susah payah Busra mengajarkan mengenalkan huruf-huruf
yang ada dalam buku tersebut. Begitu juga Bisri ikut membantu mengenalkan huruf
serta menuliskan nama yaitu nama Saraswati.
Keesokan
harinya Saraswati dibawa kepada seorang guru untuk belajar membaca, berbicara,
dengan mengeluarkan bunyi dari mulut ditambah lagi malamnyaBusra mengajarkan kembali dengan tekun.
Saraswati telah mampu mengucapkan beberapa kata yang dapat dipahami orang lain. Keluarganya di Jakarta mengirimkan uang yang cukup banyak hasil penjualan barang peninggalan orang tuanya. Dari uang itu ia dapat membeli mesin jahit serta memperbaiki kamarnya. Ia dapat menjahit, mempermak pakaian, bahkan dapat membantu kesukaran orang lain dengan hasil usahanya sendiri. Ia telah dapat membuatkan pakaian anak tetangga yang miskin serta dapat menambah penghasilan sehari-hari dari hasil jahitannya.
Saraswati telah mampu mengucapkan beberapa kata yang dapat dipahami orang lain. Keluarganya di Jakarta mengirimkan uang yang cukup banyak hasil penjualan barang peninggalan orang tuanya. Dari uang itu ia dapat membeli mesin jahit serta memperbaiki kamarnya. Ia dapat menjahit, mempermak pakaian, bahkan dapat membantu kesukaran orang lain dengan hasil usahanya sendiri. Ia telah dapat membuatkan pakaian anak tetangga yang miskin serta dapat menambah penghasilan sehari-hari dari hasil jahitannya.
Dalam kisah lain, Bisri
menjadi tentara serta memberi harapan yang dalam kepada Saraswati. Sebelum
berangkat kembali untuk mengikuti latihan militer selanjutnya, Bisri
mengucapkan cinta yang tulus pada diri Saraswati. Cinta yang tulus bersemi pula
pada diri Saraswati. Setiap bulan Bisri menyempatkan pulang untuk menemui
keluarga dan Saraswati. Namun bulan berikutnya, ketika Saraswati sudah
berdandan secara khusus untuk menyambut kedatangan Bisri, Bisri tidak pulang.
Peristiwa itu membuat Saraswati kecewa dan menangis. Saraswati jatuh sakit
ketika mendengar bahwa Bisri ikut perang.
Pada suatu hari, dengan
tidak diduga sebelumnya, Bisri datang menemui serta menumpahkan rasa cintanya
kepada Saraswati. Betapa bahagianya Saraswati. Sayangnya Bisri tidak lama. Sore
harinya pergi lagi dan memberi harapan yang dalam kepada Saraswati sehingga ia
tidak berduka lagi.
Tak lama kemudian suasana
di kota tempat Saraswati tinggal terjadi kekacauan. Banyak orang-orang kampung
dipukuli sampai babak belur. Begitu juga yang dialami oleh Angah dan Busra.
Mereka sempat dipukuli tentara. Berbagai pertanyaan muncul dalam diri Saraswati
berkenaan dengan kekejaman yang dilakukan oleh tentara yang memasuki kampung
halamannya.
Pada suatu hari datanglah
seorang perempuan menemui Angah. Namun tidak diketahui maksud dan tujuan
perempuan itu. Keesokan harinya Angah mengajak ia pergi saat pagi masih gelap.
Ternyata Saraswati akan dipertemukan dengan Bisri dengan berjalan kaki menelusuri
satu desa ke desa yang lain. Saraswati baru tahu yang berperang di masa itu
adalah tentara PRRI dengan tentara pemerintah.
Setelah menuruni dan
mendaki beberapa bukit, tiba-tiba terdengar letusan senapan. Ternyata salah
satu peluru ada yang nyasar mengenai Angah menyebabkan ia tewas. Alangkah
sedihnya Saraswati, orang yang selama ini melindunginya telah tiada. Saraswati
mengikuti rombongan pengungsi untuk mencari Bisri dengan berbagai penderitaan
yang dialaminya.
Suatu hari Saraswati
berkenalan dengan Tati yang juga pengungsi. Pada saat itu. ia dikenalkan dengan
ayah Tati. Mulai saat itu Saraswati belajar kembali membaca dan menulis dengan
ayah Tati. Dengan menyibukkan diri, kekesalan menanti mulai terobati. Namun
suatu hari Tati lari ke halaman dengan wajah yang riang serta berpegangan
tangan dengan seorang pemuda, ternyata Bisri yang ia cari-cari. Hati Saraswati
hancur. Bahkan ketika Tati dan Bisri mendekatinya, ia lari sejauh mungkin
karena merasa dikhianati oleh Bisri. Begitu juga menjadi benci kepada
Tati yang telah merebut kekasihnya.
Saraswati terus berlari
membawa luka dan duka sampai ia tidak sadar dalam alam luas antara bumi dan
langit. Kini ia benar-benar merasa sendiri, terpencil entah di mana dan tidak
tahu mau ke mana. Karena
putus asa, ia rela mati di hutan belantara itu asal tidak jumpa dengan Bisri
dan Tati.
Saraswati berkelana di
hutan dengan berbagai penderitaan yang dialaminya. Ketika menelusuri tebing dan
bukit ia tergelincir. Terkapar tak berdaya, haus ,lapar dan nyeri seluruh tubuhnya
sampai tak sadarkan diri. Namun jiwa Saraswati masih dapat tertolong berkat
bantuan penduduk sekitar hutan yang menemukannya. Orang yang menolongnya ingin
mengetahui tentang diri Saraswati.
Pada saat terjadi kekacawan. Ketika itu Saraswati sedang berada di
dapur bersama perempuan yang menolongnya.Tetapi belum sempat keduanya berlari,
perempuan itu tertembak dan mati. Saraswati dihantam kepalanya sampai jatuh
oleh tentara yang menyerang kampung itu. Busra dan
Saraswati ditahan sekembali dari pedalaman. Saraswati atas usaha Kapten Hendro
dibawa ke Pusat Rehabilitasi Dr. Suharso di Solo untuk belajar membaca dan
menulis. Sementara Busra tetap di Padang
Panjang. Selama hidup dalam peperangan, Saraswati mengalami berbagai
penderitaan, lebih-lebih hatinya merasa begitu perih ketika cinta pertamanyadikhianati.
Di Solo, kemahiran
menulisnya diperlancar oleh keasyikan saling berkirim surat kepada Busro. Yang
menarik dalam surat menyuratnya adalah tentang kegiatannya dan keadaan kota
Padang Panjang terutama tentang orang-orang yang ia kenal di sana. Memang
banyak kesibukannya, di samping belajar membaca dan menulis, ia juga belajar
berbagai mode pakaian perempuan.
Ketika Busra mengirimkan surat, mata Saraswati
terpusat pada kalimat yang bergaris, “Sekarang usahaku dapat menghidupi lima
sampai delapan orang”. Ia tersentak, Saraswati memahami maksudnya bahwa Busra telah siap hidup bersamanya.
Kemudian Saraswati
menelegram Busro dengan kalimat “Busra,
aku mau pulang”. Enam hari kemudian tiba telegram balasan yang isinya “Tunggu,
aku kan
jemput kau”.
• Tema
:
Tentang berbagai cobaan hidup yang dialami
seorang gadis bisu tuli, sedangkan tema tambahannya adalah tentang percintaan
yang dikhianati yaitu antara Saraswati dengan Bisri, namun Bisri mempunyai
kekasih baru yang bernama Tati.
• Tokoh
dan Penokohan:
• Saraswati
Protagonis
• Busra
Protagonis
• Bisri
Antagonis
• ayah
saraswati Protagonis
• ibu
saraswati Protagonis
• angah
Tritagonis
• guru
andika Tritagonis
• Tati
Antagonis
• ayah
tati
Tritagonis
• perempuan
tua Tritagonis
• Latar Tempat :
Dalam novel ini menggunakan
latar cerita di Indonesia, khususnya di Jakarta, Bandung, Solo, Padang Panjang
serta perkampungan dan hutannya. Tokoh Saraswati yang sebelumnya mengalami
kasih sayang dari keluarganya di Jakarta serta hidup berkecukupan harus hidup
sebatang kara, serta harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru
di Padang Panjang.
• Alur
:
Menggunakan alur campuran yaitu alur maju
denganalur mundur. Alur maju dalam novel ini dintunjukkan oleh
peristiwa-peristiwa yang bersifat kronologis, dengan sedikit alur mundur, di
tujukkan untuk mengingatkan pembaca tentang asal muasal permasalahan.
• Sudut
Pandang :
Dalam novel ini sudut
pandang yang digunakan adalah pandangan orangpertama atau “aku” yang menjadi
tokoh utama meskipun di tengah cerita tokoh aku diganti dengan orang ketiga
(nama yang sebenarnya yaitu Saraswati).
• Amanat
:
Tentang kesabaran dalam menerima berbagai
cobaan hidup serta hidup harus bisa berkarya walaupun diberikan kecacatan dalam
jasmani sehingga orang cacat tidak dipandang sebelah mata. Kesempurnaan manusia
bukan dari fisik semata.
• Gaya
bahasa :
Bahasa yang digunakan dalam
penulisan novel ini Bahasa Indonesia yang cukup sederhana, mudah dipahami,
tidak banyak menggunakan bahasa asing atau bahasa gaul, meskipun ada sedikit
bahasa daerah, terutama bahasa Padang seperti lore, dangsu,dll.
Analisis Cerpen
Dua Dunia Nh. Dini
• Sinopsis Cerpen :
Iswanti adalah seorang isteri yang setia. Di
usianya yang muda dia terkena penyakit tifus. Dia di jodohkan oleh Darwono oleh
kedua orang tuanya. Dia mempunyai seorang anak bernama Kanti. Iswanti selalu
percaya terhadap Darwono, sehingga dia tidak pernah curiga sedikit pun bahwa
Darwono akan berselingkuh. Beberapa bulan setelah itu, Iswanti selalu menahan
sakit hati terhadap ibu tirinya Darwono, Iswanti selalu dianggap tidak ada.
Awalnya Iswanti berfikir bahwa hubungan Darwono dan ibu tirinya hanya sebatas
kasih sayang antara ibu dan anak. Suatu hari Iswanti melihat Darwono tidur
dipangkuan ibunya dengan penuh nafsu bukan lagi kasih sayang kepada ibu, tetapi
lebih dari itu. Beberapa kali ia menahan rasa sakit itu.
Akhirnya batas kesabaran Iswanti pun habis. Dia
pergi meninggalkan Darwono dan ibu tirinya bersama Kanti anaknya. Iswanti
bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Ternyata tanpa sepengetahuan
Iswanti, ibu dan ayahnnya Iswanti menerima uang dari Darwono. Iswanti sangat
kecewa ketika mengetahui hal itu. Dia merasa seharusnya uang yang ia dapatkan
dari bekerja dan pensiunan ayahnya cukup untuk menghidupi kebutuhan
keluarganya, tetapi ternyata tidak demikian. Ibu Iswanti memiliki hutang yang
cukup banyak karena ibunya penggila judi dan belum lagi hutang pernikahan
adiknya, yang selama ini selalu ditutupi oleh ayahnya. Ayahnya baru memberitahu
Iswanti setelah ibunya meninggal. Ayahnya ingin meminta tolong kepada Darwono
tetapi Iswanti menolak secara halus dia tidak mau terlibat lagi dengan Darwono.
Dia menuntut cerai kepada Darwono, dan hasilnya menurut hukum islam anak
perempuan itu ikut bapanya, tetapi Iswanti tidak menerima Kanti di asuh oleh
Darwono.
• Judul
: Dua Dunia
• Tema
: Kesetiaan
• Penokohan : 1.
Iswanti
(Protagonis)
2. Darwono
(Antagonis)
3. Kanti
(Tritagonis)
4. Bapa Iswanti
(Tritagonis)
5. Ibu Iswanti
(Tritagonis)
6. Ibu Tiri Darwo (Tritagonis)
• Latar : Di Kamar
• Alur/Plot
: Maju
• Sudut pandang : Orang pertama tunggal
• Penyelesaian : Sad Ending
• Amanat
: Ketika sudah berkeluarga sebaiknya janganlah tinggal satu atap dengan
orang tua atau keluarga.
Analisis Drama
Malam Djahanam ( Motinggo Boesje )
• Sinopsis
Di sebuah perkampungan
nelayan, tinggallah Mat Kontan beserta istri (Paijah) dan anaknya (Mat Kontan
Kecil). Soleman, teman dekat Mat Kontan, tinggal di seberang rumah mereka.
Suatu malam, Paijah menunggu suaminya yang belum juga pulang. Ia
mengkhawatirkan anaknya yang sedang sakit. Akhirnya, Mat Kontan pulang membawa
seekor burung. Saat mengobrol dengan Soleman di teras rumahnya, dia
menyombongkan burung perkututnya yang baru, juga istri dan anaknya. Soleman
yang tidak tahan mendengarnya mengungkit-ungkit ketakutan Mat Kontan ketika
nyawanya hampir melayang karena terperosok ke dalam pasir. Mat Kontan yang
ketakutan rahasianya dibongkar langsung berbaik-baik pada Soleman.
Tak lama kemudian, Mat
Kontan mulai menyombongkan diri lagi. Dia juga menuduh Soleman iri karena dia
mempunyai istri yang cantik dan seorang anak. Soleman bahkan dianggap takut
menyentuh perempuan karena sampai sekarang belum juga beristri. Mat Kontan
masuk untuk melihat burung beo kesayangannya tapi tidak menemukannya. Utai,
seorang warga kampung itu yang setengah pandir, mengaku pernah melihat bangkai
burung tersebut di dekat sumur dengan leher tergorok. Mat Kontan yang jadi
marah besar mengajak Utai menemaninya ke tukang nujum untuk mengetahui siapa
pembunuhnya.
Paijah yang ketakutan
bertanya pada Soleman apa yang sebaiknya ia katakan bila ditanya oleh Mat
Kontan nanti. Ternyata, Solemanlah yang membunuh burung beo kesayangan Mat
Kontan agar perselingkuhannya dengan Paijah tidak ketahuan. Soleman berjanji
akan melindungi Paijah.
Mat Kontan segera pulang
karena tukang nujum yang hendak ditemuinya sudah meninggal. Dia pun marah-marah
pada Paijah, bertanya siapa yang membunuh burung beonya. Paijah balas
mengungkapkan kekesalannya pada Mat Kontan yang tidak pernah memikirkan dan
menyayangi dirinya dan anaknya tapi selalu membangga-banggakan mereka pada
semua orang.
Awalnya, Soleman membela
Paijah dari amarah Mat Kontan. Lama-lama Soleman diam saja. Paijah kecewa pada
Soleman dan mengaku sebagai pembunuh burung beo Mat Kontan. Soleman pun mengaku
bahwa dialah pembunuh burung beo Mat Kontan dan bahwa dialah ayah dari anak
Paijah, anak yang selama ini Mat Kontan bangga-banggakan sebagai anaknya.
Mat Kontan marah dan
mengangkat goloknya. Soleman membuat Mat Kontan takut lagi dengan
mengingatkannya tentang saat dia terperosok ke dalam pasir. Mat Kontan pergi
dan menyerahkan Paijah serta anaknya pada Soleman.
Soleman menyusul Mat Kontan
yang dikiranya hendak bunuh diri. Ternyata, Mat Kontan dan Utai sudah menunggu
untuk membunuhnya. Soleman berhasil meloloskan diri dan pergi ke stasiun kereta
api. Utai mati karena ditendang oleh Soleman.
Mat Kontan kembali ke
rumahnya dan masih mau hidup dengan Paijah serta anak Soleman. Dia bahkan mulai
memerhatikan anak itu dan pergi memanggil dukun untuk mengobati penyakitnya.
Sayangnya, malam itu juga si bayi meninggal dunia.
· Tema
Sisi
buruk dan baik manusia
· Alur
Alur dalam drama ini adalah alur maju atau linear, yaitu peristiwa yang dialami
oleh tokoh cerita tersusun menurut urutan waktu terjadi secara berurutan. Alur
ini berlangsung secara kontinyu dan memuncak.
· Latar
Di
sebuah perkampungan nelayan
· Gaya Bahasa
Naskah drama ini menggunakan bahasa yang agak kasar. Menggunakan bahasa
sehari-sahari.
· Tokoh
dan Penokohan
1. Tokoh
Ø Soleman
= Selingkuhan paijah
Ø Mat
Kontan = Suami
Paijah
Ø Paijah
= Istrinmat Kontan
Ø Tukang
Pijat = Piguran
2. Penokohan
Ø Antagonis
= Soleman, Paijah
Ø Protagonis
= Mat Kontan
Ø Tritagonis
= Utai
Ø Piguran
= Tukang Pijat
· Perwatakan
1. Soleman
memiliki sifat pengecut, besar mulut, dan pembual.
2. Mat Kontan memiliki sifat sombong, angkuh, penakut, egois, emosional, dan sok tahu.
3. Paijah adalah orang yang
pencemas dan tidak setia.
4. Utai
ia sesosok orang yang setia, selalu menuruti perintah Mat Kontan (tangan kanan
Mat Kontan).
5. Tukang
Pijat munculnya hanya sepintas, atau bisa disebut sebagai pemeran piguran.
· Amanat
Kita sebagai mahluk sosial harus dapat menghargai orang lain, selain itu juga
kita harus bertanggungjawab akan semua yang telahkita lakukan walaupun akan
berdampak buruk untuk kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar