Identitas Buku
Judul Buku : Pengantar
Semantik Bahasa Indonesia
Penulis : Abdul
Chaer
Tebal Buku : 193 Halaman
Penerbit : RINEKA
CIPTA
Judul Buku
PENGANTAR SEMANTIK BAHASA INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sejalan dengan berkembangnya zaman perkembangan bahasa pun juga
ikut berkembang dan mengalami pergeseran-pergeseran makna. Pergeseran makna
bahasa memang tidak dapat dihindari, hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor
yang nantinya akan di bahas secara mendalam di dalam pembahasan. Tidak heran
dalam beberapa tahun terakhir ini di Indonesia muncul berbagai kata yang
memiliki banyak makna baru. Meski demikian makna yang melekat terlebih dahulu
tidak serta merta hilang begitu saja. Perubahan makna suatu kata yang terjadi,
terkadang hampir tidak disadari oleh pengguna bahasa itu sendiri. Untuk itu
perlu bagi kita sebagai calon guru Bahasa Indonesia untuk mengetahui dan
memahami ilmu kebahasaan secara utuh salah sarunya tentang perubahan makna.
Bahasa merupakan sistem komunikasi yang amat penting bagi manusia. Bahasa
merupakan alat komunikasi manusia yang tidak terlepas dari arti atau makna pada
setiap perkataan yang diucapkan. Sebagai suatu unsur yang dinamik, bahasa
senantiasa dianalisis dan dikaji dengan menggunakan perbagai pendekatan untuk
mengkajinya. Antara lain pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji bahasa
ialah pendekatan makna. Semantik merupakan salah satu bidang semantik yang
mempelajari tentang makna. Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata
maupun kalimat. Ada beberapa jenis makna, antara lain makna leksikal, makna
gramatikal, makna denotasi, dan makna konotasi. Pada bagian selanjutnya dari
makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai jenis-jenis dari makna.
1.2
Rumusan Masalah
Apa jenis-jenis makna dalam
penggunaannya?
1.3
Tujuan
Berdasarkan permasalahan tersebut tujuan penulisan laporan buku ini adalah untuk mendeskripsikan jenis-jenis makna dalam semantik.
BAB II
ISI BAB 4 (JENIS MAKNA)
Dari berbagai sumber kita dapati berbagai istilah untuk menamakan
jenis atau tipe makna. Sesungguhnya jenis atau tipe makna itu memang dapat
dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang. Berdasarkan jenis
semantiknya dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna gramatikal,
berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya
makna referensial dan makna nonreferesial, berdasarkan ada dan tidaknya nilai
rasa pada sebuah kata/ leksem dapat dibedakan adanya makna denoatif dan makna
konotatif, berdasarkan ketepatan maknanya dikenal adanya makna kata dan makna
istilah atau makna umum dan makna khusus. Lalu
berdasarkan kiteria lain atau sudut pandang lain dapat disebutkan adanya
makna-makna asosiatif,kolokatif, reflektif, idiomatik, dan sebagainya. Berikut
akan dibahas pengertian makna-makna tersebut satu per satu.
2.1. Makna Leksikal dan
Makna Gramatikal
Leksikal adalah
bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk leksikon (vokabuler,kosa kata,
perbendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk
bahasa yang bermakna. Makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon ,
bersifat leksem, atau bersifat kata. Lalu, karena itu dapt pula dikatakan makna
leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan
hasil observasi alat indra, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam
kehidupan kita.
Apakah semua kata
dalam bahasa Indonesia bermakna leksikal? Tentu saja tidak. Kata-kata yang
dalam gramatikal disebut kata penuh (full word) seperti kata meja, tidur dan
cantik memang memiliki makna leksikal, tetpi yang disebut kata tugas (function
word) seperti kata dan, dalam, dan karena tidak memiliki makna leksikal. Dalam
gramatikal kata-kata tersebut dianggap hanya memiliki tugas gramatikal. Makna
leksikal biasanya dipertentangkan atau dioposisikan dengan makna gramatikal.
Kalau mana leksikal itu berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai
dengan referennya, maka makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai
akibat adanya prsoses gramatika seperti proses afiksasi, proses reduplikasi dan
proses komposisi.
Oleh karena makna
sebuah kata, baik kata dasar maupun kata jadian, sering sangat tergantung pada
konteks kalimat atau konteks situasi maka makna gramatikal ini sering juga
disebt makna kontekstual atau makna situasional. Selain itu bisa juga disebut
makna struktural karena proses dan satun-satuan gramatikal itu selalu berkenaan
dengan struktur ketatabahasaan. Proses komposisi atau proses penggabungan dalam
bahasa indonesia juga banyak melahirkan makna gramatikal. Makna gramatikal
acapkali juga dapat diketahui tanpa mengenal makna leksikal unsur-unsurnya.
Misalnya klausa malalatdililili-lili lolo-lolo ini, yang tidak dapat diketahui
makna leksikal unsur-unsurnya, apa itu malalat, apa itu dilili-lili, dan apa
pula lolo-lolo itu; namun kita tahu bahwa konstruksi klausa itu memberi makna
gramatikal: malalat mengandung makna ‘tujuan, pasien’, dilili-lili menandung
makna ‘pasif’, dan lolo mengandung makna ‘pelaku perbuatan’.
2.2 Makna Referensial dan
Nonreferensial
Perbedaan makna
referensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada tdak adanya refere dari
kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu diluar
bahasa yang picu oleh kata-kata itu maka kata tersebut disebut kata bermakna
referensial. Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen maka kata itu disebut
kata bermakna nonreferensial.
Dapat disimak bahwa
kata-kata yang termasuk kaegori kata penuh, seperti sudah disebutkan di muka,
adalah termasuk kata-kata yang bermakna referensial; dan yang termasuk kelas
kata tugas seerti preposisi dan konjungsi, adalah kata-kata yang termasuk kata
bermakna nonreferensial. Karena kata-kata yang termasuk preposisi dan
konjungsi, juga kata tugas lainnya, tidak mempunyai referen maka banyak orang
menyatakan kata-kata tersebut tidak memiliki makna. Kata-kata ersebut hanya
memiliki fungsi atau tugas. Sebenarnya kata-kata ini juga mempunyai makna;
hanya tidak mempunyai referen. Hal ini jelas dari nama yang diberikan semantik,
yaitu kata yang bermakna nonreferenial. Mempunyai makna, tetapi tidak mempunyai
referen.
Disini perlu dicatat
adanya kata-kata yang referennya tidak tetap. Dapat berpindah dari satu rujukan
kepada rujukan lain, atau juga dapat berubah ukurannya. Kata-kata yang seperti
ini disebut kata-kata deiktis.
2.3 Makna Denotatif dan
Konotatif
Perbedaan makna
denotatif dan makna konotatif didasarkan pada ada atau tidak adanya “nilai
rasa” (istilah dari slametmulyana, 1964) pada sebuah kata. Setiap kata,
terutama yang disebut kata penuh , mempunyai makna denotatif, tetapi tidak
setiap kata itu mempunyai makna konotatif.Sebuah kata disebut mempunyai makna
knotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun negatif.
Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi
dapat juga disebut berkonotasi netral.
Makna denotatif
(sering juga disebut makna denotasional, makna konseptual, atau makna kognitif
karena dilihat dari sudut yang lain) pada dasarnya sama dengan makna
referensial sebab makna denotatf ini lazim diberi pejelasan sebagai makna yang
sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran,
perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi
faktual objektif. Lalu karena itu makna denotasi sering disebut makna
sebenarnya.
Dalam beberapa buku
pelajaran, makna denotsi sering juga disebut makna dasar, makna ali ata makna
pusat dan makna konotasi disebut sebagai makna tambahan. Penggunaan makna
dasar, makna asli, atau makna pusat untuk menyebut makna denotasi rasanya tidak
menjai persoalan; tetapi penggunaan makna dasar, makna asli, atau makna pusat
untuk meyebut makna denotasi rasanya tidak menjadi persoalan; tetapi penggunaan
makna tambahan untuk menyebut makna konotasi kiranya perlu dikoreksi; yakni
hanya tambahan yang sifatnya memberi nilai rasa, baik positif maupun negatif.
Atau jika tidak bernilai rasa dapat juga berkonotasi netral.
Positif atau
negatifnya nilai rasa sebuah kata seringkali juga terjadi sebagai akibat
digunakannya referen kata itu sebagai sebuah perlambang. Jika digunakan sebagai
lamang sesuatu yang positif maka akan bernilai rasa positif; dan jika digunakan
sebagi lambang sesuatu yang negatif akan bernilai rasa negatif.
Makna konotasi
sebuah kata dapat berbeda dari suatu kelompok masyarakat yang satu dengan
kelompok masyarakat yang lain, sesuai dengan pandangan hidup dan norma-norma
penilaian kelompok masyarakat tersebut. Makna konotatif dapat juga berubah dari
waktu ke waktu. Dalam kehidupan bermasyarakat sudah menjadi sifat manusia untuk
selalu memperhalus pemakaian bahasa. Karena itu, diusahakanlah membentuk kata
atau istilah baru untuk mengganti kata atau istilah yang dianggap berkonotasi
negatif.
2.4 Makna Kata dan Makna
Istilah
Pembedaan adanya
makna kata dan makna istilah berdasarkan ketepatan makna kata itu dalam
penggunaanya secara umum dan secara khusus. Dalam penggunaan bahasa secara umum
acapkali kata-kata itu digunakan secara tidak cermat sehingga maknanya bersifat
umum . tetapi dalam penggunaan secara khusus, dalam bidang kegiatan tertentu,
kata-kata iti digunakan secara cermat sehingga maknanya pun menjad tepat. Makna
sebuah kata walaupun secara sinkronis tidak berubah tetapi karena berbagai faktor
dlam kehidupan, dapat menjadi bersifat umum. Makna kata itu baru menjadi jelas
kalau sudah dignakan dalam suatu kalimat. Kalau lepas dar konteks kalimat,
makna kata itu menjadi umum dan kabur. Berbeda dengan katanya yang masih
bersifat umum maka istilah memiliki makna yang tetap dan pasti. Ketetapan dan
kepastian makna istilah itu karena istilah itu hanya digunakan dalam bidang
kegiatan atau keilmuan tertentu. Jadi, tanpa konteks kalimatnya pun makna
istilah itu sudah pasti.
Memang banyak
istilah yang sudah menjadi unsur bahasa umum karena frekuensi pemakaiannya
dalam bahasa umum, bahasa sehari-hari cukup tinggi. Istilah yang sudah menjadi
nsur leksikal bahasa umum itu disebut istilah umum. Makna kata sebagai istilah
memag dibuat setepat mungkin untuk menghindari kesalahpahaman dalam bidang ilmu
atau kegiatan tertentu. Diluar bidang istilah sebenarnya dikenal juga adanya
pembedaan kata dengan makna umum dan kata dengan makna khusus atau makna yang
lebi terbatas. Kata dengan makna umum mempunyai engertian dan pemakaian yang
lebih luas, sedangkat kata dengan makna khusus atau makna terbatas mempunyai
pengertian dan pemakaian yang lebih terbatas.
2.5 Makna Konseptual dan
Makna Asosiatif
Pembedaan makna
konseptual dan makna asosiatif didasarkan pada atau tidak adanya hubungan
(asosiasi, refleksi) makna sebuah kata dengan makna kata lain. Secara garis
besar Leech (1976) malah membedakan makna atas kata makna konseptual dan makna
asosiatif, dalam makna asosiatif termasuk makna konotatif, stilistik, afektif, refleksi
dan kolokatif.
Makna konseptual
adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya,
dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apa pun. Jadi, makna
konseptual ini sama dengan makna referensialnya, makna leksikal, dan makna
denotatif. Sedangkan makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata
berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan diluar bahasa.
Makna asosiatif ini
sesungguhnya sama dengan perlambang-perlambang yang digunakan ole suatu masyarakat
bahas untuk menyatakan suatu konsep lain. Karena makna asosiasi ini berhubungan
dengan nilai-nilai moral dan pandangan hidup yang berlaku dalam suatu
masyarakat bahasa yang berasrti juga berurusan dengan nilai rasa bahasa maka
kedalam makna asosiatif ini juga termasuk makna konotatif. Disamping itu
kedalamnya termasuk juga makna-makna lain seperti makna stilistika, makna
afektif, dan makna kolokatif (Leech 1976).
Makna stilistika
berkenaan dengan gaya pemilihan kata sehubungan dengan adanya perbedaan sosial
dan bidang kegiatan didalam masyarakat. Makna afektif berkenaan dengan perasaan
pembicara pemakai bahasa secara pribadi, baik terhadap lawan bicara maupun
terhadap objek yang dibicarakan. Makna afektif lebih terasa secara lisn
daripada secara tertulis. Makna kolokatif berkenaan dengan makna kata lain yang
mempunyai “tempat” yang sama dalam sebuah frase (ko=sama, bersama;
lokasi=tempat). Kalau kita kembali kepada teori Verhaar tentang makna informasi
dan maksud yang dibicarakan di muka kata-kata laju, deras, kencang, cepat dan
lancar memang bersinonim;tetapi maknanya tidak sama karena bentuknya sudah
berbeda.
2.6 Makna Idiomatikal dan
Peribahasa
Idiom adalah
satuan-satuan bahasa (bisa berupa kata, frase, maupun kalimat) yang maknanya
tiak dapat “diramalkan” dari makna leksikal unsur-unsurnya maupun makna
gramatikal satuan-satua tersebut. Karena makna idiom ini tidak lagi berkaitan
dengan makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsurnya maka bentuk-bentuk
idiom ini ada juga yang menyebutkan sebagai satuan-satuan leksikal tersendiri
yang maknanya juga merupakan makna leksikal dari stuan tersebut.
Perlu diketahui juga
adanya dua macam bentuk idiom dalam bahasa Indonesia yaitu: Idiom penuh dan
idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang unsur-unsurnya secara keseluruhan
sudah merupakan satu kesatuan dengan satu makna. Sedangkan pada idiom sebagian
masih ada unsur yang memiliki makna leksikalnya sendiri. Dapat disimpulkan
bahwa makna idiomatikal adalah makna sebuah satuan bahasa (entah kata, frase atau
kalimat) yang “menyimpang” dari makna leksikal atau makna gramtikal unsur-unsur
dalam kamusnya.
Penjelasan mengenai
penggunaan istilah idion, ungkapan dan metafora. Ketiga istilah ini sebenarnya
mencakup objek pembicaraan yang kuang lebih sama. Hanya segi pandangannya yang
berlainan. Idiom dapat dilihat dari segi makna, yaitu “menyimpangnya” makna
idiom ini dari makna leksikl dan makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya.
Ungkapan dilihat dari segi ekspresi kebahasaan, yaitu dalam usaha penutur untuk
menyampaikan pikiran, perasaan, dan emosinya dalam bentuk-bentuk satuan bahasa
tertentu yang dianggap paling tepat dan paling kena. Sedagkam metafora dilihat
dari segi digunakannya sesuatu untuk membandingkan yang lain dari yang lain
umpamanya matahari dikatakan atau diperbandingkan sebagai raja siang.
Berbeda dengan
idiom, terutama idiom penuh yang maknanya tidak dapat diramalkan, baik secara
leksikal maupun gramtikal, (makna peribahasa masih dapat diramalkan karena
adanya asosiasi atau tautan antara makna leksikal dan gramatikal unsur-unsur
pembentuk peribahasa itu dengan makna lain yang menjadi tautannya). Karena
peribahasa in bersifat memperbandingkan atau mengumpamakan maka lazim juga
disebut dengan nama perumpamaan.
2.7 Makna Kias
Semua bentuk bahasa
(baik kata, frase, maupun kalimat) yang tidak merujuk pada arti yang sebenarnya
(arti leksikal, arti konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti
kiasan. Kita lihat antara bentuk ujaran dengan makna yang diacu ada hubungan
kiasan, perbandingan, atau persamaan. Tamu yang tidak diundang dalam arti
‘maling’ dan sipantat kuning dalam arti ‘kikir’? tamu yang tidak diundang dapat
dikatakan memiliki arti kiasan; tetapi sipantat kuning tidak memiliki arti kias
karena tidak ada yang dikiaskan.
2.8 Makna Lokusi, Ilokusi
dan Perlokusi
Yang dimaksud dengan
makna lokusi adalah makna seperti yang dinyatakan dalam ujaran, makna harfiah,
atau makna apa adanya. Sedangkan yang
dimaksud dengan makna ilokusi adalah makna seperti yang dipahami oleh
pendengar. Sebaliknya yan dimaksud dengan makna perlokusi adalah makna sepeti
yang diinginkan oleh penutur.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Makna Leksikal dan
Makna Gramatikal
Makna leksikal adalah
makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks apapun. Misalnya, leksem
kuda memiliki makna leksikal ‘ sejenis binatang berkaki empat yang biasa
dikendarai’; pinsil bermakna leksikal ‘ sejenis alat tulis yang terbuat dari
kayu dan arang’; dan air bermakna leksikal ‘ sejenis barang cair yang biasa
digunakan untuk keperluan sehari-hari’. Jadi, dengan adanya contoh di atas
dapat dikatakan juga bahwa makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, makna
yang sesuai dengan hasil observasi indera kita, atau makna apa adanya
Berbeda dengan makna leksikal, makna gramatikal baru ada kalau terjadi
proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi, atau
kalimatisasi. Misalnya, dalam proses afiksasi prefiks ber-dengan dasar baju
melahirkan makna gramatikal ‘ mengenakan atau memakai baju’; dengan dasar
kuda melahirkan makna gramatikal ‘ mengendarai kuda’; dengan dasar rekreasi
melahirkan makna gramatikal ‘ melakukan rekreasi’. Contoh lain, proses
komposisi dasar sate dengan dasar ayam melahirkan makna
gramatikal ‘bahan’; dengan dasar madura melahirkan makna gramatikal
‘ asal’; dengan dasar lontong melahirkan makna gramatikal ‘
bercampur’; dan dengan kata Pak Kumis melahirkan makna gramatikal
‘buatan’.
3.2 Makna Referensial dan Non-referensial
Sebuah kata atau leksem disebut bermakna
referensial kalau ada referensnya, atau acuannya. Kata-kata seperti kuda,
merah, dan gambar adalah termasuk kata-kata yang bermakna referensial karena
ada acuannya dalam dunia nyata. Sebaliknya, kata-kata seperti dan, atau, dan
karena adalah kata-kata yang tidak bermakna referensial, karena kata-kata itu
tidak mempunyai referens. Referen adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lambang.
Jadi, kalau seseorang mengatakan sungai, maka yang ditunjuk oleh lambang
tersebut langsung dihubungkan dengan acuannya. Tidak mungkin berasosiasi yang lain.
Berkenaan dengan acuan ini, ada sejumlah kata yang disebut kata deiktik,
yang acuannya tidak tetap pada satu maujud, melainkan dapat berpindah dari
maujud yang satu ke maujud yang lain. Yang termasuk kata-kata deiktik ini
adalah kata-kata pronomina.
3.3 Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang
dimiliki oleh sebuah leksem. Jadi, makna denotatif ini sebenarnya sama dengan
makna leksikal. Umpamanya, kata babi bermakna denotatif “ sejenis binatang yang
biasa diternakan untuk dimanfaatkan dagingnya”. Kata kurus bermakna denotatif “
keadaan tubuh seseorang yang lebih kecil dari ukuran yang normal”.
Kalau makna denotatif
mengacu pada makna asli atau makna sebenarnya dari sebuah kata atau leksem,
maka makna konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif
tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang
menggunakan kata tersebut. Umpamanya kata babi pada contoh diatas, pada orang
yang beragama Islam atau didalam masyarakat Islam mempunyai konotasi yang
negatif, ada rasa atau perasaan tidak enak bila mendengar kata itu. Makna
konotatif merupakan makna leksikal + X. Misalnya, kata amplop. Kata amplop bermakna sampul yang berfungsi
tempat mengisi surat yang akan disampaikan kepada orang lain atau kantor,
instansi, jawatan lain. Makna ini adalah makna denotasinya. Tetapi pada kalimat
“Berilah ia amplop agar urusanmu segera selesai,” maka kata amplop sudah
bermakna konotatif, yakni berilah ia uang.
3.4 Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech (1976) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna asosiatif.
Yang dimaksud dengan makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah
leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apapun. Kata kuda memiliki makna
konseptual “sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai”; dan
kata rumah memiliki makna konseptual “bangunan tempat tinggal manusia”. Jadi,
makna konseptual sesungguhnya sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif,
dan makna referensial. Leech mengemukakan dua prinsip, yakni prinsip
ketidaksamaan dan prinsip struktur unsurnya. Prinsip ketidaksamaan dapat
dianalisis berdasarkan klasifikasi bunyi dalam tataran fonologi yang setiap
bunyi ditandai + (positif) kalau ciri dipenuhi, dan ditandai dengan – (negatif)
jika ciri tidak dipenuhi. Misalnya, konsonan /b/ berciri +bilabial, +stop, -
nasal.
Prinsip struktur unsurnya misalnya kata nyonya dapat dianalisis menjadi: +
manusia; + dewasa; - laki-laki;. Kata buku dapat dianalisis menjadi: + nama
benda; = benda padat; + digunakan sebagai tempat menulis; + digunakan oleh
murid-murid atau mahasiswa; - manusia; - berkaki dua. Dengan analisisi seperti
ini maka konsep sesuatu dapat diatasi.
Dihubungkan dengan keberadaan kata-kata, maka kita dapat menyebut kata yang
mengandung konsep jika telah berada di dalam konteks kalimat, dan kata yang
susah dibatasi makna konseptualnya karena itu selalu terikat konteks kalimat.
Berdasarkan pendapat ini maka makna konseptual setiap kata dapat dianalisis
dalam kemandiriannya dan dapat dianalisis setelah kata tersebut berada dalam
satuan konteks. Makna konseptual sebuah kata dapat saja berubah atau bergeser
setelah ditambah atau dikurangi anggotanya.
Makna asosiatif adalah
makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan
kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa. Makna asosiatif ini sebenarnya sama dengan
perlambangan yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan suatu
konsep lain yang mempunyai kemiripan dengan sifat, keadaan atau ciri yang ada
pada konsep asal kata atau leksem tersebut. Contoh: kata kursi berasosiasi
dengan ’kekuasaan’; kata amplop berasosiasi dengan ’uang suap’.
3.5 Makna Kata dan Makna Istilah
Setiap kata atau leksem memilki makna. Pada awalnya, makna yang
dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna denotatif, atau makna
konseptual. Namun, dalam penggunaan makna kata itu baru menjadi jelas kalau
kata itu berada dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Kita belum
tahu makna kata jatuh sebelum kata itu berada dalam konteksnya.
a. Adik jatuh dari sepeda.
b. Dia jatuh dalam ujian yang lalu.
c. Dia jatuh cinta pada adikku.
d. Kalau harganya jatuh lagi, kita akan bangkrut.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa makna kata masih bersifat umum,
kasar dan tidak jelas. Kata tangan dan lengan sebagai kata,
maknanya lazim dianggap sama, seperti tampak pada contoh berikut:
1. Tangannya luka kena pecahan kaca.
2. Lengannya luka kena pecahan kaca.
Jadi, kata tangan dan lengan pada kedua kalimat di atas adalah bersinonim,
atau bermakna sama.
Berbeda dengan kata, maka yang disebut istilah mempunyai makna yang pasti,
yang jelas, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh
karena itu, sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks. Sedangkan kata
tidak bebas konteks. Tetapi perlu diingat bahwa sebuah istilah hanya digunakan
pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu. Contohnya kata kuping dan telinga,
dalam bahasa umum kedua kata itu merupakan dua kata yang bersinonim karenanya
sering di pertukarkan. Tetapi sebagai istilah dalam bidang kedokteran keduanya
memilki makna yang tidak sama; kuping adalah bagian yang terletak di luar,
termasuk daun telinga; sedangkan telinga adalah bagian sebelah dalam. Oleh
karena itu, yang sering diobati oleh dokter adalah telinga, bukan kuping.
3.6 Makna Idiom dan Peribahasa
Idiom adalah satuan
ujaran yang maknanya tidak dapat ‘ diramalkan’ dari makna unsur-unsurnya, baik
secara leksikal maupun secara gramatikal. Contohnya bentuk membanting tulang dengan makna ‘bekerja
keras’, meja hijau dengan makna ‘pengadilan’, dan sudah beratap seng dengan
makna ‘sudah tua’. Idiom ada dua macam, yaitu:
1. Idiom penuh
Idiom penuh adalah idiom yang semua unsur-unsurnya sudah melebur menjadi
satu kesatuan, sehingga makna yang dimiliki berasal dari seluruh kesatuan itu.
Contohnya meja hijau dan membanting tulang.
2. Idiom sebagian
Idiom sebagian adalah idiom yang salah satu unsurnya masih memiliki makna
leksikalnya sendiri. Misalnya buku putih, daftar hitam, dan koran kuning.
Berbeda dengan idiom,
peribahasa memiliki makna yang masih dapat di telusuri dan di lacak dari
makna unsur-unsurnya karena adanya asosiasi antara makna asli dengan maknanya
sebagai peribahasa. Umpamanya, peribahasa seperti anjing dengan kucing yang bermakna ‘
dikatakan ihwal dua orang yang tidak pernah akur’. Makna ini memiliki asosiasi,
bahwa binatang yang namanya anjing dan kucing jika bersua memang selalu
berkelahi, tidak pernah damai.
3.7 Makna Kias
Semua bentuk bahasa
(baik kata, frase, maupun kalimat) yang tidak merujuk pada arti yang sebenarnya
(arti leksikal, arti konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti
kiasan. Kita lihat antara bentuk ujaran dengan makna yang diacu ada hubungan
kiasan, perbandingan, atau persamaan. Tamu yang tidak diundang dalam arti
‘maling’ dan sipantat kuning dalam arti ‘kikir’? tamu yang tidak diundang dapat
dikatakan memiliki arti kiasan; tetapi sipantat kuning tidak memiliki arti kias
karena tidak ada yang dikiaskan.
3.8 Makna Lokusi, Ilokusi
dan Perlokusi
Yang dimaksud dengan
makna lokusi adalah makna seperti yang dinyatakan dalam ujaran, makna harfiah,
atau makna apa adanya. Sedangkan yanf dimaksud dengan makna ilokusi adalah
makna seperti yang dipahami oleh pendengar. Sebaliknya yan dimaksud dengan
makna perlokusi adalah makna sepeti yang diinginkan oleh penutur.
BAB IV
KESIMPULAN
Setelah kita
melihat pembahasan yang telah dipaparkan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari makna sangat berperan dalam komunikasi. Makna
memiliki beberapa jenis yaitu (a) makna leksikal, grammatikal,
dan kontekstual, (b)
makna referensial dan non-referensial, (c) makna denotatif dan makna konotatif, (d) makna konseptual dan makna asosiatif, (e) makna kata dan makna istilah, (f) makna idiom dan peribahasa (g) makna kias, (h) makna lokusi, ilokusi dan perlokusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar