Kamis, 09 Januari 2014

Makalah sejarah sastra Periode 1933-1942

DAFTAR ISI
PENGANTAR………………………………………………………………………..
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………
BAB 1     PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang Masalah………………………………………
1.2     Rumusan Masalah………………………………………………………
1.3     Tujuan Penelitian……………………………………………………….
BAB 11   LANDASAN TEORI
                 2.1  Pengertian Sastra……………………………………………………….
                 2.2  Ilmu-Ilmu Sastra……………………………………………………….
                 2.3  Sejarah Sastra………………………………………………………….
                 2.4  Sejarah Sastra Indonesia Periode 1933-1942………………………….
BAB 111 PEMBAHASAN
                 3.1  Peristiwa Sastra Periode 1933-1942……………………………………
                 3.2  Karya Sastra dan Pengarang Periode 1933-1942………………………
                 3.3  Karakteristik Karya Sastra Periode 1933-1942………………………..
                        3.3.1 Puisi……………………………………………………………...
                        3.3.2 Prosa Fiksi……………………………………………………….
                        3.3.3 Drama……………………………………………………………
BAB 1V       KESIMPULAN……………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………
                                   










BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang Masalah
                 Sejarah dapat diartikan sebagai kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau atau asal-usul (keturunan) silsilah, terutama bagi raja-raja yang memerintah. Sementara sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sansakerta ‘sastra’, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar “sas” yang berarti “instruksi” atau “ajaran”, dan “tra” yang berarti “alat” atau “sarana”.
                 Jadi, sejarah sastra adalah Sejarah sastra adalah cabang ilmu sastra yang menyelidiki perkembangan cipta sastra sejak awal pertumbuhannya hingga perkembangannya sekarang.
      
1.2  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana peristiwa sastra periode 1933 – 1942?
2.    Bagaimana karya sastra dan pengarang periode 1933 – 1942?
3.    Bagaimana karakteristik karya sastra periode 1933 – 1942, dari segi:
1)   Puisi
2)   Prosa Fiksi
3)   Drama

1.3  Tujuan Penelitian
                 Berdasarkan perumusan masalah di atas, kami menetapkan tujuan penelitian sebagai berikut:
1.  Ingin mengetahui peristiwa sastra pada periode 1933 – 1942.
2.  Ingin mengetahui karya sastra dan pengarang periode 1933 – 1942.
3.  Ingin mengetahui karakteristik karya sastra periode 1933 – 1942, dari segi:
     1)  Puisi
     2)  Prosa Fiksi
     3)  Drama


BAB II
LANDASAN TEORI

2.1  Pengertian Sastra
       Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta śāstra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar śās- yang berarti “instruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Tetapi kata “sastra” bisa pula merujuk kepada semua jenis tulisan, apakah ini indah atau tidak.
Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.

2.2  Ilmu-Ilmu Sastra
            Ilmu sastra mempunyai tiga macam cabang ilmu, yaitu:
       1.  Teori Sastra
Teori satra seperti namanya bekerja dalam bidang teori, misalnya penyelidikan hal yang berhubungan dengan apakah sastra itu, apakah hakikat sastra, dasar-dasar sastra, membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan teori dalam bidang sastra, bermacam-macam gaya, teori komposisi sastra (genre), teori penilaian dan sebagainya.
2.  Sejarah Sastra
            Sejarah sastra bertugas menyusun perkembangan sastra dari mulai timbulnya hingga perkembangannya yang terakhir. Misalnya sejarah timbulnya suatu kesusasteraan, sejarah jenis sastra (genre), sejarah perkembangan gaya-gaya sastra, sejarah perkembangan pikiran-pikiran manusia yang dikemukakan dalam karya-karya sastra, dan sebagainya.
3.  Kritik Sastra
            Kritik sastra ialah ilmu sastra yang berusaha menyelidiki karya sastra dengan langsung menganalisis, member pertimbangan baik-buruknya karya sastra, bernilai seni atau tidaknya.

2.3  Sejarah Sastra
       Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sejarah sastra merupalan cabang ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa, misalnya sejarah sastra Indonesia, sejarah sastra belanda, dan sejarah sastra inggris. Dengan pengertian dasar itu tampak bahwa objek sejarah sastra  adalah segala peristiwa yang terjadi pada rentang masa pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa.
       Lexemburg (1984:200-212) menjelaskan bahwa dalam sejarah sastra dibahas periode-periode kesustraan, aliran-aliran, jenis-jenis, pengarang-pengarang, dan juga reaksi pembaca. Semua itu dihubungkan deengan perkembangan di luar sastra seperti, social, politik, dan filsafat. Jadi, sejarah sastra meliputi penulisan perkembangan sastra dalam arus sejarah dan di dalam konteksnya. Hal tersebut senada dengan Teeuw (1984:325) yang mengatakan bahwa penulis sejarah sastra dalam tegangan antara perkembangan intrinsik dan perkembangan sosio-budaya-politik dalam masyarakat yang menghasilkan sastra tersebut. Artinya, sejarah sastra di ulis dalam isolasi terhadap sejarah umum. Contoh jelas misalnya sejarah sastra Indonesia modern, kaitannya dengan sejarah sosial-politik Indonesia tidak dapat disangkal lagi. Pembabakan periodisasi sastra Indonesia tidak lepas dari perkembangan politik. Wellek & warren (1989:354) mengatakan bahwa pada umumnya, periode sejarah sastra dibagi sesuai dengan perubahan politik.
       Sejarah sastra pada dasarnya membicarakan mengenai peristiwa-peristiwa penting yang di jelaskan secara kronologis sehingga terlihat adanya perkembangan pada bidang sastra. Peristiwa yang dimaksud dalam sejarah sastra adalah peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan kesastraan, yaitu yang bersangkutan dengan lahirnya karya-karya sastra, pengarangnya, kualitas karya, munculnya konsep-konsep baru, serta situasi social-dudaya-politik yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa penting tersebut.

2.4  Sejarah Sastra Indonesia Periode 1933-1942
1933, armijin pane, amir hamzah , dan sultan takdir alisjahbana berhasil mendirikan majalah poejangga baroe (1933 – 142 dan 1949 – 1953). Pada mulanya keterangan resmi tentang majalah itu berbunyi “majalah kesustraan dan bahasa serta kebudayaan umum”, tapi sejak tahun 1935 berbah menjadi “pemabawa semangat baru dalam kesustraan, seni, kebudayaan, dan soal masarakat umum”, dan sejak 1936 bunyinya berubah menjadi “pembimbing sangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia”.
       Majalah pujangga baru mendapat sambutan hangat dari sejumlah orang terpelajar, seperti Adinegoro, Ali Hasyim, Amir Sjarifuddin, Aoh K. Mihrdja, H.B Jassin, I Gusti Nyonya Panji Tisna, Soetan Sjahrir, dan W.J .S. Poewadarminta. Namun di sisi lain, majalah itu tidak di tanggapi oleh kaum bangsawan Melayu, dan dikritik keras oleh para guru yang setia kepada pemerintahan kolonial belanda. Kata mereka, majalah tersebut merusak bahasa Melayu karena memasukaan bahasa daerah dan bahasa asing.
Majalah itu bertahan hingga pada tahun 1942, kemudian dilarang oleh penguasa militer jepang karena dianggap kebarat-baratan dan progresif. Akan tetapi, setelah Indonesia merdeka dapat diterbitkan lagi pada tahun 1949 -1953 di bawah kendali Sutan Takdir Alisjahbana dengan dukungan tenaga-tenaga baru sepeti Asrul sani, Chairil Anwar, Dodong Djiwapradja, Harijadi S. Hartowardojo, dan Rivai Apin.
Majalah ini terbit dengan setia, meskipun bukan tanpa kesulitan, berkat pengorbanan dan keuletan Sutan Takdir Alisjahbana. Oplahnya pernah hanya sekitar 500 eksemplar saja setiap terbit, dan langganan yang membayar tetap hanya sekitar 150 orang. Kerugian di tanggung oleh kantong Sutan Takdir Alisjahbana dan Arnijn pane.
       Kelahiran majalah pujangga baru yang banyak melontarkan gagasan-gagasan baru dalam bidang kebudayaan itu bukan tidak menimbulkan reaksi. Keberanian menandakan bahwa bangsa Indonesia bukan bahasa melayu, menimbulkan berbagai reaksi. Sutan Takdir dalam sebuah esainya dalam tahun pertama (1933) menulis antara lain : “Bahasa Indonesia ialah bahasa perhubungan yang  berabad-abad tumbuh perlahan-lahan dikalangan penduduk Asia selatan dan yang setelah bangkitnya pergerakan kebangunan rakyat Indonesia pada pemulaan abad dua puluh dengan insyaf diangkat dan dijunjung sebagai bahasa persatuan”. Sikap ini menimbulka reaksi dari tokoh bahasa yang erat berpegangan  kepada kemurnian bahsa melau tinggi seperti H. Agus Salim, Sutan Moh. Zain, S.M Latief, dan lain-lain. Maka terjadinya polemic tentang bahasa yang tidak hanya dimulut dalam mejalah pujangga baru saja, melaikan juga meluas dalam surat kabar dalam majalah-majalah yang terbit pada masa itu.
       Polemik  golongan pujangga baru dengan kaum tua itu tidak hanya mengenai bahsa saja, karena gerakan pujangga baru bukanlah hanya gerakan bahasa dan sastra belaka, tetapi juga mengenai kebudayaan, pendidikan, pandangan hidup dan kemasyarakatan. Sutan takdir yang pro-Barat dan mengatakan bahwa hanya dengan jalan mengeruk ilmu dan roh barat sepuas-puasnya sejalan kita dapat mengimbangi bangsa Barat. Ia berharap dengan Dr. soetomo, Ki Hadjar Dewantara, dan lain-lain yang hendak mempertahankan tradisionalisme yang dianggap sebagai kepribadian bangsa. Sanusi pane juga turut aktif dalam polemic-polemik itu dan akhirnya menatakan bahwa baginya manusia (Indonesia) baru haruslah merupakan campur antara faust (yang dianggap mewkili roh kepribadian barat) dengan arjuna (sebagai wakil roh kepribadian timur). Sikap ini dinyatakan dalam dramanya yang berujudul manusia baru (1940). Sebelumnya sanusi pane dikenal sebaai orang yang sangat mempetahankan Timur dalam menghadapi Sutan Takdir Alisjahbana.
       Tokoh-tokoh yang terlibat dalam polemic itu antara lain Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, R.M. Ng. Poerbatjaraka, Dr. Soetomo, Adinegoro, Dr. M. Amir, dan Ki Hadjar Dewantara. Sebagai dari polemic mengenai kebudayaan itu kemudian dikumpulkan oleh Achdit K. Mihadja dan diterbitkan sebagai buku dengan judul polemic kebudayaan (1977)














BAB 111
PEMBAHASAN

3.1    Peristiwa Sastra Periode 1933-1942
  Asal mula pujaga  baru sebagai satu fenomena kebudayaan dapat ditelusur kebelakang pada organisasi-organisasi kebudayaann kaum muda nasionalis daerah-daerah pada awal abad ke-20 di Indonesia. Yang pertama diantara organisasi-organisasi tersebut jong java yang dibentuk dalam tahun 1915 dibawah pengayoman Budi Utomo, bertujuan menyelenggarakan dan mengembangkan kesadaran dan pengertian kaum muda terpelajar jawa akan warisan kebudayaan jawa. Dalam tahun 1917 gerakan ini diikuti oleh jong sumatramen Bond, dengan tujuan yang sama, tapi juga menyadari adanya perbedaan etnis kedaerahannya; karena itu menyatakan bahwa tujuannya hendak mengembangkan kesadaran kesatuan identitas diantara orang-orang Sumatra melalui penggunaan”kesenian, bahasa dan adat” Sumatera. Salah satu jalan guna mencapai tujuan itu ialah mengembangkan bahasa melayu sebagai bahasa umum yang mempersatukan orang-orang Sumatera adapun salah satu cara mengembangkan bahasa melayu ialah menyebarkan kesadaran akan kesusastraan melayu, dan mendorong kaum muda sematera  yang berpendidikan Belanda agar menulis dalam bahasa melayu sebagai pernyataan identitas bersama kebudayaan mereka. Dan itulah yang melahirkan apa yang sekarang pada umumnya dianggap sebagai awal puisi Indonesia modern.
       Baik Jong Java maupun Jong Sumatramen Bond merasakan perlunya kaum muda Indonesia yang berpendidikan Belanda agar mengenal warisan kebudayaan asli. Memang dalam beberapa hal mereka sudah terasing dari kebudayaan nenek moyangnya sebagai akibat pendidikan Belanda, karena itu perlu berusaha menyesuaikan persepsi terhadap norma-norma budaya eropa (“kemoderenan” mereka) dengan ikatan perasaan dan kejiwaan yang mendalam pada identits yang asli, mempernyawakan yang “modern itu kedalam usaha memperkembangkan warisan tradisiolan”.
       Perkembangan dalam gerakan politik segera membuat komposisi dan pendangan organisasi pemuda berubah. Setelah 1924, Dr. Sutomo membentuk Indonesische Studieclub, terdapat hasrat yang makin meningkat pada semua organisasi yang berorientasi nasionalisme untuk bersatu dibawah panji-panji “Indonesia” (yang berlawanan dengan “Hindia”). Bagi gerakan-gerakan pemuda, ini berarti suatu dimensi baru dalam masalah identitas kebudayaan, karena jika kesetiaan mereka sejakk itu tertuju pada “Indonesia”, tentu masalahnya bukan lagi hanya terbatas pada warisan kebudayaan “jawa” dan “sumatera” saja. Pada tahun 1926, Kongres Pemuda Indonesia yang pertama diadakan di Jakarta nebegaskan persatuan semua gerakan kebudayaan nasionalis pemuda daerah sebagai suara pemuda “Indonesia”. Laporan mengenai kongres itu menggambarkan adanya kesepakatan pikiran, sehingga membuahkan pendapat bahwa sudah tiba saatnya bagi masing-masing kelompok menganggap dirinya bukan saja “pemuda jawa” atau “pemuda sumatera”, tapi juga “pemuda Indonesia”. Dalam salah satu siding kongres itu, Muhamad Yamin yang dalam tahun 1920 mengatakan bahwa bahasa melayu merupakan bahasa kesatuan sumatera, menyampaikan ceramah dalam bahasa Belanda mengenai “Kemungkinan Bahasa dan Sastra Indonesia dimasa depan”. Bahasa yang dipakai sebagai sarana guna membangkitkan kesadaran orang_orang sumatera itu agaknya dapat berperan pula dalam membantu perkembangan cita-cita baru kesatuan Indonesia. Bahasa kesatuan dan kesatuan tradisi kebudayaan yang tampak dalam kesusastraanya memberikan sumbangan penting dalam mewujudkan cita-cita baru.

3.2    Karya Sastra Dan Pengarang Periode 1933-1942
1.    Sutan Takdir Alisjahbana
       Motor dan pejuang bersemangat gerakan pujangga baru ialah Sutan Takdir Alisjahbana (lahir di Natal pada tahun 1908). Ia telah sejak tahun 1929 muncul dalam panggung sejarah sastra Indonesia, yaitu ketika menerbitkan romannya yang berjudul Tak Putus Dirundung Malang. Roman ini diterbitkan oleh Balai Pustaka seperti juga roman-romannya yang lain. Roman kedua yang ditulisnya berjudul Dian Yang Tak Kunjung Padam (1932) dan yang ketiga berjudul Layar Terkembang (1936). Roman yang berjudul Anak Perawan Di Sarang Penyamun (1941) ditulisnya lebih dahulu daripada Layar Terkembang dan dimuat sebagai feuilleton dalam majalah Pandji Poestaka, tetapi diterbitkan sebagai buku lebih kemudian. Tiga puluh tahun kemudian konon Takdir menulis sebuah roman pula berjudul Grotta Azzurra (Gua Biru) yang diterbitkan berkenaan dengan hari lahirnya yang ke-60.
Layar Terkembang merupakan roman Takdir yang terpenting. Roman ini jelas bukan roman sekedar bacaan perintang waktu, melainkan sebuah roman bertendensi. Roman ini biasanya dianggap sebagai salah satu roman terpenting yang terbit pada tahun tiga puluhan, merupakan salah satu karya terpenting pula dari para pengarang pujangga baru.
Kecuali sebagai penulis Roman, Takdir terkenal sebagai penulis esai dan sebagai pembina bahasa Indonesia. Oleh Ir. S. Udin ia pernah disebut sebagai “insinyur bahasa Indonesia”. Atas inisiatif Takdir melalui Poedjangga Baroe-lah maka pada tahun 1938 di Solo diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia yang pertama. Sehabis perang Takdir pernah menerbitkan dan memimpin majalah Pembina Bahasa Indonesia (1947 – 1952). Dalam majalah itu dimuat segala hal-ihwal perkembangan dan masalah bahasa Indonesia. Tulisan-tulisannya yang berkenaan dengan bahasa kemudian diterbitkan dengan judul Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957).
Takdir pun juga menulis sajak. Sajak-sajak yang ditulisnya dekat setelah kematian istrinya yang pertama, diterbitkan sebagai nomor khusus majalah Poejangga Baroe berjudul Tebaran Mega (1936). Dalam sajak-sajak itu tergambar pergaulan Takdir yang semula hampir tenggelam dalam kesunyian teosofi Krishnamurti lalu bangkit menjadi pejuang bersemangat yang gembira-riang. Sajak-sajaknya terang dan jelas, kadang-kadang terasa prosaic. Kecuali yang dimuat dalam Tebaran Mega masih ada pula beberapa sajaknya yang tersebar dalam berbagai majalah.
Esai-esai tentang sastra sebenarnya banyak juga, antara lain yang dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe, misalnya ‘Puisi Indonesia Zaman Baru’, ‘Kesusasteraan di zaman Pembangunan Bangsa’ (1938), dan lain-lain. Ia pun menyusun dua serangkai bunga rampai Puisi Lama (1941) dan Puisi Baru (1946) dengan kata pengantar yang menekankan pendapatnya bahwa sastra merupakan pancaran masyarakatnya masing-masing. Sastra lama sebagai pancaran masyarakat lama dan sastra baru sebagai pancaran masyarakat baru. Perubahan masyarakat itu menyebabkan perubahan puisi dan sastranya pula.
2.    Armijn Pane
Organisator pujangga baru ialah Armijn Pane, adiknya Sanusi Pane yang tiga tahun lebih muda (lahir di Muarasipongi pada tahun 1908). Tahun 1923 ia mengunjungi sekolah kedokteran (STOVIA dan kemudian NIAS) tetapi keinginan hatinya tertumpu pada bahasa dan sastra, maka ia pindah ke AMS A-1 (sastra Barat) di Solo. Kemudian ia bergerak di surat kabar dan perguruan kebangsaan. Tahun 1933 ia bersama Takdir dan kawan sekolahnya, Amir Hamzah, menerbitkan majalah Poedjangga Baroe.
Armijn terkenal sebagai pengarang roman Belenggu(1940), yang terbit pertama kali dalam majalah Poedjangga Baroe. Roman ini mendapat reaksi yang hebat, baik dari yang pro maupun yang kontra terhadapnya. Yang pro menyokongnya sebagai sebuah karya cabul yang terlalu banyak melukiskan kehidupan nyata yang selama itu disembunyikan dibelakang dinding-dinding kesopanan.
Tetapi keributan itu tidak menghalangi jalan roman ini untuk menjadi roman terpenting yang ditulis para pengarang pujangga baru.sebelum menulis romannya itu, Armijn Pane banyak menulis cerpen, sajak, esai, dan sandiwara. Cerpennya ‘Barang Tiada Berharga’ dan sandiwaranya ‘Lukisan Masa’ merupakan prototip buat romannya Belenggu.
Cerpen-cerpennya bersama yang ditulisnya sesudah perang, kemudian dikumpulkan dengan judul Kisah Antara Manusia (1953). Sedang sandiwara-sandiwaranya dikumpulkan dengan judul Jinak-Jinak Merpati (1954). Sajak-sajaknya dengan judul Jiwa Berjiwa diterbitkan sebagai nomor istimewa majalah Poedjangga Baroe (1939). Dan sajak-sajaknya yang tersebar, kemudian dikumpulkan juga dan  dalam berbagai majalah, belum dibukukan. Dalam bahasa Belanda ,Armijin menulis Kort Overzicht vande modern Indonesische Literatuur (1949).
   Gaya bahasa Armijn sangat bebas dari struktur bahasa Melayu. Dalam karangannya ia pun lebih banyak melukiskan gerak kejiwaan tokoh – tokohnya daripada gerak lahirnya.Inilah terutama yang membedakan Armijn dengan para pengarang sejarahnya. Karena itu maka ia oleh beberapa orang penelaan sastra Indonesia dianggap sebagai pendahulu angkatan sesudah perang, paling tidak  dianggap sebagai “missing link” antara para pengarang sebelum dan sesudah perang.
3.    Amir Hamzah
Dalam lingkungan pujangga baru ada dua orang penyair yang dikenal sebagai penyair religious (keagamaan). Yang satu Amir Hamzah, Islam. Sedangkan yang satu lagi J.E. Tatengkeng, Kristen. Sebenarmnya keduanya tidak semata-mata menulis sajak. Keduanya juga menulis prosa, baik berupa esai, kritik maupun sketsa. Namun mereka lebih terkenal sebagai penyair.
Amir Hamzah (1911 – 1946) ialah seorang keturunan bangsawan Langkat di Sumatera Timur. Ia pergi sekolah ke Jawa, paling akhir sebagai mahasiswa Fakultas Hukum, dengan dibiayai oleh pamannya yang menjadi Sultan Langkat. Di Jawa ia aktif juga dalam kegiatan-kegiatan gerakan kebangsaan. Ia pun bersama dengan Sutan Takdir dan Armijn Pane mendirikan majalah Poedjangga Baroe. Tetapi ia kemudian harus meninggalkan semuanya itu karena mendapat panggilan dari pamannya. Ia harus pulang ke Langkat dan menikah dengan salah seorang putrid Sultan Langkat. Dengan berat hati ia meninggalkan “tanah Jawa” dan sekolahnya di Fakultas Hukum yang hampir tamat, dan konon juga seorang gadis yang dicintainya. Kesemuanya itu menyebabkan ia merasa sunyi dan sepi. Dan dengan indah pengalamannya itu kemudian dituangkannya dalam bentuk puisi, menjadi sekumpulan sajak berjudul Nyanyi Sunyi (1937). Sajak-sajaknya yang ditulis lebih dahulu, kemudian dikumpulkan dan diterbitkan juga dengan judul Buah Rindu (1941). Disamping kedua kumpulan sajaknya itu, Amir Hamzah menerbitkan pula sekumpulan sajak terjemahan dari para penyair negri-negri tetangga seperti dari Jepang, India, Arab, Persia, dan lain-lainnya, berjudul Setanggi Timur (1939). Dalam majalah Poedjangga Baroe tahun 1-11 (1933-1942) ia pun mengumumkan terjemahan lengkap karya sastra klasik India Bhagavad Gita melalui bahasa Belanda. Karangan-karangan yang semula tersebar dalam majalah itu kemudian dikumpulkan dalam buku H.B. Jassin, yang berjudul Amir Hamzah, Raja Penyair Pujangga Baru (1963). Telaah Amir Hamzah tentang sastra Melayu lama dengan judul Sastra Melayu Lama dengan Tokoh-tokohnya terbit di Medan tahun 1941.
Di Langkat ia memegang kedudukan sebagai bangsawan, menjadi “hulu negri”. Ketika terjadi “revolusi sosial” tahun 1946 ia diculik dan dibunuh beserta sejumlah keluarga kesultanan Langkat lainnya.
       4.  J.E. Tatengkeng
       Jan Engelbert Tatengkeng lahir di Sangihe pada tanggal 19 Oktober 1907. Ia adalah seorang penyair beragama Kristen yang taat. Bahkan ketika anaknya meninggal selagi bayi, ia segera menganggapnya sebagai kehendak Tuhan yang dihadapinya dengan hati yang merasa dihibur pula oleh-Nya, seperti dapat kita baca dalam sajaknya ‘Anakku’.
       Sajak itu bersama dengan sejumlah sajak lain diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Rindu Dendam (1934). Isinya umumnya merupakan sajak-sajak kerindudendaman penyairnya terhadap Yang Satu, Tuhan Yang Maha Esa. 
       Rindu Dendamialah satu-satunya buku J.E. Tatengkeng yang pernah terbit. Tapi sebenarnya masih banyak lagi buah tangannya yang masih berserakan dalam berbagai majalah, terutama dalam majalah Poegjangga Baroe.
5.  Asmara Hadi dan Penyair-Penyair Pujangga Baru
Diantara para penyair yang sajak-sajaknya sering dimuat dalam majalah Poejangga Baroe, banyak yang sesungguhnya menulis sajak yang jumlahnya lebih dari cukup untuk dibukukan tetapi tidak mereka lakukan. Diantaranya ialah Asmara Hadi yang sering mempergunakan nama samara H.R, atau Ipih, A.M. Daeng Myala (nama samara A.M. Thahir), Mozasa (nama samaran Muhammad Zain Saidi), M.R. Dajoh dan lain-lain.
Sajak-sajak Asmara Hadi yang nama sebenarnya Abdul Hadi (lahir di Bengkulu 1914) salah satunya berjudul Kuingat Padamu (Poedjangga Baroe, 1937).
       A.M. Thahir (lahir di Ujungpandang 1909) yang setiap menulis mempergunakan nama samara A.M. Dg. Myala kecuali dalam Poedjangga Baroe, sajak-sajaknya juga dimuat dalam Pandji Poestaka dan lain-lain. Sesudah perang ia masih juga menulis dan ada sajak-sajaknya yang dimuat dalam majalah-majalah kebudayaan terkemuka seperti majalah Indonesia. Salah-satu sajaknya yaitu berjudul Buruh (Poedjangga Baroe, 1937).
Moehammad Zain Saidi (lahir di Asahan, bulan Oktober 1913), nama samarannya yaitu Mozasa. Ia beberapa lamanya hidup menjadi guru di Kisaran, ketika ia mulai menulis sajak. Sajak-sajaknya banyak melukiskan kegembiraan alam. Seperti dalam sajaknya yang berjudul Di Kaki Gunung.
A. Rivai (lahir di Bonjol, Sumatera Barat, tanggal 1 Juli 1876) juga kalau menulis selalu mempergunakan nama samara, yaitu Yogi. Namanya telah muncul sebelum majalah Poedjangga Baroe terbit, yaitu dalam Sri Poestaka tahun 1930 ketika ia mengumumkan sekumpulan sajak dengan judul Gubahan. Kumpulan sajaknya yang kedua berjudul Puspa Aneka diterbitkannya sendiri, setahun kemudian, tahun 1931. Tetapi ia biasanya tergolong kepada penyair Poedjangga Baroe, karena sajak-sajakya pun banyak dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe.
6.  Para Pengarang Wanita
       Para pengarang wanita Indonesia jumlahnya tidak banyak, apalagi pada masa sebelum perang. Yang paling terkenal dan paling penting ialah Selasih atau Seleguri, keduanya nama samara Sariamin (lahir di Talu, Sumatera Barat, tahun 1909) yang menulis dua buah roman dan sajak-sajak. Kedua buah roman itu ialah Kalau Tak Untung (1933) dan Pengaruh Keadaan (1937). Sajak-sajaknya banyak dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe dan Pandji Poestaka.
       Pengarang wanita lain yang juga mengarang roman ialah Hamidah yang konon merupakan nama samara Fatimah H. Delais (1914 – 1953) yang pernah namanya tercantum sebagai pembantu majalah Poedjangga Baroe dari Palembang. Roman yang ditulisnya hanya sebuah, berjudul Kehilangan Mestika (1935).
Adlin Affandi dan Sa’adah Alim (1898 – 1968) masing-masing menulis sebuah sandiwara, masing-masing berjudul Gadis Modern (1941) dan Pembalasannya (1941). Sa’adah Alim disamping itu menulis pula sejumlah cerpen yang kemudian dibukukan dengan judul Taman Penghibur Hati (1941). Ia pun menerjemahkan Angin Timur Angin Barat karangan seorang pengarang wanita kebangsaan Amerika yang pernah mendapat hadiah Nobel 1938, ialah Pearl S. Buck (lahir 1892). Disamping itu ia pun banyak menerjemahkan buku-buku lain.
       Pada saat Jepang datang, muncul pula Maria Amin (dilahirkan di Bengkulu tahun 1920) yang menulis sajak-sajak dalam majalah Poedjangga Baroe, tetapi peranannya lebih berarti pada masa Jepang ketika ia menulis dan mengumumkan beberapa prosa lirik yang simbolistis.

3.3    Karakteristik Karya Sastra
3.3.1   Puisi
1.    Puisi Amir Hamzah
               Padamu Jua
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia, selalu

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Dimana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar
Saying berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai

       Puisi Amir Hamzah diatas mengisahkan tentang pertemuan dua orang kekasih yang telah lama terpisah, yaitu antara aku dengan kekasihnya, yaitu Tuhan. Puisi ini banyak menggunakan bahasa symbol yang berkonotasi positif, seperti kandil, pelita, dan dara. Selain itu banyak juga digunakan kata-kata berkonotasi negatif, seperti kikis, hilang, cemburu, ganas, cakar, lepas, nanar, sasar, sunyi.

2.    Puisi J.E. Tatengkeng
               Anakku
Engkau datang menghintai hidup,
Engkau datang menunjukkan muka.
Tetapi sekejap matamu kaututup,
Melihat terang anakanda tak suka.

Mulut kecil tiada kaubuka,
Tangis teriakmu tak diperdengarkan,
Alamat hidup wartakan suka,
Kau diam anakku, kami kautinggalkan

Sedikitpun matamu tak mengerling,
Memandang ibumu sakit berguling,
Air matamu tak bercucuran.
Tinggalkan ibumu ta’ penghiburan.

Kau diam, diam, kekasihku,
Tak kaukatakan barang pesanan,
Akan penghibur duka di dadaku,
Kakasihku, anakku, mengapa kian?

Sebagai anak melalui sedikit
Akan rumah kami berdua,
Tak anak tak insaf sakit,
Yang diderita orang-tua.

Tangan kecil lemah bergantung,
Tak diangkat memeluk ibu,
Menyapu dadanya, menyapu jantung,
Hiburkan hatinya, sayangkan ibumu.

Selekas anakanda datang,
Selekas anakanda pulang,
Tinggalkan ibu sakit terlentang,
Tinggalkan bapa sakit mengenang.

Selamat datang anakanda kami,
Selamat jalan kekasih hati.

Anak kami Tuhan berikan,
Anak kami Tuhan panggilkan,
Hati kami Tuhan hiburkan,
Nama Tuhan kami pujikan.
       Puisi J.E Tatengkeng diatas mengisahkan tentang seorang ayah yang kehilangan anaknya yang baru saja lahir. Puisi ini tidak seperti puisi Amir Hamzah. Dari segi kata-kata yang dipilihnya cukup mudah untuk dipahami. Tetapi J.E Tatengkeng mengangkat objek yang sama seperti Amir Hamzah, yaitu tentang Tuhan.
3.3.2   Prosa Fiksi
1.    Novel karya Armijn Pane
Sinopsis
                                                   Belenggu
Dokter Sukartono adalah suami seorang perempuan berparas ayu, pintar, serta lincah yang bernama Sumartini atau panggilannya Tini. Walaupun mereka telah menikah, sebenarnya Sukartono dengan Sumartini tidaklah saling mencintai. Mereka berdua menikah dengan alasan masing-masing. Dokter Sukartono menikahi Sumartini karena kecantian, kecerdasan, serta kelincahannya. Sedangkan Sumartini menikahi Dokter Sukartono karena hendak melupakan masa silamnya. Menurutnya dengan menikahi seorang dokter, ia dapat menghapus kenangan masa lalunya. Karena keduanya tidak saling mencintai, kehidupan rumah tangga mereka tidaklah harmonis. Mereka tidak saling berbicara dan saling bertukar pikiran. Masalah yang mereka hadapi tidak pernah dipecahkan bersama-sama sebagaimana layaknya suamiistri. Mereka sering salah paham dan suka bertengakar.Kesalah pahaman dan pertengkaran selalu terjadi dalam keluarga mereka. Ketidak harmonisan keluarga mereka semakin menjadi karena Dokter Sukartono sangat mencintai danbertanggung jawab penuh terhadap pekerjaannya. Dia bekerja tanpa kenal waktu. Jam berapa saja ada pasien yang membutuhkannya, dia dengan sigap berusaha membantunya. Perhatian yang seharusnya dicurahkan kepada isterinya diberikan kepada seluruh pasiennya. Akibatnya, Dokter Sukartono melupakan kehidupan rumah tangganya sendiri.
Dokter Sukartono sangat dicintai oleh pasiennya. Dia tidak hanya suka menolong kapan pun pasien yang membutuhkan pertolongan, tetapi ia juga tidak meminta bayaran kepada pasien yang tidak mampu. Itulah sebabnya, dia dikenal sebagi dokter yang sangat dermawan. Kesibukan Dokter Sukartono yang tidak kenal waktu tersebut semakin memicu pertengkaran dalam rumah tangga. Menurut Sumartini, Dokter Sukartono sangat egois. Sumartini merasa telah disepelekan dan direndahkan karena selalu ditinggalkan suaminya yang selalu sibuk menolong pasien-pasiennya. Dia merasa dirinya telah dilupakan. Karena Sukartono tidak mampu memenuhi hak sebagai seorang suami, maka Sumartini sering bertengkar. Hampir setiap hari mereka bertengkar. Masing-masing tidak mau mengalah dan merasa paling benar. Suatu hari Dokter Sukartono mendapat panggilan dari seorang wanita yang mengaku dirinya sedang sakit keras. Wanita itu meminta Dokter Sukartono datang ke hotel tempat dia menginap. Dokter Sukartono pun datang ke hotel tersebut. Setibanya di hotel, dia merasa terkejut sebab pasien yang memanggilnya adalah Yah atau Rohayah, wanita yang telah dikenalnya sejak kecil. Sewaktu masih bersekolah di Sekolah Rakyat, Yah adalah teman sekelasnya.
Pada saat itu Yah sudah menjadi janda. Dia korban kawin paksa. Karena tidak tahan hidup dengan suami pilihan orang tuanya, dia melarikan diri ke Jakarta dan menjadi wanita panggilan. Yah sebenarnya secara diam-diam sudah lama mencintai Dokter Sukartono. Dia sering menghayalkan Dokter Suartono sebagai suaminya. Itulah sebabnya, dia mencari alamat Dokter Sukartono. Setelah menemukannya, dia menghubungi Dokter Sukartono dengan berpura-pura sakit. Karena sangat merindukan Dokter Sukartono, pada saat itu juga, Yah menggodanya. Dia sangat mahir dalam hal merayu laki-laki karena pekerjaan itulah yang dilakukannya selama di Jakarta. Pada awalnya Dokter Sukartono tidak tergoda akan rayuannya, namun karena Yah sering meminta dia untuk mengobatinya, lama kelamaan Dokter Sukartono mulai tergoda akan rayuannya. Yah dapat memberikan banyak kasih sayang yang sangat dibutuhkan oleh Dokter Sukartono yang selama ini tidak diperoleh dari istrinya. Karena Dokter Sukartono tidak pernah merasakan ketentraman dan selalu bertengkar dengan istrinya, dia sering mengunjungi Yah. Dia mulai merasakan hotel tempat Yah menginap sebagai rumahnya yang kedua.
Lama-kelamaan hubungan Yah dengan Tono diketahui oleh Sumartini. Betapa panas hatinya ketika mengetahui hubungan gelap suaminya dengan wanita bernama Yah. Secara diam-diam Sumartini pergi ke hotel tempat Yah menginap. Dia berniat hendak memaki Yah sebab telah mengambil dan dan menggangu suaminya. Akan tetapi, setelah bertatap muka dengan Yah, perasaan dendamnya menjadi luluh. Kebencian dan nafsu amarahnya tiba-tiba lenyap. Yah yang sebelumnya dianggap sebagai wanita jalang, ternyata merupakan seorang wanita yang lembut dan ramah. Tini merasa malu pada Yah. Dia merasa bahwa selama ini dia bersalah pada suaminya. Dia tidak dapat berlaku seperti Yah yang sangat didambakan oleh suaminya. Sepulang dari pertemuan dengan Yah, Tini mulai mengintropeksi diri. Dia merasa malu dan bersalah kepada suaminya. Dia merasa dirinya belum pernah memberi kasih sayang yang tulus pada suaminya. Selama ini dia selalu kasar pada suaminya. Dia merasa telah gagal menjadi Istri. Akhirnya, dia memutuskan untuk berpisah dengan Sukartono.
Permintaan tersebut dengan berat hati dipenuhi oleh Dokter Sukartono. Bagaimanapun, dia tidak mengharapkan terjadinya perceraian. Dokter Sukartono meminta maaf pada istrinya dan berjanji untuk mengubah sikapnya. Namun, keputusan istrinya sudah bulat. Dokter Sukartono tidak mampu menahannya dan akhirnya mereka bercerai. Betapa sedih hati Dokter Sukartono akibat perceraian tersebut. Hatinya bertambah sedih saat Yah juga pergi. Yah hanya meninggalkan sepucuk surat yang mengabarkan jika dia mencintai Dokter Sukartono. Dia akan meninggalkan tanah air selama-lamanya dan pergi ke Calidonia. Dokter Sukartono merasa sedih dalam kesendiriannya. Sumartini telah pergi ke Surabaya. Dia mengabdi pada sebuah panti asuhan yatim piatu, sedangkan Yah pergi ke negeri Calidonia.
Tono adalah seorang dokter yang sangat peduli kepada pekerjaannya dan memilih untuk berpergian tiap hari untuk mengobati pasien-pasiennya meninggalkan rumah sehingga istrinya, Tini. merasa diabaikan dan membalasnya dengan sikap yang amat tidak acuh terhadap suaminya. Dan hal ini makin memperunyam masalah dalam rumah tangga itu.
Tono lalu bertemu dengan Yah, perempuan jalang namun sebenarnya hidup seperti itu karena kepedihan hidupnya. Yah pada awalnya mengaku sebagai Ny. Eni. Yah ternyata teman sepermainan Tono sewaktu kecil, dan memendam perasaan cinta terhadap Tono sehingga Yah pun berusaha memikat hati Tono.dan ternyata Yah adalah seorang penyanyi yang di kagumi oleh Tomo yaitu Siti Hayati,
Namun akhir kisah cinta segitiga ini pun berakhir pedih. Tidak ada seorang pun mendapatkan Tono. Karena dua wanita yang mencintainya itu memutuskan untuk mengikhlaskan Tono kepada satu sama lain.
Belenggu menceritakan tentang perjalanan rumah tangga seorang dokter, yaitu Tono dengan seorang perempuan bernama Tini. Dalam novel ini Armijn menggunakan tanda ellipsis (…) untuk mencerminkan konflik batin tokoh masing-masing.
2.    Novel karya Sutan Takdir Alisjahbana
Sinopsis
                                       Layar Terkembang
Tuti dan Maria adalah kakak beradik, anak dari Raden Wiriatmadja mantan Wedana daerah Banten. Sementara itu ibu mereka telah meninggal. Meskipun mereka adik-kakak, mereka memiliki watak yang sangat berbeda. Tuti si sulung adalah seorang gadis yang pendiam, tegap, kukuh pendiriannya, jarang sekali memuji, dan aktif dalam organisasi-organisasi wanita. Sementara Maria adalah gadis yang periang, lincah, dan mudah kagum.
Diceritakan pada hari Minggu Tuti dan Maria pergi ke akuarium di pasar ikan. Di tempat itu mereka bertemu dengan seorang pemuda yang tinggi badannya dan berkulit bersih, berpakaian putih berdasi kupu-kupu, dan memakai kopiah beledu hitam. Mereka bertemu ketika hendak mengambil sepeda dan meninggalkan pasar, pada saat itu pula mereka berbincang-bincang dan berkenalan. Nama pemuda itu adalah Yusuf, dia adalah seorang mahasiswa sekolah tinggi kedokteran. Sementara Maria adalah murid H.B.S Corpentier Alting Stichting dan Tuti adalah seorang guru di sekolah H.I.S Arjuna di Petojo. Mereka berbincang samapai di depan rumah Tuti dan Maria.
       Yusuf adalah putra dari Demang Munaf di Matapura, Sumatra Selatan. Semenjak pertemuan itu Yusuf selalu terbayang-bayang kedua gadis yang ia temui di akuarium., terutama Maria. Yusuf telah jatuh cinta kepada Maria sejak pertama kali bertemu, bahkan dia berharap untuk bisa bertemu lagi dengannya. Tidak disangka oleh Yusuf, keesokan harinya dia bertemu lagi di depan hotel Des Indes. Semenjak pertemuan  keduanya itu, Yusuf mulai sering menjemput Maria untuk berangkat sekolah serta dia juga sudah mulai berani berkunjung ke rumah Maria. Sementara itu Tuti dan ayahnya melihat hubungan kedua remaja itu tampak bukan lagi hubungan persahabatan biasa.
Tuti sendiri terus disibukan oleh kegiatan-kegiatan nya dalam kongres Putri Sedar yang diadakan di Jakarta, dia sempat berpidato yang isinya membicarakan tentang emansipasi wanita. Tuti dikenal sebagai seorang pendekar yang pandai meimilih kata, dapat membuat setiap orang yang mendengarnya tertarik dan terhanyut.
Sesudah ujian doctoral pertama dan kedua berturut-turut selesai, Yusuf pulang ke rumah orang tuanya di Martapura, Sumatra Selatan. Selama  berlibur Yusuf dan Maria saling mengirim surat, dalam surat tersebut Maria mengatakan kalau dia dan Tuti telah pindah ke Bandung. Kegiatan surat menyurat tersebut membuat Yusuf semakin merindukan Maria. Sehingga pada akhirnya Yusuf memutuskan untuk segera kembali ke Jakarta dan ke Bandung untuk mengunjungi Maria. Kedatangan Yusuf disambut hangat oleh Maria dan Tuti. Setelah itu Yusuf mengajak Maria berjalan-jalan ke air terjun Dago, tetapi Tuti tidak dapat meninggalkan kesibukannya. Di tempat itu Yusuf menyatakan perasaan cintanya kepada Maria.
                     “Maria, Maria, tahukah engkau saya cinta kepadamu?”
“Lama benar engkau menyuruh saya menanti katamu…”
Setelah kejadian itu, kelakuan Maria berubah. Percakapannya selalu tentang Yusuf saja, ingatannya sering tidak menentu, dan sering melamun. Sehingga Rukamah sering mengganggunya. Sementara hari-hari Maria penuh kehangatan bersama Yusuf, Tuti sendiri lebih banya membaca buku. Sebenarnya pikiran Tuti terganggu oleh keinginannya untuk merasakan kemesraan cinta. Melihat kemesraan Maria dan Yusuf, Tuti pun ingin mengalaminya. Tetapi Tuti juga memiliki ke khawatiran terhadap  hubungan Maria dan Yusuf. Kemudian Tuti menasehati Maria agar jangan sampai diperbudak oleh cinta. Nasihat tulus Tuti justru memicu pertengkaran diantara mereka dan memberikan pukulan keras terhadap Tuti.
Karena hal itu, Tuti sama sekali tidak berbicara dengan Maria, juga dia merasa sendiri dan sepi dalam kehidupannya.
Ketika Maria mendadak terkena penyakit malaria dan TBC, Tuti pun kembali memperhatikan Maria, Tuti menjaganya dengan sabar. Pada saat itu juga adik Supomo datang atas perintah Supomo untuk meminta jawaban pernyataan cintanya kepada Tuti. Sebenarnya Tuti sudah ingin memiliki seorang kekasih, tetapi Supomo dipandangnya bukan pria idaman yang diinginkan Tuti. Maka dengan segera Tuti menulis surat penolakan.
Sementara itu, keadaan Maria semakin hari makin bertambah parah. Kemudian ayahnya, Tuti, dan Yusuf memutuskan untuk merawatnya di rumah sakit. Dokter yang merawatnya menyarankanagar Maria dibawa ke rumah sakit khusus penderita penyakit TBC wanita di Pacet, Sindanglaya Jawa Barat. Perawatan Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. Namun keadaannya tidak juga mengalami perubahan, yang terjadi adalah kondisi Maria semakin lemah.
       Pada suatu kesempatan, Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna dan Saleh di Sindanglaya, disitulah Tuti mulai terbuka dalam memandang kehidupan di pedesaan. Kehidupan suami istri yang melewati hari-harinya dengan bercocok tanam, ternyata juga mampu membimbing masyarakat sekitarnya menjadi sadar akan pentingnya pendidikan. Keadaan tersebut benar-benar telah menggugah alam pikiran Tuti. Ia menyadari bahwa kehidupan mulia, mengabdi kepada masyarakat tidak hanya dapat dilakukan di kota atau dalam kegiatan-kegiatan organisasi, sebagaimana yang selama ini ia lakukan. Tetapi juga di desa atau di masyarakat mana pun, pengabdian itu dapat dilakukan.
Semakin hari hubungan Yusuf dan tuti semakin akrab, sementara itu kondisi kesehatan Maria justru semakin mengkhawatirkan. Dokter yang merawatnya pun sudah tidak dapat berbuat lebih banyak lagi. Pada saat kritis Maria mengatakan sesuatu sebelum ia menginggal.
       “Badan saya tidak kuat lagi, entah apa sebabnya. Tak lama lagi saya hidup di dunia ini. Lain-lain rasanya… alangkah berbahagia saya rasanya di akhirat nanti, kalau saya tahu, kalau kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini. Inilah permintaan saya yang penghabisan dan saya, saya tidak rela selama-lamanya kalau kakandaku masing-masing mencari peruntungan pada orang lain.” Demikianlah pesan terakhir almarhum Maria.
       Setelah beberapa lama kemudian, sesuai dengan pesan terakhir Maria, Yusuf dan Tuti menikah dan bahagia selama-lamanya.

       Didalam novel tersebut STA menggambarkan kehidupan wanita di masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang atau bisa gender disebut sebagai Wanita Modern seperti Takdir menggambarakan pada karakter Tuti. Di dalam cerita ini ada dua karakter wanita utama; Tuti dan Maria. Tuti adalah seorang yang berbakat pintar/ cerdas, seorang wanita yang kuat, pekerja keras, mandiri dan dia juga sebagai seorang pemimpin organisasi Putri Sedar yang menuntut kesamaan hak. Maria adalah karakter yang lemah, mudah sedih, bergantung kepada orang lain, wanita yang kolot. 
       Dari kedua novel diatas, dapat ditemukan bahwa Armijn Pane dan STA memiliki perbedaan dalam pengangkatan tema. Armijn lebih kepada kehidupan masyarakat sehari-hari, sementara STA lebih kepada emansipasi wanita.

3.3.3   Drama
Sinopsis drama Ken Arok dan Ken Dedes
Ken Arok adalah seorang pemimpin rampok yang ditakuti oleh rakyat kediri. Ken Arok dan kelompoknya sering merampok penduduk atau siapa saja yang berada di Kediri. Kelompok ini terkenal sangat kejam bahkan tidak segan-segan membunuh orang yang dirampoknya. Hasil rampok dibagi-bagikan pada anak buahnya dan digunakan untuk bersenang-senang dan berjudi.
Sebagai raja Kediri, Kertajaya tidak bisa tinggal diam. Ia sudah berkali-kali mengirim prajuritnya untuk menangkap Ken Arok dan kelompoknya. Akan tetapi usahanya gagal, karena kelompok Ken Arok sangat tangguh. Sebagai jalan keluarnya, akhirnya Kertajaya mengutus para pendeta untuk menemui Ken Arok berharap semoga para pendeta berhasil membujuknya kembali ke jalan yang benar.
Sebelum para pendeta yang diutus pergi menemui Ken Arok, terlebih dahulu merekan singgah di Tumapel. Tumapel ini berada di bawah kekuasaan Kediri. Mereka menemui Akuwu Tumapel yaitu Tunggul Ametung untuk membicarakan masalah tersebut. Tunggul Ametung mendukung usul rajanya. Para pendeta yang diutus pun pergi menemui Ken Arok di hutan karena memang tempat Ken Arok adalah di sana. Ken Arok mau menerima usul dari pendeta akan tetapi dengan satu syarat dirinya harus dijadikan pengawal Akuwu Tumapel.
Singkat cerita Ken Arok telah menjadi pengawal Tumapel beserta kelompoknya. Di balik semua itu rupanya Ken Arok punya rencana lain yaitu membunuh Tunggul Ametung karena Ken Arok ingin menguasai daerah tersebut sekaligus ingin memiliki Ken Dedes, istri Tunggul Ametung yang memang sangat cantik. Dengan menghalalkan segala cara akhirnya Ken Arok berhasil menyingkirkan Akuwu Tumapel bahkan Empu Gandring seorang pandai keris pun menjadi korbannya karena Empu Gandring belum menyelesaikan keris pesanannya.
Tak lama kemudian Ken Arok dapat menguasai Tumapel dan dia menjadi raja sekaligus memperistri Ken Dedes walaupun secara paksa. Nama Tumapel diganti dengan Singasari. Berita tentang kematian Tunggul Ametung telah sampai ke Kediri. Kini yang menjadi raja ialah Ken Arok dan Ken Arok ingin menguasai Kediri. Menurut salah satu pendeta, Kertajaya tidak pernah takut pada siapa pun kecuali pada Betara guru. Hal ini dimanfaatkan oleh Ken Arok. Ken Arok meminta pendeta lohgawe untuk mengangkatnya menjadi Betara Guru. Ken Arok berencana akan menyerang kediri. Berita tersebut telah didengar oleh Kertajaya. Apalagi setelah tahu yang akan menyerang wilayahnya adalah Betara Guru, maka tanpa diduga Kertajaya menghunuskan kerisnya pada dirinya sendiri.
Delapan belas tahun berlalu, Kerajaan Singasari meluas. Banyak tempat judi, mabuk-mabukan dan berpoya-poya. Sementara Ken Dedes tidak bisa berbuat apa-apa. Ken Dedes memiliki putera empat, putera pertama adalah Anusapati, anak dari Tunggul Ametung, kemudian anak dari Ken Arok tiga orang yaitu Wong Ateleng, Panji Saprang, dan Agnibaya. Anusapati kini sudah remaja dan berada bersama kakeknya di Panawijen untuk menuntut ilmu. Anusapati mengetahui kalau dirinya bukan anak kandung Ken Arok dan Anusapati pun telah tahu bahwa ayah kandungnya Tunggul Ametung yang telah dibunuh oleh Ken Arok.
Semasa Pemerintahan Ken Arok, banyak rakyat menderita. Anusapati tak dapat membiarkan itu. Anusapati bersama orang-orang yang tertindas berontak dan berencana akan membunuh Ken Arok. Dan siang harinya ketika pesta sedang berlangsung di Keraton Singasari, tanpa diduga Anusapati telah berhasil membunuh Ken Arok dengan bantuan orang desa. Akhirnya Anusapati naik tahta. Dia mengganti Ken Arok menjadi raja Singasari.
Drama ini lebih banyak menampilkan latar kerajaan. Ceritanya sendiri seputar kerajaan walaupun walaupun diselingi latar hutan belantara sebagai tempat Ken Arok sebelum menjadi raja. Latar yang diambil adalah kerajaan Jawa maka otomatis budaya yang ditampilkan adalah budaya Jawa dengan mengangkat kesenian Jawa pula seperti seni gamelan yang mendukung suasana kerajaan.
Bahasa yang digunakan ialah bahasa percakapan sehari-hari. Tidak menggunakan bahasa melayu. Setiap tokoh memiliki ciri khas bahasanya seperti untuk tokoh Ken Arok memiliki contoh bahasa pertentangan karena cenderung sebagai tokoh antagonis dan berwatak pembangkang. Berbeda dengan tokoh pendeta lohgawe, yang menggunakan bahasa penegasan karena tokoh tersebut merupakan tokoh yang berpikiran dan berpandangan serius dan mungkin sekali penuh idealis.

















BAB 1V
KESIMPULAN
1.        Peristiwa sastra periode 1933-1942 yaitu tentang lahirnya majalah pujangga baru, dan adanya polemikdiantara kaum muda dan kaum tua. Polemik  golongan pujangga baru dengan kaum tua itu tidak hanya mengenai bahsa saja, karena gerakan pujangga baru bukanlah hanya gerakan bahasa dan sastra belaka, tetapi juga mengenai kebudayaan, pendidikan, pandangan hidup dan kemasyarakatan. Sutan takdir yang pro-Barat dan mengatakan bahwa hanya dengan jalan mengeruk ilmu dan roh barat sepuas-puasnya sejalan kita dapat mengimbangi bangsa Barat. Ia berharap dengan Dr. soetomo, Ki Hadjar Dewantara, dan lain-lain yang hendak mempertahankan tradisionalisme yang dianggap sebagai kepribadian bangsa. Sanusi pane juga turut aktif dalam polemic-polemik itu dan akhirnya menatakan bahwa baginya manusia (Indonesia) baru haruslah merupakan campur antara faust (yang dianggap mewkili roh kepribadian barat) dengan arjuna (sebagai wakil roh kepribadian timur). Sikap ini dinyatakan dalam dramanya yang berujudul manusia baru (1940). Sebelumnya sanusi pane dikenal sebaai orang yang sangat mempetahankan Timur dalam menghadapi Sutan Takdir Alisjahbana.
2.        Karya sastra dan pengarang periode 1933-1942, yaitu:
a.    Sutan Takdir Allisjahbana, karya-karyanya:
a)    Dian yang tak kunjung padam (1932)
b)   Layar terkembang (1936)
c)    Anak perawan di sarang penyamun (1941).
b.    Armijn Pane, karya-karyanya:
a)    Belenggu (1940)
b)   Jiwa berjiwa (1939).
c.    Amir Hamzah, karya-karyanya:
a)    Nyanyi Sunyi (1937)
b)   Buah rindu (1941)
c)    Setanggi timur (1939)
d.   J.E. Tatengkeng, karya-karyanya:
a)    Rindu dendam (1934)
3.        Karakteristik karya sastra periode 1933-1942, yaitu:
a.       Puisi
Dari puisi karya Amir Hamzah dan J.E Tatengkeng, dapat disimpulkan bahwa keduanya memiliki persamaan dalam memilih tema. Yaitu tentang Tuhan. Tetapi puisi Amir Hamzah lebih bertemakan kepada kepasrahan seorang hamba terhadap Tuhannya, sementara dari puisi J.E Tatengkeng lebih bertemakan tentang seorang Ayah yang mengikhlaskan anaknya diambil lagi oleh Tuhan.
b.      Prosa Fiksi
Dari novel Belenggu (Armijn Pane) dan Layar terkembang (STA) terdapat perbedaan mengenai pemilihan tema. Tema yang diambil oleh Armijn yaitu lebih kepada kehidupan masyarakat sehari-hari. Sementara STA memilih tema tentang emansipasi wanita.
c.       Drama
Drama Ken Arok dan Ken Dedes berceritakan tentang kerajaan di Jawa. Sehingga latar dan bahasa yang digunakan dalam naskah drama tersebut tidak terlepas dari unsur jawa.































DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana, Sutan Takdir. (1999). Layar Terkembang. Jakarta: Balai Pustaka.
Foulcher, Keith. (1991). Pujangga Baru. Jakarta: Girimukti Pusaka.
Hamzah, Amir. (2008). Nyanyi Sunyi. Jakarta: Dian Rakyat.
Jaelani, Asep Jejen. (2013). Sejarah Sastra Indonesia. Kuningan: PBSI FKIP UNIKU.
Pane, Armijin. (2010). Belenggu, Jakarta : Dian Rakyat
Pradopo, Rachmat djoko. (2011). Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Rosidi, Ajip. (2000). Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Putra Abardin.
Sugiantomas, Aan. (2011). Langkah Awal Menuju Apresiasi Sastra Indonesia. Kuningan: PBSI FKIP UNIKU.

Sugiantomas, Aan. (2012). Kajian Prosa Fiksi dan Drama. Kuningan: PBSI FKIP  Kuningan: PBSI FKIP UNIKU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar