Jumat, 10 Januari 2014

Perbuatan Orangtua Membentuk Karakter Pribadi Seorang Anak


Anak-anak dianugrahkan oleh Allah melalui pasangan suami-istri (pasutri). Pasutri berperan sebagai mitra Allah (co-creator) dalam melahirkan anak (manusia). Anak-anak yang lahir dalam keluarga merupakan buah cinta Allah kepada pasutri. Dalam pandangan Agustinus, anak merupakan salah satu bona (kebaikan) dari perkawinan. Melalui perkawinan, pasutri melahirkan umat manusia dan anggota-anggota Kristus. Oleh karenanya, pasutri bertanggungjawab untuk menumbuh-kembangkan anak-anak yang dipercayakan Allah kepada mereka. Sebagai rekan kerja Allah, orangtua mesti selalu berusaha menuju kesucian dan penyempurnaan hidup. Hal itu dapat dilakukan melalui pertobatan setiap saat dan kesadaran akan tanggung jawab besar terhadap anak-anaknya.
Tanggung jawab utama orangtua  adalah membangun keyakinan nilai dan meneguhkan tekad moral anaknya. Orangtua berperan aktif agar anak-anaknya memperoleh segala yang membuat hidup mereka menjadi bermakna dan bahagia. Pendidikan religius (keimanan) hendaknya dapat berlangsung terutama dalam keluarga (Iman Katolik: 56). Anak merasakan cinta kasih Allah melalui cinta kasih orangtua. Perbuatan keseharian orangtua ikut membentuk karakter pribadi seorang anak. Jika perbuatan keseharian orangtua berisi  nilai-nilai religius dan moral, maka anak-anak mereka kemungkinan besar akan tumbuh-berkembang dengan baik dan benar. Akan tetapi, jika perbuatan keseharian orangtua dipenuhi dengan percekcokan atau perselingkuhan, perbuatan semacam ini akan berdampak negatif terhadap anak-anak mereka kelak.

Pendidik Pertama dan Utama 
Konsili Vatikan II memberi perhatian serius pada pendidikan anak. Di dalam “Gravissimum Educationis” artikel 3 ditegaskan bahwa keluarga adalah sekolah kehidupan (school of humanity) dan sekolah paling dasar. Orangtua adalah pendidik utama bagi anak-anaknya. Peran edukatif orangtua begitu penting, sehingga apabila terlalaikan akan sangat sukar dipenuhi oleh yang lain. Itu sebabnya, tidak tepat jika orangtua hanya menggantungkan pendidikan anaknya terhadap pihak sekolah, guru dan pembantu. Dalam keluarga Katolik, orangtualah pertama-tama yang bertanggungjawab membekali anak-anaknya dengan pengetahuan ajaran iman, moral dan ajaran sosial gereja. Kendalanya, orangtua banyak yang tidak memiliki pengetahuan tentang ajaran iman, moral dan sosial. Oleh karenanya, orangtua tidak bisa mendidik anaknya dengan benar dan baik. Ketika orangtua tidak mampu menjawab pertanyaan yang dilontarkan anaknya, maka anak tersebut akan mencari jawaban di tempat lain atau kepada orang lain. Tidak heran jika zaman sekarang, banyak anak-anak yang keluyuran ke luar rumah. Bisa jadi penyebab terjadinya perdagangan manusia adalah sikap orangtua yang melalaikan tugasnya untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya.
Paus Yohannes Paulus II dalam Familiaris Consortiomengatakan bahwa keluarga adalah tempat pertama di mana anak-anak menimba pengalaman Kristiani dan gerejawi. Orangtua tidak hanya mendidik anaknya agar lebih cerdas tetapi agar penuh inisiatif untuk membangun hidupnya sendiri di dunia modern ini. Orangtua harus selalu waspada dan cakap. Sebab, dewasa ini dunia sedang dilanda arus globalisasi. Norma-norma yang bertalian dengan hidup semakin kabur. Pesatnya informasi tidak hanya berdampak positif tetapi juga negatif. Kecanggihan perangkat lunak internet tidak hanya menghadirkan hiburan tetapi juga masalah.  Oleh karena itu, orangtua mesti berbenah diri dan selalu menyadarkan anak-anaknya agar tetap menghidupi norma-norma iman dan moral yang benar dan baik. 
 Pendidikan sejati meliputi pembentukan pribadi  manusia seutuhnya (character building). Anak-anak dididik sedemikian rupa agar mereka dapat mengembangkan bakat-bakat fisik, moral, dan intelektual mereka secara harmonis. Tujuannya adalah agar anak-anak memperoleh tanggung jawab yang lebih sempurna dan dapat menggunakan kebebasan mereka dengan benar dan berperan aktif dalam kehidupan sosial (KHK 1983, Kan. 795).
Tidak bisa disangkal bahwa orangtua memiliki tanggung jawab besar agar anak-anaknya memiliki sikap (attitude) yang baik dan benar. Idealnya, orangtua berusaha optimal agar anak-anaknya sungguh-sungguh menghidupi budi pekerti. Tetapi fakta menunjukkan sebaliknya. Orangtua tidak selalu menjadi pendidik bagi anak-anaknya. Kita ambil contoh, yakni sikap curiga. Seorang anak namanya Bonus sedang bermain kelereng dengan anak tetangga, namanya Bona. Tiba-tiba mereka berantam karena Bonus tidak terima kekalahannya. Sambil menangis Bonus datang ke orangtuanya. Tidak lama kemudian Bona mendatangi Bonus dan mengajak Bonus bermain lagi. Apa kata orangtua, Bonus jangan bermain dengan Bona, nanti dia menyakiti kamu lagi. Contoh ini hanyalah sebagian dari perilaku orangtua yang tidak berlaku sebagai pendidik bagi anaknya.
  
Kecerdasan Anak
Saya setuju apa yang pernah dilontarkan oleh Pastor Y. Driyanto, Pr mengenai tujuan dari proses pendidikan.Pertama, agar anak cerdas secara intelektual. Dalam arti, memiliki kemampuan abstraktif dan asosiatif.Kedua, agar anak memiliki kecerdasan emosional. Mengenal perasaannya dan mengungkapkannya secara tepat. Kegiatan bermaian anak akan memacunya untuk semakin cerdas secara emosional. Ketiga, cerdas secara sosial. Maksudnya adalah menempatkan diri dan orang lain pada tempatnya. Keempat, cerdas secara spiritual. Memeluk keyakinan sendiri dan menghormati keyakinan yang lain. Seseorang yang cerdas secara spiritual akan sungguh-sungguh berusaha untuk mencintai hingga musuh, mengampuni hingga tanpa batas dan rela memihak yang kecil, lemah dan miskin. Saya yakin, keempat kecerdasan ini akan membuat anak-anak matang sebagai manusia utuh.  
Para pendidik anak-anak mesti selalu menyadari bahwa istilah mendidik berasal dari kata Latin yakni educareyang merupakan padanan kata e(x)= keluar danducere= memimpin. Istilah educare berarti memimpin keluar dari dirinya. Anak harus ditarik dari dirinya agar tidak egois dan tidak terpusat hanya untuk dan pada dirinya sendiri. Dalam proses pendidikan di dalam keluarga dan sekolah, anak mesti disadarkan bahwa ada yang lain selain dirinya. Pertama, Tuhan. Orangtua sebagai pendidik utama, berkewajiban mengatakan kepada anaknya: Nak, selain dirimu ada Tuhan Allah. Ia adalah pemberi hidup kita. Oleh karenanya, kita patut selalu bersyukur pada-Nya melalui doa dan perayaan sakramen. Kedua, sesama. Seorang anak disadarkan agar ia tidak egois, tetapi memperhitungkan dan memikirkan orang lain. Ketiga, alam yang merupakan tempat kita hidup dan berada. Orangtua mestinya memberitahu anak-anaknya agar tidak mengotori dan merusak alam.
***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar