Kamis, 09 Januari 2014

Menganalis buku Semantk Bahasa indonesia

Identitas Buku
Judul Buku      : Pengantar Semantik Bahasa Indonesia
Penulis             : Abdul Chaer
Tebal Buku      : 193 Halaman
Penerbit           : RINEKA CIPTA

Judul Buku
PENGANTAR SEMANTIK BAHASA INDONESIA















BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
Sejalan dengan berkembangnya zaman perkembangan bahasa pun juga ikut berkembang dan mengalami pergeseran-pergeseran makna. Pergeseran makna bahasa memang tidak dapat dihindari, hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor yang nantinya akan di bahas secara mendalam di dalam pembahasan. Tidak heran dalam beberapa tahun terakhir ini di Indonesia muncul berbagai kata yang memiliki banyak makna baru. Meski demikian makna yang melekat terlebih dahulu tidak serta merta hilang begitu saja. Perubahan makna suatu kata yang terjadi, terkadang hampir tidak disadari oleh pengguna bahasa itu sendiri. Untuk itu perlu bagi kita sebagai calon guru Bahasa Indonesia untuk mengetahui dan memahami ilmu kebahasaan secara utuh salah sarunya tentang perubahan makna.
Bahasa merupakan sistem komunikasi yang amat penting bagi manusia. Bahasa merupakan alat komunikasi manusia yang tidak terlepas dari arti atau makna pada setiap perkataan yang diucapkan. Sebagai suatu unsur yang dinamik, bahasa senantiasa dianalisis dan dikaji dengan menggunakan perbagai pendekatan untuk mengkajinya. Antara lain pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji bahasa ialah pendekatan makna. Semantik merupakan salah satu bidang semantik yang mempelajari tentang makna. Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat. Ada beberapa jenis makna, antara lain makna leksikal, makna gramatikal, makna denotasi, dan makna konotasi. Pada bagian selanjutnya dari makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai jenis-jenis dari makna.

1.2         Rumusan Masalah
          Apa jenis-jenis makna dalam penggunaannya?

1.3         Tujuan
Berdasarkan permasalahan tersebut tujuan penulisan laporan buku ini adalah untuk mendeskripsikan jenis-jenis makna dalam semantik.




BAB II
ISI BAB 4 (JENIS MAKNA)

Dari berbagai sumber kita dapati berbagai istilah untuk menamakan jenis atau tipe makna. Sesungguhnya jenis atau tipe makna itu memang dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang. Berdasarkan jenis semantiknya dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna gramatikal, berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna referensial dan makna nonreferesial, berdasarkan ada dan tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/ leksem dapat dibedakan adanya makna denoatif dan makna konotatif, berdasarkan ketepatan maknanya dikenal adanya makna kata dan makna istilah atau makna umum dan makna khusus. Lalu  berdasarkan kiteria lain atau sudut pandang lain dapat disebutkan adanya makna-makna asosiatif,kolokatif, reflektif, idiomatik, dan sebagainya. Berikut akan dibahas pengertian makna-makna tersebut satu per satu.
2.1.    Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
          Leksikal adalah bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk leksikon (vokabuler,kosa kata, perbendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Makna leksikal dapat diartikan  sebagai makna yang bersifat leksikon , bersifat leksem, atau bersifat kata. Lalu, karena itu dapt pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indra, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita.
          Apakah semua kata dalam bahasa Indonesia bermakna leksikal? Tentu saja tidak. Kata-kata yang dalam gramatikal disebut kata penuh (full word) seperti kata meja, tidur dan cantik memang memiliki makna leksikal, tetpi yang disebut kata tugas (function word) seperti kata dan, dalam, dan karena tidak memiliki makna leksikal. Dalam gramatikal kata-kata tersebut dianggap hanya memiliki tugas gramatikal. Makna leksikal biasanya dipertentangkan atau dioposisikan dengan makna gramatikal. Kalau mana leksikal itu berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referennya, maka makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya prsoses gramatika seperti proses afiksasi, proses reduplikasi dan proses komposisi.
          Oleh karena makna sebuah kata, baik kata dasar maupun kata jadian, sering sangat tergantung pada konteks kalimat atau konteks situasi maka makna gramatikal ini sering juga disebt makna kontekstual atau makna situasional. Selain itu bisa juga disebut makna struktural karena proses dan satun-satuan gramatikal itu selalu berkenaan dengan struktur ketatabahasaan. Proses komposisi atau proses penggabungan dalam bahasa indonesia juga banyak melahirkan makna gramatikal. Makna gramatikal acapkali juga dapat diketahui tanpa mengenal makna leksikal unsur-unsurnya. Misalnya klausa malalatdililili-lili lolo-lolo ini, yang tidak dapat diketahui makna leksikal unsur-unsurnya, apa itu malalat, apa itu dilili-lili, dan apa pula lolo-lolo itu; namun kita tahu bahwa konstruksi klausa itu memberi makna gramatikal: malalat mengandung makna ‘tujuan, pasien’, dilili-lili menandung makna ‘pasif’, dan lolo mengandung makna ‘pelaku perbuatan’.
2.2     Makna Referensial dan Nonreferensial
          Perbedaan makna referensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada tdak adanya refere dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu diluar bahasa yang picu oleh kata-kata itu maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen maka kata itu disebut kata bermakna nonreferensial.
          Dapat disimak bahwa kata-kata yang termasuk kaegori kata penuh, seperti sudah disebutkan di muka, adalah termasuk kata-kata yang bermakna referensial; dan yang termasuk kelas kata tugas seerti preposisi dan konjungsi, adalah kata-kata yang termasuk kata bermakna nonreferensial. Karena kata-kata yang termasuk preposisi dan konjungsi, juga kata tugas lainnya, tidak mempunyai referen maka banyak orang menyatakan kata-kata tersebut tidak memiliki makna. Kata-kata ersebut hanya memiliki fungsi atau tugas. Sebenarnya kata-kata ini juga mempunyai makna; hanya tidak mempunyai referen. Hal ini jelas dari nama yang diberikan semantik, yaitu kata yang bermakna nonreferenial. Mempunyai makna, tetapi tidak mempunyai referen.
          Disini perlu dicatat adanya kata-kata yang referennya tidak tetap. Dapat berpindah dari satu rujukan kepada rujukan lain, atau juga dapat berubah ukurannya. Kata-kata yang seperti ini disebut kata-kata deiktis.
2.3     Makna Denotatif dan Konotatif
          Perbedaan makna denotatif dan makna konotatif didasarkan pada ada atau tidak adanya “nilai rasa” (istilah dari slametmulyana, 1964) pada sebuah kata. Setiap kata, terutama yang disebut kata penuh , mempunyai makna denotatif, tetapi tidak setiap kata itu mempunyai makna konotatif.Sebuah kata disebut mempunyai makna knotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral.
          Makna denotatif (sering juga disebut makna denotasional, makna konseptual, atau makna kognitif karena dilihat dari sudut yang lain) pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatf ini lazim diberi pejelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Lalu karena itu makna denotasi sering disebut makna sebenarnya.
          Dalam beberapa buku pelajaran, makna denotsi sering juga disebut makna dasar, makna ali ata makna pusat dan makna konotasi disebut sebagai makna tambahan. Penggunaan makna dasar, makna asli, atau makna pusat untuk menyebut makna denotasi rasanya tidak menjai persoalan; tetapi penggunaan makna dasar, makna asli, atau makna pusat untuk meyebut makna denotasi rasanya tidak menjadi persoalan; tetapi penggunaan makna tambahan untuk menyebut makna konotasi kiranya perlu dikoreksi; yakni hanya tambahan yang sifatnya memberi nilai rasa, baik positif maupun negatif. Atau jika tidak bernilai rasa dapat juga berkonotasi netral.
          Positif atau negatifnya nilai rasa sebuah kata seringkali juga terjadi sebagai akibat digunakannya referen kata itu sebagai sebuah perlambang. Jika digunakan sebagai lamang sesuatu yang positif maka akan bernilai rasa positif; dan jika digunakan sebagi lambang sesuatu yang negatif akan bernilai rasa negatif.
          Makna konotasi sebuah kata dapat berbeda dari suatu kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain, sesuai dengan pandangan hidup dan norma-norma penilaian kelompok masyarakat tersebut. Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Dalam kehidupan bermasyarakat sudah menjadi sifat manusia untuk selalu memperhalus pemakaian bahasa. Karena itu, diusahakanlah membentuk kata atau istilah baru untuk mengganti kata atau istilah yang dianggap berkonotasi negatif.
2.4     Makna Kata dan Makna Istilah
          Pembedaan adanya makna kata dan makna istilah berdasarkan ketepatan makna kata itu dalam penggunaanya secara umum dan secara khusus. Dalam penggunaan bahasa secara umum acapkali kata-kata itu digunakan secara tidak cermat sehingga maknanya bersifat umum . tetapi dalam penggunaan secara khusus, dalam bidang kegiatan tertentu, kata-kata iti digunakan secara cermat sehingga maknanya pun menjad tepat. Makna sebuah kata walaupun secara sinkronis tidak berubah tetapi karena berbagai faktor dlam kehidupan, dapat menjadi bersifat umum. Makna kata itu baru menjadi jelas kalau sudah dignakan dalam suatu kalimat. Kalau lepas dar konteks kalimat, makna kata itu menjadi umum dan kabur. Berbeda dengan katanya yang masih bersifat umum maka istilah memiliki makna yang tetap dan pasti. Ketetapan dan kepastian makna istilah itu karena istilah itu hanya digunakan dalam bidang kegiatan atau keilmuan tertentu. Jadi, tanpa konteks kalimatnya pun makna istilah itu sudah pasti.
          Memang banyak istilah yang sudah menjadi unsur bahasa umum karena frekuensi pemakaiannya dalam bahasa umum, bahasa sehari-hari cukup tinggi. Istilah yang sudah menjadi nsur leksikal bahasa umum itu disebut istilah umum. Makna kata sebagai istilah memag dibuat setepat mungkin untuk menghindari kesalahpahaman dalam bidang ilmu atau kegiatan tertentu. Diluar bidang istilah sebenarnya dikenal juga adanya pembedaan kata dengan makna umum dan kata dengan makna khusus atau makna yang lebi terbatas. Kata dengan makna umum mempunyai engertian dan pemakaian yang lebih luas, sedangkat kata dengan makna khusus atau makna terbatas mempunyai pengertian dan pemakaian yang lebih terbatas.
2.5     Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
          Pembedaan makna konseptual dan makna asosiatif didasarkan pada atau tidak adanya hubungan (asosiasi, refleksi) makna sebuah kata dengan makna kata lain. Secara garis besar Leech (1976) malah membedakan makna atas kata makna konseptual dan makna asosiatif, dalam makna asosiatif termasuk makna konotatif, stilistik, afektif, refleksi dan kolokatif.
          Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apa pun. Jadi, makna konseptual ini sama dengan makna referensialnya, makna leksikal, dan makna denotatif. Sedangkan makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan diluar bahasa.
          Makna asosiatif ini sesungguhnya sama dengan perlambang-perlambang yang digunakan ole suatu masyarakat bahas untuk menyatakan suatu konsep lain. Karena makna asosiasi ini berhubungan dengan nilai-nilai moral dan pandangan hidup yang berlaku dalam suatu masyarakat bahasa yang berasrti juga berurusan dengan nilai rasa bahasa maka kedalam makna asosiatif ini juga termasuk makna konotatif. Disamping itu kedalamnya termasuk juga makna-makna lain seperti makna stilistika, makna afektif, dan makna kolokatif (Leech 1976).
          Makna stilistika berkenaan dengan gaya pemilihan kata sehubungan dengan adanya perbedaan sosial dan bidang kegiatan didalam masyarakat. Makna afektif berkenaan dengan perasaan pembicara pemakai bahasa secara pribadi, baik terhadap lawan bicara maupun terhadap objek yang dibicarakan. Makna afektif lebih terasa secara lisn daripada secara tertulis. Makna kolokatif berkenaan dengan makna kata lain yang mempunyai “tempat” yang sama dalam sebuah frase (ko=sama, bersama; lokasi=tempat). Kalau kita kembali kepada teori Verhaar tentang makna informasi dan maksud yang dibicarakan di muka kata-kata laju, deras, kencang, cepat dan lancar memang bersinonim;tetapi maknanya tidak sama karena bentuknya sudah berbeda.
2.6     Makna Idiomatikal dan Peribahasa
          Idiom adalah satuan-satuan bahasa (bisa berupa kata, frase, maupun kalimat) yang maknanya tiak dapat “diramalkan” dari makna leksikal unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satua tersebut. Karena makna idiom ini tidak lagi berkaitan dengan makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsurnya maka bentuk-bentuk idiom ini ada juga yang menyebutkan sebagai satuan-satuan leksikal tersendiri yang maknanya juga merupakan makna leksikal dari stuan tersebut.
          Perlu diketahui juga adanya dua macam bentuk idiom dalam bahasa Indonesia yaitu: Idiom penuh dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang unsur-unsurnya secara keseluruhan sudah merupakan satu kesatuan dengan satu makna. Sedangkan pada idiom sebagian masih ada unsur yang memiliki makna leksikalnya sendiri. Dapat disimpulkan bahwa makna idiomatikal adalah makna sebuah satuan bahasa (entah kata, frase atau kalimat) yang “menyimpang” dari makna leksikal atau makna gramtikal unsur-unsur dalam kamusnya.
          Penjelasan mengenai penggunaan istilah idion, ungkapan dan metafora. Ketiga istilah ini sebenarnya mencakup objek pembicaraan yang kuang lebih sama. Hanya segi pandangannya yang berlainan. Idiom dapat dilihat dari segi makna, yaitu “menyimpangnya” makna idiom ini dari makna leksikl dan makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Ungkapan dilihat dari segi ekspresi kebahasaan, yaitu dalam usaha penutur untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan emosinya dalam bentuk-bentuk satuan bahasa tertentu yang dianggap paling tepat dan paling kena. Sedagkam metafora dilihat dari segi digunakannya sesuatu untuk membandingkan yang lain dari yang lain umpamanya matahari dikatakan atau diperbandingkan sebagai raja siang.
          Berbeda dengan idiom, terutama idiom penuh yang maknanya tidak dapat diramalkan, baik secara leksikal maupun gramtikal, (makna peribahasa masih dapat diramalkan karena adanya asosiasi atau tautan antara makna leksikal dan gramatikal unsur-unsur pembentuk peribahasa itu dengan makna lain yang menjadi tautannya). Karena peribahasa in bersifat memperbandingkan atau mengumpamakan maka lazim juga disebut dengan nama perumpamaan.
2.7     Makna Kias
          Semua bentuk bahasa (baik kata, frase, maupun kalimat) yang tidak merujuk pada arti yang sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Kita lihat antara bentuk ujaran dengan makna yang diacu ada hubungan kiasan, perbandingan, atau persamaan. Tamu yang tidak diundang dalam arti ‘maling’ dan sipantat kuning dalam arti ‘kikir’? tamu yang tidak diundang dapat dikatakan memiliki arti kiasan; tetapi sipantat kuning tidak memiliki arti kias karena tidak ada yang dikiaskan.
2.8     Makna Lokusi, Ilokusi dan Perlokusi
          Yang dimaksud dengan makna lokusi adalah makna seperti yang dinyatakan dalam ujaran, makna harfiah, atau makna apa adanya. Sedangkan yang dimaksud dengan makna ilokusi adalah makna seperti yang dipahami oleh pendengar. Sebaliknya yan dimaksud dengan makna perlokusi adalah makna sepeti yang diinginkan oleh penutur.







BAB III
PEMBAHASAN

3.1     Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks apapun. Misalnya, leksem kuda memiliki makna leksikal ‘ sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’; pinsil bermakna leksikal ‘ sejenis alat tulis yang terbuat dari kayu dan arang’; dan air bermakna leksikal ‘ sejenis barang cair yang biasa digunakan untuk keperluan sehari-hari’. Jadi, dengan adanya contoh di atas dapat dikatakan juga bahwa makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil  observasi indera kita, atau makna apa adanya
Berbeda dengan makna leksikal, makna gramatikal baru ada kalau terjadi proses gramatikal, seperti  afiksasi, reduplikasi, komposisi, atau kalimatisasi. Misalnya, dalam proses afiksasi prefiks ber-dengan dasar baju melahirkan makna gramatikal ‘ mengenakan  atau memakai baju’; dengan dasar kuda melahirkan makna gramatikal ‘ mengendarai kuda’; dengan dasar rekreasi melahirkan makna gramatikal ‘ melakukan  rekreasi’. Contoh lain, proses komposisi dasar sate dengan  dasar  ayam melahirkan makna  gramatikal ‘bahan’;  dengan dasar  madura melahirkan makna gramatikal ‘ asal’; dengan dasar lontong melahirkan  makna  gramatikal ‘  bercampur’; dan dengan  kata Pak Kumis melahirkan makna gramatikal ‘buatan’.

3.2      Makna Referensial dan Non-referensial
Sebuah kata atau leksem disebut bermakna referensial kalau ada referensnya, atau acuannya. Kata-kata seperti kuda, merah, dan gambar adalah termasuk kata-kata yang bermakna referensial karena ada acuannya dalam dunia nyata. Sebaliknya, kata-kata seperti dan, atau, dan karena adalah kata-kata yang tidak bermakna referensial, karena kata-kata itu tidak mempunyai referens. Referen adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lambang. Jadi, kalau seseorang mengatakan sungai, maka yang ditunjuk oleh lambang tersebut langsung dihubungkan dengan acuannya. Tidak mungkin berasosiasi yang lain.
Berkenaan dengan acuan ini, ada sejumlah kata yang disebut kata deiktik, yang acuannya tidak tetap pada satu maujud, melainkan dapat berpindah dari maujud yang satu ke maujud yang lain. Yang termasuk kata-kata deiktik ini adalah kata-kata pronomina.
3.3     Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Jadi, makna denotatif ini sebenarnya sama dengan makna leksikal. Umpamanya, kata babi bermakna denotatif “ sejenis binatang yang biasa diternakan untuk dimanfaatkan dagingnya”. Kata kurus bermakna denotatif “ keadaan tubuh seseorang yang lebih kecil dari ukuran yang normal”.
Kalau makna denotatif mengacu pada makna asli atau makna sebenarnya dari sebuah kata atau leksem, maka makna konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Umpamanya kata babi pada contoh diatas, pada orang yang beragama Islam atau didalam masyarakat Islam mempunyai konotasi yang  negatif, ada rasa atau perasaan tidak enak bila mendengar kata itu. Makna konotatif merupakan makna leksikal + X. Misalnya, kata amplop. Kata amplop bermakna sampul yang berfungsi tempat mengisi surat yang akan disampaikan kepada orang lain atau kantor, instansi, jawatan lain. Makna ini adalah makna denotasinya. Tetapi pada kalimat “Berilah ia amplop agar urusanmu segera selesai,” maka kata amplop sudah bermakna konotatif, yakni berilah ia uang.

3.4       Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech (1976) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna asosiatif. Yang dimaksud dengan makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apapun. Kata kuda memiliki makna konseptual “sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai”;  dan kata rumah memiliki makna konseptual “bangunan tempat tinggal manusia”. Jadi, makna konseptual sesungguhnya sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial. Leech mengemukakan dua prinsip, yakni prinsip ketidaksamaan dan prinsip struktur unsurnya. Prinsip ketidaksamaan dapat dianalisis berdasarkan klasifikasi bunyi dalam tataran fonologi yang setiap bunyi ditandai + (positif) kalau ciri dipenuhi, dan ditandai dengan – (negatif) jika ciri tidak dipenuhi. Misalnya, konsonan /b/ berciri +bilabial, +stop, - nasal.
Prinsip struktur unsurnya misalnya kata nyonya dapat dianalisis menjadi: + manusia; + dewasa; - laki-laki;. Kata buku dapat dianalisis menjadi: + nama benda; = benda padat; + digunakan sebagai tempat menulis; + digunakan oleh murid-murid atau mahasiswa; - manusia; - berkaki dua. Dengan analisisi seperti ini maka konsep sesuatu dapat diatasi.
Dihubungkan dengan keberadaan kata-kata, maka kita dapat menyebut kata yang mengandung konsep jika telah berada di dalam konteks kalimat, dan kata yang susah dibatasi makna konseptualnya karena itu selalu terikat konteks kalimat. Berdasarkan pendapat ini maka makna konseptual setiap kata dapat dianalisis dalam kemandiriannya dan dapat dianalisis setelah kata tersebut berada dalam satuan konteks. Makna konseptual sebuah kata dapat saja berubah atau bergeser setelah ditambah atau dikurangi anggotanya.
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa. Makna asosiatif ini sebenarnya sama dengan perlambangan yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan suatu konsep lain yang mempunyai kemiripan dengan sifat, keadaan atau ciri yang ada pada konsep asal kata atau leksem tersebut. Contoh: kata kursi berasosiasi dengan ’kekuasaan’; kata amplop berasosiasi dengan ’uang suap’.

3.5     Makna Kata dan Makna Istilah
Setiap kata atau leksem memilki makna. Pada awalnya, makna  yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna denotatif, atau makna konseptual. Namun, dalam penggunaan makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu berada dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Kita belum tahu makna kata jatuh sebelum kata itu berada dalam konteksnya.
a.       Adik jatuh dari sepeda.
b.      Dia jatuh dalam ujian yang lalu.
c.       Dia jatuh cinta pada adikku.
d.      Kalau harganya jatuh lagi, kita akan bangkrut.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa makna kata masih bersifat umum, kasar dan tidak jelas.  Kata tangan dan  lengan sebagai kata, maknanya lazim dianggap sama, seperti tampak pada contoh berikut:
1.      Tangannya luka kena pecahan kaca.
2.      Lengannya luka kena pecahan kaca.
Jadi, kata tangan dan lengan pada kedua kalimat di atas adalah bersinonim, atau bermakna sama.
Berbeda dengan kata, maka yang disebut istilah mempunyai makna yang pasti, yang jelas, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks  kalimat. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks. Sedangkan kata tidak bebas konteks. Tetapi perlu diingat bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu. Contohnya kata kuping dan telinga, dalam bahasa umum kedua kata itu merupakan dua kata yang bersinonim karenanya sering di pertukarkan. Tetapi sebagai istilah dalam bidang kedokteran keduanya memilki makna yang tidak sama; kuping adalah bagian yang terletak di luar, termasuk daun telinga; sedangkan telinga adalah bagian sebelah dalam. Oleh karena itu, yang sering diobati oleh dokter adalah telinga, bukan kuping.

3.6     Makna Idiom dan Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat ‘ diramalkan’ dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Contohnya bentuk membanting tulang dengan makna ‘bekerja keras’, meja hijau dengan makna ‘pengadilan’, dan sudah beratap seng dengan makna ‘sudah tua’. Idiom ada dua macam, yaitu:
1.      Idiom penuh
Idiom penuh adalah idiom yang semua unsur-unsurnya sudah melebur menjadi satu kesatuan, sehingga makna yang dimiliki berasal dari seluruh kesatuan itu. Contohnya meja hijau dan membanting tulang.
2.      Idiom sebagian
Idiom sebagian adalah idiom yang salah satu unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri. Misalnya buku putih, daftar hitam, dan koran kuning.
Berbeda dengan idiom, peribahasa memiliki  makna yang masih dapat di telusuri dan di lacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya asosiasi antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa. Umpamanya, peribahasa seperti anjing dengan  kucing yang bermakna ‘ dikatakan ihwal dua orang yang tidak pernah akur’. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya anjing dan kucing jika bersua memang selalu berkelahi, tidak pernah damai.

3.7     Makna Kias
          Semua bentuk bahasa (baik kata, frase, maupun kalimat) yang tidak merujuk pada arti yang sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Kita lihat antara bentuk ujaran dengan makna yang diacu ada hubungan kiasan, perbandingan, atau persamaan. Tamu yang tidak diundang dalam arti ‘maling’ dan sipantat kuning dalam arti ‘kikir’? tamu yang tidak diundang dapat dikatakan memiliki arti kiasan; tetapi sipantat kuning tidak memiliki arti kias karena tidak ada yang dikiaskan.


3.8     Makna Lokusi, Ilokusi dan Perlokusi
          Yang dimaksud dengan makna lokusi adalah makna seperti yang dinyatakan dalam ujaran, makna harfiah, atau makna apa adanya. Sedangkan yanf dimaksud dengan makna ilokusi adalah makna seperti yang dipahami oleh pendengar. Sebaliknya yan dimaksud dengan makna perlokusi adalah makna sepeti yang diinginkan oleh penutur.



















BAB IV
KESIMPULAN

Setelah kita melihat pembahasan yang telah dipaparkan di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari makna sangat berperan dalam komunikasi. Makna memiliki beberapa jenis yaitu (a) makna leksikal, grammatikal, dan kontekstual, (b)  makna referensial dan non-referensial, (c) makna denotatif dan makna konotatif, (d) makna konseptual dan makna asosiatif, (e) makna kata dan makna istilah, (f) makna idiom dan peribahasa (g) makna kias, (h) makna lokusi, ilokusi dan perlokusi.

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar