Kamis, 09 Januari 2014

Makalah sejarah sastra Periode 1953-1961

Period 1953-1961

KRISIS SASTRA INDONESIA
           
Setelah Chairil Anwar meninggal dunia, lingkungan kebudayaan ‘Gelanggang Seniman Merdeka’, seakan-akan kehilangan vitalitas. Asrul Sani yang beberapa lamanya asik meniulis esai, sudah jarang sekali menulis sajak atau hasil sastra lainnya. Demikian pula Rivai Apin padahal kedua orang itu tadinya dianggap sebagai tumpuan- harap yang akan melanjutkan kepeloporan Chairil.
Pada bulan April 19532 di Jakarta diselenggarakan sebuah simposion tentang “kesulitan-kesulitan zaman peralihan sekarang”. Dalam simposion yang diselenggarakan oleh golongan-golongan kebudayaan Gelanggang, Lekra, Liga Komponis, PEN-Club Indonesia dan Pujangga Baru itu telah dibahas kesulitan-kesulitan zaman peralihan, ditinjau dari sudut sosiologi psikologi, dan ekonomi. Di antara para pembaca adalah St. Sjahrir, Moh. Said, Mr. Sjafrudin Prawiranegra, Prof. Dr Slamet Iman Santoso, Dr J. Ismael, S. Takdir Alisjahbana, Boejoeng Saleh, dan lain-lain. Dalam simposion itu dilontarkan istilah “krisis akhlak”, “krisis ekonomi” dan berbagai krisis lainnya.
Tahun 1953, di Amsterdam diselenggarakan sebuah simposion tentang kesusastraan Indonesia. Antara lain berbicara dalam simposion itu Asrul Sani, S. Takdir Alisjahbana, Prof. Dr. Wertheim dan lain-lain. Di sinilah untuk pertama kali dibicarakan tentang “impasse” (kemacetan) dan “krisis sastra Indonesia sebagai akibat dari gagalnya revolusi Indonesia”. Tetapi persoalan tentang krisis baru menjadi bahan pembicaraan yang ramai betul ketika terbit majalah Konfrontasi pada pertengahan tahun 1954. Dalam nomer pertama majalah itu dimuat sebuah esai Sudjatmoko (lahir di Sawahlunto tanggal 10 Januari 1922) berjudul ‘Mengapa Konfrontasi”. Dalam karangan itu secara tandas dikatakan oleh penulisnya bahwa sastra Indonesia sedang mengalami krisis.
Dalam esainya itu Sudjatmoko melihat adanya krisis sastra sebagai akibat dari krisis kepemimpinan poltik. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa sastra Indonesia sedang mengalami krisis karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil yang “berlingkar sekitar psikologisme perseorangan semata-mata”. Roman-roman besar tak ada ditulis. Karangan Sudjatmoko ini mendapat reaksi hebat.
Nugroho Sudjatmoko, S.M. Ardan, Boejoeng Saleh dan lain-lain secara tandas disertai dengan bukti-bukti yang sukar untuk dibantah, menolak penamaan “krisis sastra”. Menurut mereka sastra Indonesia sedang hidup dengan subur. H.B. Jassin dalam simposion sastra yang diselenggarakan olh Fakultas Sastra Universitas Indonesia di Jakarta pada bulan Desember 1954, mengemukakan sebuah prasaran yang dengan tandas diberinya judul ; ‘Kesusasteraan Indonesia Modern Tidak Ada Krisis’. Dengan bukti-bukti dari dokumentasinya yang lengkap, Jassin pun menolak sebutan adanya krisis maupun impassedalam kehidupan sastra Indonesia.
Dalam tulisan berjudul ‘Situasi 1954’ yang ditujukan kepada sahabatnya Ramadhan K.H., Nugroho Notosusanto mencoba mencari latar belakang timbulnya penamaan “impassesastra Indonesia” yang bagi dia tak lebih dari hanya sebuah “mite” (dongengan) belaka. Nugroho pun melihat kemungkinan bahwa golongan “old cracks” Angkatan ’45 yang pada tahun-tahun 1945 mengalami jaman keemasan, pada tahun sesudah 1950 mengalami kemunduran lalu mereka berpegang kepada jaman sekarang dimana muncul banyak tokoh-tokoh baru .
Sitor Situmorang dalam sebuah tulisannya yang berjudul Krisis H.B. Jassin dalam majalah Mimbar Indonesia (1955) mengemukakan pendapatnya bahwa yang ada bukanlah krisis sastra, melainkan krisis ukuran menilai sastra. Dan karena ketika itu sebagai kritikus yang terkemuka bahkan satu-satunya pula adalah H.B. Jassin, maka Sitor berkesimpulan bahwa krisis yang terjadi adalah krisis dalam diri Jassin sendiri karena ukurannya tidak matang.

SASTRA MAJALAH
Roman-roman karangan Pramoedya Ananta Toer yang dalam tahun-tahun 1950-51-52-53 selalu muncul dengan judul-judul baru, tebal-tebal pula, dielakkan oleh para penuduh itu dengan alas an bahwa roman-roman itu ditulis Pram dalam penjara, jadi sebelum tahun 1950.
Sejak tahun 1953, Balai Pustaka yang sejak zaman sebelum perang merupakan penerbit utama buat buku-buku sastra, kedudukannya tidak menentu. Penerbit ini yang bernaung dibawah kementrian P.P dan K.
Maka aktivitas sastra terutama hanya dalam majalah-majalah saja sepertiGelanggang/ Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith, Pudjangga Baru dan lain-lain. Karena sifat majalah maka karangan-karangan yang mendapat tempat terutama yang berupa sajak, cerpen dan karangan-karangan lain yang tidak begitu panjang. Sesuai dengan yang dibutuhkan oleh majalah-majalah, maka tak anehlah jika para pengarangpun lantas hanya mengarang cerpen, sajak dan karangan-karangan lain yang pendek-pendek.
        Keadaan seperti itulah yang menyebabkan lahirnya istilah “sastra majalah”. Istilah ini pertama kali dilansirkan oleh Nugroho Notosusanto dalam tulisannya “situasi 1954” yang tadi sudah disebut, dimuat dalam majalah kompas yang dipimpinnya.
        Pada masa sekitar persoalan “krisis kesustraan Indonesia” diramaikan orang, ada pula persoalan lain yang menjadi pokok perhatian pada peminat sastra. Yaitu, persoalan lahirnya angkatan sesudah angkatan ’45, atau sesudah angkatan Chairil Anwar. Dalam simposion sastra yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1955, Harijadi S. Hartowardojo memberikan sebuah prasaran yang berjudul ‘puisi Indonesia sesudah Chairil Anwar
Dalam simposion sastra yang dieselenggarakan di Jakarta pada tahun 1960, Ajip Rosidi memberikan sebuah prasaran tentang ‘Sumbangan  Angkatan Terbaru Sastrawaan Indonesia Kepada Perkembangan Kesustraan Indonesia’/ dalam prasaran itu dicoba untuk mencari cirri-ciri yang membedakan angkatan tebaru dengan angkatan ’45.
        Lebih lanjut dalam prasaaran itu dikemukakan bahwa setiap budaya para sastrawan yang tergolong pada ‘angkatan baru’ merupakan sintensis dari pada dua sikap ekstrim mengenai konsepsi kebudayaan Indonesisa. Yang pertama adalah, sikap yang  berpendapat bahwa kebudayaan nosional Indonesia itu merupakan persatuan dari puncak-puncak kebudayaan daerah. Yang kedua adalah sikap yang berpendapat bahwa kebudayaan Indonsia adalah mendunia dan mempersetan kebudayaan daerah. Maka sikap sintesisnya adalah Kebudayaan Nasiaonal Indonesia akan berkembang berdasarkan kenyataan-kenyataan dalam masyarakat Indonesia masa kini, yaitu adanya kebudayaan daerah dan adanya pengaruh dari luar.
Dalam seminar kesusastraan yang diselenggarakan Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1963. Nugroho menekankan pada kenyataan bahwa para pengarang yang aktif mulai menulis pada period 1950 adalah mereka yang telah mempunyai “sebuah tradisi Indonesia sebagai titik tolak”. Sifat imitatif dari Belanda atu Eropah berkurang.
        Dalam hal ini peranan majalah kisah (1953-1956), tak bisa dibilang kecil, karena banyak para pengarang yang muncul dalam period ini mengemukakan tulisannya yang mula-mula dalam majalah ini. Atau banyak pula pengarang yang sudah menulis sebelum tahun 1953, kemudian mendapat kesempatan berkembang sebaik-baiknya dalam majajalah kisah.

BEBERAPA PENGARANG
            Nugroho Notosusanto terkenal sebagai penulis prosa, terutama pengarang cerpen. Pengarang kelahiran Rembang, 15 Juli 1930 telah menerbitkan tiga buah kumpulan cerpen. Cerpen yang pertama adalah ‘Hudjan Kepagian (1958)’, ‘Tiga Kota (1959)’, dan ‘Rasa Sajange (1963)’.
            A.A. Navis, lahir di Padangpanjang 17 November 1924, ia disebut sebagai pengarang Islam. Cerpen pertamanya dan yang terkenal berjudul ‘Robohnya Surau Kami’ cerpen ini menunjukan sindiran terhadap orang-orang yang kelihatannya patuh melakukan syariat agama tetapi sebenarnya rapuh di dalam, sehingga mudah saja terhasut untuk bunuh diri. Cerpen lainnya ‘Hudjan Panas (1964)’, dan ‘Bianglala (1954), dan sebuah roman yang berjudul ‘kemarau (1967)’.
            Tisnojuwono, lahir di Jogjakarta, 5 Desember 1926. Kumpulan cerpen pertamanya ‘laki-laki dan mesju (1957)’, cerpen-cerpen Trisnojuwono menarik karena ia melukiskan manusia dalam situasinya lengkap dengan ketakutan, nafsu birahi, kelemahan dan kekuatan. Kumpulan cerpen yang kedua adalah ‘Angin Laut (1958)’, ‘Di Medan Perang (1961)’,dan ‘ Kisah-Kisah Revolusi (1965). Ia juga menulis roman berjudul ‘Bulan Madu (1962),’Biarkanlah Tjahaja Matahari Membersihkanku Dulu (!966).
            Iwan Simatupang, lahir di Sibolga 18 Januari 1928. Dramanya ‘Bulan Bujur Sangkar’, ‘Taman’, ‘RT Nol/RW Nol’.Romannya berjudul ‘Ziarah’, dan’ Merahnya Merah (1968)’.
            Toha Mohtar, romannya berjudul ‘Peluang (1958)’. Roman ini mendapat hadiah sastra nasional BMKN tahun 1958. Kemudian roman selanjutnya berjudul ‘Daerah Tak Bertuah (1963)’, ‘Bukan Karena Kau (1968), dan’ Kabut Rendah (1968)’.
            Subagio Sastrowardojo, buku kumpulan sajak yang pertama yaitu ‘simphoni (1957)’. Lalu cerpen-cerpennya dbukukan dengan judul ‘Kedjantanan di Sumbing (1965)’,’Perawan Tua’, cerpen ini melukiskan jiwa seorang gadis yang karena ingin setia kepada kekasihnya yang gugur dalam pertempuran melawan belanda lalu menghadapi hidupnya yang sepi. Kemudian, ‘tujuan hidup’ cerpennya mamiliki plot yang sama dengan ‘Perawan Tua’.
            Motinggo Boesje, lahir di Kupangkota, Lampung 21 November 1937. Dramanya ‘Malam Djahanam’ mendapat hadiah sayembara penulisan drama (1958),’Badai Sampai Sore (1962)’,’Njonja dan Njonja (1963),’Malam Pengantin di Bukit Kera (1963)’, kemudian cerpen-cerpennya dibukukan antaranya dalam ‘Keberanian Manusia (1962)’,’Nasihat Untuk Anakku (1963)’,’Matahari Dalam Kelam (1963)’. Kemudian romannya ‘Tidak Menyerah (1962)’,’Sedjuta Matahari (1963)’,’1949 (1962)’,dan lain-lain.

PENGARANG YANG LAIN
            Rijono Pratikto, lahir di Tegal 27 Agustus 1932. Cerpen-cerpennya berjudul ‘Api dan Beberapa Tjerita Pendek Lain (1951)’.
            S. M. Ardan, lahir di Medan 2 Februari 1932. Sajaknya berjudul “Ketemu Didjalan (1956)’,’Terang Bulan Terang Dikali (1955)’. Romannya berjudul ‘Njai Dasima (1965).
            Sukanto S. A, lahir di Tegal 30 Desember 1930. Kumpulan cerpennya berjudul “Bulan Merah (1958)’.
            Alex A’xandre Leo nama samaran dari Zulkarnain lahir di Lahat 19 Agustus 1934. Kumpulan cerpennya berjudul ‘Orang Jang Kembali (1956)’. Kemudian romannya berjudul ‘Mendung yang disebutnya “Sebuah Novela Suka duka carita Sebuah Rumah-Tangga”.
            Bokor Hatasuhud lahir di Balige 2 Juli 1934. Kumpulan cerpennya berjudul ‘Datang Malam (1963)’, dan romannya “Penakluk Udjung Dunia (1964)’, dan ‘Tanah Kesajangan (1965)’.
            Alex L Tobing lahir di Surabaya 12 Juli 1934. ‘Perkenalan dengan Haraga Manusia’,’Pudar Menjelang Kilau’,’Mekar Karena Memar (1959).
            Ali Audah lahir di Bondowoso 15 Juli 1924. Kumpulan cerpennya berjudul ‘Malam Bimbang (1961)’. Buku-buku terjemahan sastra arab modern berjudul ‘Suasana Bergema (1959)’,’Peluru dan Asap (1963)’,’Genta Daerah Wadi (1967)’, dan ‘Kleopatra dalam Konperensi Perdamaian (1966).
            Suwardi Idris, lahir di Solok 10 November 1930. Cerpennya di bukukan berjudul ‘Isteri Seorang Sahabat (1963)’ dan ‘ Diluar Dugaan (1963). Romannya berjudul ‘Dari Puntjak Bukit Talang (1964).
            Djamil Suherman, lahir di Surabaya 1926. Kumpulan cerpennya dibukukan berjudul ‘Umikalsum dan Cerita-cerita Pendek Lainnya (1963)’. Romannya berjudul ‘Perjalanan Keachirat (1965).
            M. Alwan Tafsiri lahir di Ngawi 1937. Cerpennya dimuat di majalah Kisah dan sebagian dimuat dalam kumpulannya berjudul ‘Lukisan Dinding (1963).




BEBERAPA PENYAIR
            Toto Sudarato Bachtiar, lahir di Palimanan, Cirebon 12 Oktober 1929. Sajaknya yang pertama ‘Ibukota Senja (1951), sebagian kecil dari terjemahan-terjemahan cerpennya dikumpulkan dalam ‘Bunglon (1965)’.
            W. S. Rendra Lahir di Solo 7 November 1935. Sajak-sajaknya dimuat dalam kumpulan sajaknya berjudul ‘Balada Orang-Orang Tertjinta (1957). Judul sajaknya diantaranya ‘Terbunuhnya Atmo Karpo’,’Tahanan’. Selain menulis sajak, iapun menulis cerpen dan drama.
            Ramdhan K.H, lahir di Bandung 16 Maret 1927. Buku dramanya berjudul ‘Yerma Saja (1959),’sajak-sajaknya sendiri ia bukukan dengan judul ‘Priangan Sidjelita (1958). Romannya berjudul ‘Rojan Revolusi’.
            Kirdjomujo, lahir di Jogjakarta tahun 1930. Tahun 1955 terbit buku kumpulan sajaknya berjudul ‘Romance Perdjalanan 1’. Umumnya sajaknya merupakan lirika yang melukiskan perasaan penyairnya terhadap alam, tanah tumpah darah, lautan, gunung, dll. Selain menulis sajak, ia menulis drama dan cerpen.

BEBERAPA PENYAIR LAINNYA
            Hartojo Andangdjaja (1930), M. Husyn Umar (1931), Odeh Suardi (1930), Sugiarta Sri Wibawa (1932), A.D Donggo (1932), Surachman R.M (1936), Ajatrohadi (1939), Mansur Samin (1930), dll.

DRAMA
            Tahun 1958 diumumkan tiga orang penulis yang dramanya mendapat hadiah dalam sebuah sayembara penulisan naskah drama yang diselenggarakan oleh bagian kesenian P.P&K yang mendapat hadiah pertama adalah Motinggo Boesje. Dramanya berjudul ‘Malam Djahanam’. Kedua, M. Jusa Biran. Dramanya berjudul ‘Bung Besar’. Dan yang ketiga Nasjah Djamin dramanya berjudul
‘ Sekelumit Njajian Sunda’.


PENGARANG WANITA
            N.H Dini, nama lengkapnya Nurhajati Srihardini lahir di Semarang 29 Februari 1936. Cerpennya berjudul ‘Dua Dunia (1956)’, dalam cerpen itu Dini menunjukkan perhatiannya yang besar terhadap kepincangan-kepincangan sosial yang dia lihat terjadi di sekelilingnya. Misalnya dalam cerpennya ‘Kelahiran’, dan ‘ Perempuan Warung’. Roman pendeknya berjudul ‘Hati Jang Damai (1961), ‘Hiroko’,’Pada Sebuah Kapal’ dan ‘La Barka’.


Analisis Karya Sastra Period 1953-1961


Analisis Sajak
Ada Telgram Tiba Senja ( W.S. Rendra )
            Pada tahun 1957, W.S Rendra membuat kumpulan sajak yang berjudul. Balada Orang-Orang Tercinta. Kumpulan sajaknya mendapat Hadiah Sastra Nasional Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN).
            Di bawah ini analisis salah satu kumpulan sajak Balada Orang-Orang Tercinta. Berjudul “Ada Telgram Tiba Senja”.
      Dari judulnya /Ada Tilgram Tiba Senja/ di sana W.S Rendra melukiskan bahwa sang aku dalam syair ini berjauhan dengan sang dia yang menjadi tujuan syair ini.
      /ada tilgram tiba senja/,/dari pusar kota yang gila/,/disemat di dada bunda/.
Bait pertama menyiratkan bahwa ada sebuah pesan (telegram) yang datang dari tempat yang jauh dari bayangan sang penerima pesan yaitu bunda. Dan di terima oleh bunda dengan sangat bahagia.
      /Bunda, letihku tandas ke tulang/,/anakda kembali pulang/.
Pada bait kedua  menggambarkan dengan gamblang bahwa bait ini menceritakan isi pesan itu (telegram).
      /Kapuk randu! Kapuk randu/,/selembut tudung cendawan/,/kuncup-kuncup di hatiku/,/pada mengembang bermerkahan/.
Pada bait ketiga W.S Rendra menggambarkan bahwa tokoh bunda dalam syair ini begitu bergembira, diumpamakan bagai kapuk randu yang sudah matang dan keluar kapasnya.
      /dulu ketika pamit mengembara/,/ku beri ia kuda bapaknya/,/berwarna sawo matang/,/cepat larinya/,/jauh perginya/.
Pada bait keempat ini menyiratkan bahwa ketika tokoh anaknya akan mengembara, sang bunda memberikan keberanian yang digambarkan dengan ‘kuda bapaknya’. Dan sang anak pun pergi jauh merantau.
      /dulu masanya rontok asam jawa/,/untuk apa ku rontokan air mata?/,/cepat larinya/,/jauh perginya/.
Pada bait kelima ini menyiratkan hari ketika sang anak pergi, dan bunda dalam syair ini meneguhkan hati.
      /Lelaki yang kuat biarlah menuruti darahnya/,/menghujam ke rimba dan pusar kota/
Pada bait keenam ini menyiratkan bagaimana tokoh bunda pada syair ini memahami atau mengerti bahwa takdir seorang laki-laki sudah sewajarnya mengembara
      /tinggal bunda di rumah menepuki dada/,/melepas hari tua,  melepas doa-doa/,/cepat larinya./jauh perginya/
Pada bait ke tujuh digambarkan bagaimana kesabaran tokoh bunda yang berdoa untuk anaknya yang sedang merantau.
      /Elang yang gugur tergeletak/,/Elang yang gugur terebah/,/satu harapku pada anak.
Pada bait ini di jelaskan sosok Elang yang menggambarkan tokoh anak yang gagah berani. Di sana di tulis elang yang gugur tergeletak dan terebah menjelaskan bahwa sekuat-kuatnya seorang anak laki-laki ternyata bisa jatuh juga atau bisa lelah juga. Dan pada bait ini digambarkan harapan tokoh bunda yang berharap bila anaknya sudah lelah ia bisa kembali pada sang bunda.
      /kecilnya dulu meremasi susuku/,/kini letih pulang ke ibu/,/hatiku tersedu/,/hatiku tersedu/
Pada bait ini menggambarkan bagaimana tokoh anaknya ketika kecil, yang diberi kasih sayang. Kemudian sang anak pulang dari pengembaraannya dan betapa bahagianya hati sang bunda.
      /bunga randu! Bunga randu!/,/anakku lanang kembali ku pangku/
Kembali pada bait ini menggambarkan bunga randu sebagai ungkapan kebahagiaan, dan dalam bait ini digambarkan bahwa sang bunda sudah menunggu anknya untuk kembali kepangkuaannya.
      /darah, o, darah/,/ia pun lelah/,/dan mengerti artinya rumah/
Pada bait ini kembali kata “darah” menjadi gambaran tentang semangat seorang pemuda. Kemudian tokoh anak yang sudah lelah dalam pengembaraannya dan akhirnya kembali juga ke rumah.
      /rumah mungil berjendela dua/,/serta bunga dibendulnya/,/bukankah itu mesra?/
Pada bait ini mendeskripsikan bagaimana keadaan rumah yang tokoh anak tinggalkan sekarang.
      /ada podang pulang ke sarang/,/tembangnya panjang berulang-ulang/,/pulangnya pulang, hari petualang!/
Pada bait ini digambarkan podang yang pulang ke sarang yang berarti sejauh apapun seorang anak pergi merantau iapun kembali ke rumahnya. Dan digambarkan bahwa hari pulangnya sang perantau tiba.
      /ketapang. Ketapang yang kembang/,/berumpun di dekat perigi tua/,/anakku datang, anakku pulang/,/kembali kucium, kembali keriba/
Pada bait ini digambarkan bagaimana kebahagian sang bunda, yang menunggu anknya pulang sebentar lagi. Dengan bahagianya sang bunda akan menyambutnya dengan penuh kasih sayang.

ANALISIS NOVEL
Saraswati Si Gadis Dalam Sunyi ( A.A. Navis )
      Sinopsis :
Kisah ini menceritakan tentang seorang gadis yang tuna wicara dan tuna rungu. Karena musibah yang menimpa keluarganya menyebabkan ia menjadi hidup sebatang kara. Seluruh keluarganya tewas akibat kecelakaan lalu lintas. Sementara ia (si gadis) pada waktu itu tidak ikut karena ia sakit bersama pembantunya.
   Semenjak anggota keluarga yang dicintainya telah tiada, ia mengalami kesedihan yang tiada tara. Sungguh adanya keanehan perasaan yang dialami ketika merenungi semua yang pernah ia alami beserta saudara-saudaranya.
   Ia tidak disekolahkan ayahnya seperti saudara-saudaranya karena waktu itu belum ada sekolah untuk orang bisu tuli. Dengan terjadinya musibah bisu dan tulinya itu, ia harus rela mengikuti keputusan keluarga lain. Ia harus kembali ke Padang Panjang meninggalkan kota Jakarta.
   Ia dijemput oleh pamannya yang bernama paman Angah. Di atas kapal yang menuju ke Padang Panjang, ia mendapatkan pengalaman yang menyakitkan. Di geladak kapal rupanya ada pula penumpang  bisu yang menjadi bahan cemoohan penumpang lain. Bahkan orang bisu itu melecehkan saraswati. Ia menangis karena nasibnya telah dimalangkan oleh lingkungannya. Pengalaman di kapal telah membangkitkan keinginan untuk menjadi orang bisu tuli yang hebat.
   Tibalah di rumah Angah. Keluarga Angah terdiri dari empat orang yaitu istrinya, Busra serta adiknya Bisri. Mereka menyambut kedatangan si gadis dengan ramah begitu juga tetangganya.
   Mulailah ia menyesuaikan diri dengan keluarga Angah. Mula-mula untuk mengisi waktu dengan cara ikut menggembalakan itik. Namun cobaan pertama datang dari anak kecil yang suka mengganggu bila bertemu menggembalakan itik. Mereka kadang-kadang melempari si gadis bahkan sampai berdarah. kejadian yang sebenarnya ia pendam sendiri. Suatu ketika ia diganggu  kembali oleh anak-anak sampai kepalanya berdarah dan jatuh pingsan.
    Tugas Saraswati bertambah berat. Ia harus menggembalakan kambing karena Busra membeli beberapa ekor kambing. Namun suatu hari saraswati harus menerima kembali ujian berikutnya. Ia harus menempati kamar belakang yang tidak layak untuk dihuni.
   Pada suatu malam timbullah perasaan duka melanda sanubarinya, yang menyebabkan timbulnya kekesalan, merasa diperlakukan tidak adil oleh keluarga Angah. Ia memprotes ketidakadilan dengan menggedor pintu serta berteriak. Apa hendak dikata,  sekalipun Busra menjelaskan segala sesuatunya, sulit untuk saling mengerti karena keadaan bisu tersebut. Tidak ada alat yang dapat memudahkan saling mengerti.
   Keesokan harinya, ia berontak dengan cara membiarkan itik-itiknya yang harus diberi makanTak peduli kambing-kambingnya kelaparan. Ia lari sejauh-jauhnya karena merasa dirinya diperlakukan tidak adil. Namun kejadian itu diketahui oleh Busra yang tidak tega melihat penderitaan si gadis dengan cara memberikan pengertian yang dalam bahwa ia sekeluarga sangat sayang. Namun dia tidak tahu apa yang harus diberikan padanya sebagai pengisi waktunya. Terjadilah perubahan setelah ia berontak. Ia tidak disuruh lagi menggembalakan ternaknya, namun diikutsertakan belajar menjahit, menyulam, dan merenda pada Umi Ros.
   Si gadis mempunyai keinginan untuk belajar membaca, tetapi ia tidak tahu orang yang bisa mengajarinya. Ketika ia ingin sekali memahami bacaan dari sebuah buku, datanglah Busra. Dengan susah payah Busra mengajarkan mengenalkan huruf-huruf yang ada dalam buku tersebut. Begitu juga Bisri ikut membantu mengenalkan huruf serta menuliskan nama yaitu nama Saraswati.
   Keesokan harinya Saraswati dibawa kepada seorang guru untuk belajar membaca, berbicara, dengan mengeluarkan bunyi dari mulut ditambah lagi malamnyaBusra mengajarkan kembali dengan tekun.
            Saraswati telah mampu mengucapkan beberapa kata yang dapat dipahami orang lain. Keluarganya di Jakarta mengirimkan uang yang cukup banyak hasil penjualan barang peninggalan orang tuanya. Dari uang itu ia dapat membeli mesin jahit serta memperbaiki kamarnya. Ia dapat menjahit, mempermak pakaian, bahkan dapat membantu kesukaran orang lain dengan hasil usahanya sendiri. Ia telah dapat membuatkan pakaian anak tetangga yang miskin serta dapat menambah penghasilan sehari-hari dari hasil jahitannya.
Dalam kisah lain, Bisri menjadi tentara serta memberi harapan yang dalam kepada Saraswati. Sebelum berangkat kembali untuk mengikuti latihan militer selanjutnya, Bisri mengucapkan cinta yang tulus pada diri Saraswati. Cinta yang tulus bersemi pula pada diri Saraswati. Setiap bulan Bisri menyempatkan pulang untuk menemui keluarga dan Saraswati. Namun bulan berikutnya, ketika Saraswati sudah berdandan secara khusus untuk menyambut kedatangan Bisri, Bisri tidak pulang. Peristiwa itu membuat Saraswati kecewa dan menangis. Saraswati jatuh sakit ketika mendengar bahwa Bisri ikut perang.
Pada suatu hari, dengan tidak diduga sebelumnya, Bisri datang menemui serta menumpahkan rasa cintanya kepada Saraswati. Betapa bahagianya Saraswati. Sayangnya Bisri tidak lama. Sore harinya pergi lagi dan memberi harapan yang dalam kepada Saraswati sehingga ia tidak berduka lagi.
Tak lama kemudian suasana di kota tempat Saraswati tinggal terjadi kekacauan. Banyak orang-orang kampung dipukuli sampai babak belur. Begitu juga yang dialami oleh Angah dan Busra. Mereka sempat dipukuli tentara. Berbagai pertanyaan muncul dalam diri Saraswati berkenaan dengan kekejaman yang dilakukan oleh tentara yang memasuki kampung halamannya.
Pada suatu hari datanglah seorang perempuan menemui Angah. Namun tidak diketahui maksud dan tujuan perempuan itu. Keesokan harinya Angah mengajak ia pergi saat pagi masih gelap. Ternyata Saraswati akan dipertemukan dengan Bisri dengan berjalan kaki menelusuri satu desa ke desa yang lain. Saraswati baru tahu yang berperang di masa itu adalah tentara PRRI dengan tentara pemerintah.
Setelah menuruni dan mendaki beberapa bukit, tiba-tiba terdengar letusan senapan. Ternyata salah satu peluru ada yang nyasar mengenai Angah menyebabkan ia tewas. Alangkah sedihnya Saraswati, orang yang selama ini melindunginya telah tiada. Saraswati mengikuti rombongan pengungsi untuk mencari Bisri dengan berbagai penderitaan yang dialaminya.
Suatu hari Saraswati berkenalan dengan Tati yang juga pengungsi. Pada saat itu. ia dikenalkan dengan ayah Tati. Mulai saat itu Saraswati belajar kembali membaca dan menulis dengan ayah Tati. Dengan menyibukkan diri, kekesalan menanti mulai terobati. Namun suatu hari Tati lari ke halaman dengan wajah yang riang serta berpegangan tangan dengan seorang pemuda, ternyata Bisri yang ia cari-cari. Hati Saraswati hancur. Bahkan ketika Tati dan Bisri mendekatinya, ia lari sejauh mungkin karena  merasa dikhianati oleh Bisri. Begitu juga menjadi benci kepada Tati yang telah merebut kekasihnya.
Saraswati terus berlari membawa luka dan duka sampai ia tidak sadar dalam alam luas antara bumi dan langit. Kini ia benar-benar merasa sendiri, terpencil entah di mana dan tidak tahu mau ke mana.   Karena putus asa, ia rela mati di hutan belantara itu asal tidak jumpa dengan Bisri dan Tati.
Saraswati berkelana di hutan dengan berbagai penderitaan yang dialaminya. Ketika menelusuri tebing dan bukit ia tergelincir. Terkapar tak berdaya, haus ,lapar dan nyeri seluruh tubuhnya sampai tak sadarkan diri. Namun jiwa Saraswati masih dapat tertolong berkat bantuan penduduk sekitar hutan yang menemukannya. Orang yang menolongnya ingin mengetahui tentang diri Saraswati.
Pada saat terjadi kekacawan. Ketika itu Saraswati sedang berada di dapur bersama perempuan yang menolongnya.Tetapi belum sempat keduanya berlari, perempuan itu tertembak dan mati. Saraswati dihantam kepalanya sampai jatuh oleh tentara yang menyerang kampung itu. Busra dan Saraswati ditahan sekembali dari pedalaman. Saraswati atas usaha Kapten Hendro dibawa ke Pusat Rehabilitasi Dr. Suharso di Solo untuk belajar membaca dan menulis. Sementara Busra tetap di Padang Panjang. Selama hidup dalam peperangan, Saraswati mengalami berbagai penderitaan, lebih-lebih hatinya merasa begitu perih ketika cinta pertamanyadikhianati.
Di Solo, kemahiran menulisnya diperlancar oleh keasyikan saling berkirim surat kepada Busro. Yang menarik dalam surat menyuratnya adalah tentang kegiatannya dan keadaan kota Padang Panjang terutama tentang orang-orang yang ia  kenal di sana. Memang banyak kesibukannya, di samping belajar membaca dan menulis, ia juga belajar berbagai mode pakaian perempuan.
Ketika Busra mengirimkan surat, mata Saraswati terpusat pada kalimat yang bergaris, “Sekarang usahaku dapat menghidupi lima sampai delapan orang”. Ia tersentak, Saraswati memahami maksudnya bahwa Busra telah siap hidup bersamanya.
Kemudian Saraswati menelegram Busro dengan kalimat “Busra, aku mau pulang”. Enam hari kemudian tiba telegram balasan yang isinya “Tunggu, akkan jemput kau”.
      Tema  :
Tentang berbagai cobaan hidup yang dialami seorang gadis bisu tuli, sedangkan tema tambahannya adalah tentang percintaan yang dikhianati yaitu antara Saraswati dengan Bisri, namun Bisri mempunyai kekasih baru yang bernama Tati.
      Tokoh  dan Penokohan:
      Saraswati               Protagonis
      Busra                     Protagonis       
      Bisri                       Antagonis
      ayah saraswati       Protagonis
      ibu saraswati         Protagonis
      angah                     Tritagonis
      guru andika           Tritagonis
      Tati                        Antagonis
      ayah tati                Tritagonis
      perempuan tua       Tritagonis
      Latar Tempat :
Dalam novel ini menggunakan latar cerita di Indonesia, khususnya di Jakarta, Bandung, Solo, Padang Panjang serta perkampungan dan hutannya. Tokoh Saraswati yang sebelumnya mengalami kasih sayang dari keluarganya di Jakarta serta hidup berkecukupan harus hidup sebatang kara, serta harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru di Padang Panjang.
      Alur :
Menggunakan alur campuran yaitu alur maju denganalur mundur. Alur maju dalam novel ini dintunjukkan oleh  peristiwa-peristiwa yang bersifat kronologis, dengan sedikit alur mundur, di tujukkan untuk mengingatkan pembaca tentang asal muasal permasalahan.
      Sudut Pandang : 
Dalam novel ini sudut pandang yang digunakan adalah pandangan orangpertama atau “aku” yang menjadi tokoh utama meskipun di tengah cerita tokoh aku diganti dengan orang ketiga (nama yang sebenarnya yaitu Saraswati).
      Amanat :
Tentang kesabaran dalam menerima berbagai cobaan hidup serta hidup harus bisa berkarya walaupun diberikan kecacatan dalam jasmani sehingga orang cacat tidak dipandang sebelah mata. Kesempurnaan manusia bukan dari fisik semata.
      Gaya bahasa :
Bahasa yang digunakan dalam penulisan novel ini Bahasa Indonesia yang cukup sederhana, mudah dipahami, tidak banyak menggunakan bahasa asing atau bahasa gaul, meskipun ada sedikit bahasa daerah, terutama bahasa Padang seperti lore, dangsu,dll.



Analisis Cerpen
Dua Dunia  Nh. Dini
        Sinopsis Cerpen :
Iswanti adalah seorang isteri yang setia. Di usianya yang muda dia terkena penyakit tifus. Dia di jodohkan oleh Darwono oleh kedua orang tuanya. Dia mempunyai seorang anak bernama Kanti. Iswanti selalu percaya terhadap Darwono, sehingga dia tidak pernah curiga sedikit pun bahwa Darwono akan berselingkuh. Beberapa bulan setelah itu, Iswanti selalu menahan sakit hati terhadap ibu tirinya Darwono, Iswanti selalu dianggap tidak ada. Awalnya Iswanti berfikir bahwa hubungan Darwono dan ibu tirinya hanya sebatas kasih sayang antara ibu dan anak. Suatu hari Iswanti melihat Darwono tidur dipangkuan ibunya dengan penuh nafsu bukan lagi kasih sayang kepada ibu, tetapi lebih dari itu. Beberapa kali ia menahan rasa sakit itu.
Akhirnya batas kesabaran Iswanti pun habis. Dia pergi meninggalkan Darwono dan ibu tirinya bersama Kanti anaknya. Iswanti bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Ternyata tanpa sepengetahuan Iswanti, ibu dan ayahnnya Iswanti menerima uang dari Darwono. Iswanti sangat kecewa ketika mengetahui hal itu. Dia merasa seharusnya uang yang ia dapatkan dari bekerja dan pensiunan ayahnya cukup untuk menghidupi kebutuhan keluarganya, tetapi ternyata tidak demikian. Ibu Iswanti memiliki hutang yang cukup banyak karena ibunya penggila judi dan belum lagi hutang pernikahan adiknya, yang selama ini selalu ditutupi oleh ayahnya. Ayahnya baru memberitahu Iswanti setelah ibunya meninggal. Ayahnya ingin meminta tolong kepada Darwono tetapi Iswanti menolak secara halus dia tidak mau terlibat lagi dengan Darwono. Dia menuntut cerai kepada Darwono, dan hasilnya menurut hukum islam anak perempuan itu ikut bapanya, tetapi Iswanti tidak menerima Kanti di asuh oleh Darwono.
        Judul                   : Dua Dunia
        Tema                   : Kesetiaan
        Penokohan         : 1. Iswanti                  (Protagonis)
                               2. Darwono               (Antagonis)
                                      3. Kanti                     (Tritagonis)
                                      4. Bapa Iswanti         (Tritagonis)
                                      5. Ibu Iswanti            (Tritagonis)
                                      6. Ibu Tiri Darwo      (Tritagonis)
        Latar                   : Di Kamar
        Alur/Plot             : Maju
        Sudut pandang  : Orang pertama tunggal
        Penyelesaian       : Sad Ending
        Amanat               : Ketika sudah berkeluarga sebaiknya janganlah tinggal satu atap dengan orang tua atau keluarga.

Analisis Drama
Malam Djahanam ( Motinggo Boesje )
        Sinopsis
Di sebuah perkampungan nelayan, tinggallah Mat Kontan beserta istri (Paijah) dan anaknya (Mat Kontan Kecil). Soleman, teman dekat Mat Kontan, tinggal di seberang rumah mereka. Suatu malam, Paijah menunggu suaminya yang belum juga pulang. Ia mengkhawatirkan anaknya yang sedang sakit. Akhirnya, Mat Kontan pulang membawa seekor burung. Saat mengobrol dengan Soleman di teras rumahnya, dia menyombongkan burung perkututnya yang baru, juga istri dan anaknya. Soleman yang tidak tahan mendengarnya mengungkit-ungkit ketakutan Mat Kontan ketika nyawanya hampir melayang karena terperosok ke dalam pasir. Mat Kontan yang ketakutan rahasianya dibongkar langsung berbaik-baik pada Soleman.
Tak lama kemudian, Mat Kontan mulai menyombongkan diri lagi. Dia juga menuduh Soleman iri karena dia mempunyai istri yang cantik dan seorang anak. Soleman bahkan dianggap takut menyentuh perempuan karena sampai sekarang belum juga beristri. Mat Kontan masuk untuk melihat burung beo kesayangannya tapi tidak menemukannya. Utai, seorang warga kampung itu yang setengah pandir, mengaku pernah melihat bangkai burung tersebut di dekat sumur dengan leher tergorok. Mat Kontan yang jadi marah besar mengajak Utai menemaninya ke tukang nujum untuk mengetahui siapa pembunuhnya.
Paijah yang ketakutan bertanya pada Soleman apa yang sebaiknya ia katakan bila ditanya oleh Mat Kontan nanti. Ternyata, Solemanlah yang membunuh burung beo kesayangan Mat Kontan agar perselingkuhannya dengan Paijah tidak ketahuan. Soleman berjanji akan melindungi Paijah.
Mat Kontan segera pulang karena tukang nujum yang hendak ditemuinya sudah meninggal. Dia pun marah-marah pada Paijah, bertanya siapa yang membunuh burung beonya. Paijah balas mengungkapkan kekesalannya pada Mat Kontan yang tidak pernah memikirkan dan menyayangi dirinya dan anaknya tapi selalu membangga-banggakan mereka pada semua orang.
Awalnya, Soleman membela Paijah dari amarah Mat Kontan. Lama-lama Soleman diam saja. Paijah kecewa pada Soleman dan mengaku sebagai pembunuh burung beo Mat Kontan. Soleman pun mengaku bahwa dialah pembunuh burung beo Mat Kontan dan bahwa dialah ayah dari anak Paijah, anak yang selama ini Mat Kontan bangga-banggakan sebagai anaknya.
Mat Kontan marah dan mengangkat goloknya. Soleman membuat Mat Kontan takut lagi dengan mengingatkannya tentang saat dia terperosok ke dalam pasir. Mat Kontan pergi dan menyerahkan Paijah serta anaknya pada Soleman.
Soleman menyusul Mat Kontan yang dikiranya hendak bunuh diri. Ternyata, Mat Kontan dan Utai sudah menunggu untuk membunuhnya. Soleman berhasil meloloskan diri dan pergi ke stasiun kereta api. Utai mati karena ditendang oleh Soleman.
Mat Kontan kembali ke rumahnya dan masih mau hidup dengan Paijah serta anak Soleman. Dia bahkan mulai memerhatikan anak itu dan pergi memanggil dukun untuk mengobati penyakitnya. Sayangnya, malam itu juga si bayi meninggal dunia.
·            Tema
        Sisi buruk dan baik manusia
·            Alur
                  Alur dalam drama ini adalah alur maju atau linear, yaitu peristiwa yang dialami oleh tokoh cerita tersusun menurut urutan waktu terjadi secara berurutan. Alur ini berlangsung secara kontinyu dan memuncak.
·            Latar
        Di sebuah perkampungan nelayan
·            Gaya Bahasa
                  Naskah drama ini menggunakan bahasa yang agak kasar. Menggunakan bahasa sehari-sahari.
·            Tokoh dan Penokohan
1.   Tokoh
Ø  Soleman                = Selingkuhan paijah
Ø  Mat Kontan           = Suami Paijah
Ø  Paijah                    = Istrinmat Kontan
Ø  Tukang Pijat          = Piguran
2.   Penokohan
Ø  Antagonis              = Soleman, Paijah
Ø  Protagonis             = Mat Kontan
Ø  Tritagonis              = Utai
Ø  Piguran                  = Tukang Pijat    
·            Perwatakan
1.   Soleman memiliki sifat pengecut, besar mulut, dan pembual.
2.   Mat Kontan memiliki sifat sombong, angkuh, penakut, egois, emosional, dan sok tahu.
3.   Paijah adalah orang yang pencemas dan tidak setia.
4.   Utai ia sesosok orang yang setia, selalu menuruti perintah Mat Kontan (tangan kanan Mat Kontan).
5.   Tukang Pijat munculnya hanya sepintas, atau bisa disebut sebagai pemeran piguran.
·            Amanat
                  Kita sebagai mahluk sosial harus dapat menghargai orang lain, selain itu juga kita harus bertanggungjawab akan semua yang telahkita lakukan walaupun akan berdampak buruk untuk kita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar