Jumat, 27 Desember 2013

menjawab tantangan dari guru

Memperbincangkan pendidikan dewasa ini, seperti menelisik setiap sendi kehidupan manusia. Peranan dunia pendidikan tidak hanya sekadar mengemban amanat mencerdaskan kehidupan bangsa. Lebih dari itu, dunia pendidikan memiliki tanggung jawab moral membentuk manusia seutuhnya. Yaitu manusia yang mampu memahami dirinya sendiri.

Terlepas dari peran-fungsinya bagi setiap manusia, dunia pendidikan juga menjadi cerminan bagi survivenya suatu Negara-bangsa di tengah kancah pertarungan globalisasi. Maupun sebaliknya, kemajuan suatu Negara-bangsa juga dapat diukur sejauh mana dunia pendidikan yang dibangun di dalamnya. Dengan kata lain, dunia pendidikan menjadi barometer suatu Negara-bangsa dalam membaca dan melihat posisinya.

Maka tidak heranlah, sepanjang sejarah Negara-bangsa Indonesia, persoalan menemukan konsep dunia pendidikan yang ideal tak pernah usai. Hal ini berbanding lurus dengan gerak laju zaman yang selalu ditentukan dari riuh redam ruang kelas ataupun ruang kuliah para cendekia.

Lebih jauh, mencuat gonjang-ganjing Ujian Nasional (Unas) yang meresahkan berbagai elemen peserta didik, merupakan bukti paling mutakhir, bahwa dunia pendidikan selalu menuntut pada setiap peserta didik untuk selalu memikirkan, merumuskan dan menemukan konsep pendidikan yang ideal.

Selain persoalan konsep yang ideal dalam membentuk manusia yang seutuhnya, yang perlu diperhatikan adalah substansi dan esensi pendidikan itu sendiri. Seperti disinyalir dalam beberapa dekade terakhir ini, bahwa dunia pendidikan telah banyak mengalami berbagai kegagalan dalam membentuk karakter manusia seutuhnya. Dengan kata lain, tugas pendidikan banyak terabaikan. Terutama memanusiakan manusia. Artinya, dunia pendidikan selama ini tak ubahnya penjara bagi anak didik.

Di sinilah, kehadiran paradigma dunia pendidikan kritis yang diusung Paulo Freire (1986) menemukan ruang kontemplasinya. Lewat keyakinan akan pentingnya landasan pendidikan sebagai sebuah proses memanusiawikan manusia kembali, Freire coba memberikan jalan alternatif untuk memberontak pada tradisi dehumanisasi yang menyelimuti dinding ruang sekolah.

Untuk lebih memahami konsep pendidikannya, Freire menjabarkan kesadaran manusia menjadi tiga macam. Pertama, kesadaran magis, yakni kesadaran yang tidak mampu mengetahui antara faktor satu dengan faktor lainnya. Kedua, kesadaran naïf, yakni kesadaran yang melihat aspek manusia menjeadi penyebab masalah yang berkembang di masyarakat. Ketiga, kesadaran kritis, yakni kesadaran yang melihat sistem dan struktur sebagai sumber masalah.

Dengan mengacu pada kesadaran yang terakhir ini, dunia pendidikan selalu mendapatkan pertanyaan dari setiap peserta didiknya. Pertanyaan yang selalu merongrong kemandekan dan kejumudan lingkungan tumbuh kembangnya dunia pendidikan. Dengan kata lain, kesadaran kritis ini menuntut pada setiap peserta didik untuk terus menerus mempertanyakan, merombak, mencari dan merumuskan kembali setiap konsep pendidikan sesuai ruang waktu ke-disini-an dan ke-kini-an.

Di tengah tuntutan, tantangan serta berbagai persoalan kegagagalan dunia pendidikan, sosok guru merupakan pihak yang paling tertuduh. Sosok guru merupakan orang paling dimintai pertanggung jawabannya. Bahkan tidak ada alasan apa pun, yang dapat diberikan oleh seorang guru untuk membela dirinya.

Maka, ketika ujian nasional digulirkan dengan standar kelulusan yang cukup fantastis, sosok guru pulalah, yang mula-mula merasa ketar-ketir. Ia mesti bertanggung jawab atas segala apa yang akan terjadi pada peserta didik: frustasi, stress, depresi dan segala keputuasaan mental generasi bangsa ini.

Maka perbaikan dan evaluasi pada kemampuan seorang guru, seolah menjadi hal yang logis untuk dilakukan pertama kali dalam memecahkan persoalan dunai pendidikan. Maka, kehadiran buku “Menjelajah Pembelajaran Inovatif” karya Dr. Suyatno, M. Pd. merupakan menu mujarab setiap guru dalam mempersiapkan dirinya sebagai peserta didik yang paling dituntut.

Dalam buku ini, sosok guru diajak untuk berkenalan dengan paradigma baru pendidikan, yang menekankan hadirnya prinsip pembelajaran yang inovetif dan keberanian seorang guru untuk melakukan inovasi. Dengan prinsip pembelajaran inovatif, seorang guru akan mampu memfasilitasi siswanya untuk mengembangkan diri dan terjun di tengah masyarakatnya.

Hal ini dapat dipahami dengan memerhatikan beberapa prinsip pembelajaran inovatif, yaitu: (a) pembelajaran, bukan pengajaran; (b) guru sebagai fasilitator, bukan instruktur; (c) siswa sebagai subjek, bukan objek; (d) multimedia, bukan monomedia; (e) sentuhan manusiawi, bukan hewani; (f) pembelajaran induktif, bukan deduktif; (g) materi bermakna bagi siswa, bukan sekadar dihafal; (h) keterlibatan siswa partisipasif, bukan pasif.

Selain memberikan beberapa prinsip dasar, pembelajaran inovatif juga menekankan adanya pola dan strategi pendidikan yang utuh. Pola dan strategi pendidikan yang menitik bertakan pada tercipanya kesadaran peserta didik pada dirinya sendiri dan lingkungannya.

Selanjutnya, ketakutan dan keminderan seorang guru dalam melakukan ekpresi merupakan salah satu tumor pendidikan yang urgen untuk disembuhkan. Inilah salah satu hal yang esensial yang dibawa buku ini. Seorang guru sudah seyogyanya untuk yakin bahwa setiap guru tanpa terkecuali dapat berinovasi dalam pembelajarannya; seorang seyogyanya untuk yakin bahwa perbuatan-perbuatan kecilnya yang teliti, semisal mencatat perubahan tentang cara dan gaya mengajar setiap hari akan melahirkan hasil yang besar; serta seorang guru seyogyanya untuk terbuka menerima saran dan kritik dari guru lain, bila pola pembelajaran yang disampaikannya sama seperti yang kemarin (halaman 17)

Lebih jauh, keberanian seorang guru dalam berinovasi, serta merta akan membentuk karakternya menjadi kreatif. Kemampuan dan kapasitasnya, baik hard skill maupun soft skill, akan terasah dengan sendirinya. Kekreatifan seorang guru, akan berdampak tidak hanya pada pola komunikasi pembelajaran, tetapi juga akan membentuk suasana serta atmosfir pembelajaran yang menyenangkan (enjoy learning). Pembelajaran yang mampu mentransformasikan ilmu sekaligus mampu membetuk karaketr siswa yang manusiawi.

Di bagian akhir buku, juga diuraikan beberapa metode yang dapat digunakan oleh seorang kreatif dalam membangun suasana kelas yang familiar dan manusiawi. Suasana kelas yang tak lagi hadir sebagai ruang penjara yang dijejali teori, konsep dan tugas dari guru. Tetapi raung kelas yang mampu menggali potensi siswa dan menjernihkan nalar pikir anak didik dalam memahami dan mengaplikasikan kemampuannya untuk dirinya sendiri dan lingkungannya.

Di tengah berbagai tuntutan dan gonjang-ganjing dunia pendidikan, serta terealisasinya anggaran dua puluh persen APBN untuk pendidikan, kehadiran buku “Menjelajah Pembelajaran Inovatif’” memiliki arti dan peranan yang cukup penting. Pertama, buku ini dapat dijadikan referensi bagi setiap peserta didik untuk melihat paradigma baru dunia pendidikan masa kini. Kedua, buku ini dapat menjadi media motivasi bagi setiap guru untuk lebih berani dalam melakukan pola dan strategi pembelajaran yang inovatif; pembelajaran yang mampu menciptakan ruang dan suasana kelas yang familiar dan harmonis, serta dinamis bagi anak didik. Ketiga, buku ini dapat mendorong guru untuk lebih kreatif dalam melakukan transformasi keilmuan. Kreatifitas guru tentunya terletak pada kekayaannya memiliki metode dan aneka model pembelajaran, serta kecermatannya untuk memilih dan memilah metode dan aneka pembelajaran yang akan digunakan di setiap waktu yang berbeda.

Terlepas dari arti dan peran-fungsinya bagi peserat didik, terutama guru, buku “Menjelajah Pembelajaran Inovatif” memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi dunia pendidikan.

Memahami Gaya dan Keindahan Bahasa

Bahasa merupakan media, alat, atau sarana untuk komunikasi manusia yang satu dengan yang lainnya. Dengan bahasa, umat manusia bisa saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, tersampaikanlah pesan dari orang ke satu kepada orang yang lain, bahkan orang yang lain pun bisa membalas pesan tersebut kepada orang ke satu (pengirim pesan). Hal itu karena bahasa yang digunakan mampu diiterpretasi dan dipahami oleh kedua belah pihak, yakni pengirim pesan dan penerima pesan.

Pada dasarnya, semua makhluk hidup (manusia, binatang, dan tumbuhuan) itu berbahasa. Akan tetapi, hanya manusia yang dihukumi mempunyai bahasa karena hanya manusia yang memiliki akal pikiran untuk belajar dan mempelajari sesuatu, termasuk bahasa. Meski demikian, binatang juga mempunyai bahasa untuk bisa berkomunikasi dengan binatang lain, bahkan dengan manusia, entah itu menggunakan isyarat atau bahasa tubuh yang sekiranya bisa dipahami.

Selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga merupakan identitas suatu kelompok. Suatu kelompok bisa teridentifikasi dari mana asalnya dengan tutur bahasa yang digunakan, gaya berbahasa, dan khas pengguna bahasa. Orang Indonesia akan diketahui bahwa ia berasal dari Indonesia jika ia menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan logat bahasa Indonesia. Orang Jawa, Sunda, Batak, dan yang lainnya juga dapat diketahui dari bahasa yang digunakan karena dari masing-masing bahasa tersebut memiliki entitas dan cirri khas yang berbeda-beda sehingga dapat diklarifikasi. Berkaitan dengan hal itu, bahasa juga bisa digunakan dalam budaya bahasa oleh masing-masing kelompok.

Dalam kajiannya, bahasa juga bisa melahirkan karya sastra yang indah. Terlepas dari fungsi bahasa sebagai alat komunikasi, bahasa bisa menjadi sebuah karya sastra yang indah jika disusun dengan diksi (pilihan kata) yang bagus dan sarat akan makna yang mendalam. Dalam hal ini, masing-masing bahasa dengan setiap periodisasinya memilki khas keindahannya. Karya sastra yang lahir dari rahim bahasa itu antara lain; puisi, sajak, cerita pendek, dan lain-lain.
Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna dalam bukunya yang berjudul Stilistika; Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya dengan lugas memaparkan pembahasan gaya bahasa Indonesia dalam kajian bahasa sastra dan budaya. Gaya bahasa (style),adalah cara-cara khas bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu sehigga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal. Dengan demikian ini, gaya bahasa beragam menurut adat dan budaya berbahasa masing-masing daerah.

Stilistika, yakni ilmu tentang gaya bahasa, menjadi suatu disiplin ilmu yang mempelajari gaya-gaya bahasa. Sebenarnya, penggunaan dari gaya dan ilmu gaya itu secara luas meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, bagaimana segala sesuatu dilakukan, dinyatakan, dan diungkapakan. Secara sempit, gaya dan atau ilmu gaya digunakan pada kajian bahasa dan sastra, khususnya adalah puisi.

Gaya bahasa adalah cara tertentu, dengan tujuan tertentu. Meskipun demikian, gaya tidak bebas sama sekali. Gaya lahir secara bersistem, sebagai tata sastra. Memang benar ada kebebasan penyair, tetapi gaya tetap berada dalam aturan, sebagai puitika sastra (hal. 386).

Dalam pembicaraan puisi, adalah termasuk sastra. Dalam sastra secara substantif, terkandung gaya (style) dan keindahan (esthetic). Antara stilistika dan estetika, sebenarnya saling melengkapi keberadaannya. Seluruh aspek keindahan dalam karya sastra terkandung dan dibicarakan melalui medium, yaitu unsur-unsur gaya bahasanya. Stilistika menampilkan keindahan, sementara keidahan melibatkan berbagai sarana yang dimiliki oleh gaya bahasa. Stilistika lahir dari rahim retorika, sementara estetika dari filsafat. Keberbedaan asal itulah yang menjadikan saling melengkapi antara keduanya.

Indonesia, telah melahirkan berbagai karya santra. Chairil anwar dengan Aku-nya membangun gaya tersendiri dalam karakter berpuisinya. Putu Wijaya hingga Zawawi Imran juga telah membangun gaya dan karakternya dalam berbahasa dan mengolah bahasa menjadi karya sastra puisi. Dengan demikian, masing-masing penyair memiliki khas yang berbeda-beda.

Begitu pun secara periodik, puitika atau karya sastra di Indonesia pun relatif berubah dari masa ke masa. Periodisasi tersebut terbagi dalam beberapa masa, yakni angkatan balai pustaka (‘20-an), pujannga baru (’30-an), angkatan ’45, angkatan ’60 hingga angkatan ’70 dengan ciri sastra populer dan sastra perempuan. Kemudian periode sastra angkatan 2000-an dengan ciri postmodernisme.

Karakter yang dibangun pada masing-masing angkatan memiliki ciri tersendiri dalam melahirkan puitika karya sastra. Terlebih lagi periode sastra angkatan 2000-an seperti sekarang ini, keragaman berpuisi telah lebih mengenalkan heterogenitas gaya dan keindahan.

Buku yang berjudul Stilistika; Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya layak dijadikan referensi oleh siapa saja yang ingin mendalami stilistika sebagai analisis bahasa dan sastra yang terkait dengan budaya. Khususnya pada sastrawan dan ahli bahasa, buku ini sangat membantu dalam kajian-kajian bahasa dan sastra. Bahkan masyarakat sebagai penikmat karya sastra dan pengguna bahasa, akan diajak oleh penulis untuk menyelami stilistika dari sejarahnya hingga kemunculannya di Indonesia, serta kaitannya dengan estetika.

Bahasa merupakan alat kounikasi. Akan tetapi, selain itu, fungsi bahasa juga bisa berupa karya sastra yang menggunakan keindahan kata yang memikat. Indonesia mempunyai bahasa Indonesia yang mana bahasa tersebut telah meahirkan karya-karya yang indah.

kegunaan otak tegah

AKTIVASI otak tengah adalah fenomena baru di Indonesia. Kurang lebih enam bulan lalu, aktivasi otak tengah untuk anak usia lima hingga lima belas tahun mulai meramaikan workshop edukasi dan perkembangan otak anak. Inikah cara instan menjadikan anak Anda genius dan “hebat”?

Di Malaysia, otak tengah dikenal sejak lima tahun lalu. Bahkan oleh pemerintah Malaysia, aktivasi otak tengah langsung direspons positif, terkait pengembangan pendidikan anak-anak. Sedangkan di Indonesia, aktivasi otak tengah dikenalkan David Ting dari negeri jiran.

Sementara di Jepang, sudah lebih dari 40 tahun silam aktivasi otak tengah telah teruji dan terbukti. Namun, Negeri Sakura itu tidak membuka rahasia teknik aktivasi ke publik di luar Jepang.

Pembedaan adanya otak kiri dan otak kanan umum kita kenal. Otak kiri dikenal berperan pada logika, pembelajaran bahasa, angka, tulisan, dan hitungan. Sedangkan otak kanan berperan pada daya kreativitas, imajinasi, dan lainnya. Nah, otak tengah (mesencephalon) berfungsi sebagai jembatan penghubung antara otak kanan dan otak kiri. Selain itu, otak tengah berfungsi sebagai keseimbangan.

Otak tengah juga diyakini sebagai perkembangan pertama dalam pertumbuhan janin. Otak tengah adalah bagian terkecil dari otak yang berfungsi seperti stasiun relai untuk informasi pendengaran dan penglihatan. Otak tengah juga berperan untuk meningkatkan kemampuan mengasihi orang lain.

Otak tengah tidak saja bisa diaktifkan secara “manual”, tapi juga aktif secara alami. Orang-orang yang otak tengahnya aktif secara alami biasanya disebut orang-orang dengan kemampuan luar biasa. Misalnya, tunalnetra yang bisa “melihat” dimungkinkan otak tengahnya aktif secara alami.

Otak tengah sudah lama masuk ranah penelitian medis kedokteran. Penelitian otak tengah berhubungan dengan frekuensi gelombang otak (alpha hingga tetha) yang dikenal bisa mengondisi tubuh manusia menjadi rileks dan nyaman.

Sesuai penamaan, otak tengah terletak di posisi tengah di antara otak kiri dan kanan. Otak tengah mendominasi perkembangan otak secara keseluruhan. Di dalam kandungan, ukuran otak tengah, jika dibandingkan dengan bagian otak lain, paling dominan. Bahkan, bayi dalam kandungan diduga dapat melihat keluar rahim ibunya lewat perantara otak tengah (hlm 79-80).

Metode mengaktifkan otak tengah oleh GMC (Genius Mind Consultancy) itu dilakukan dengan komputerisasi, bermain, dan mendengarkan suara. Penulis buku ini meyakini keberhasilan pengaktifannya hingga 90 persen.

Dalam buku ini, Hartono menyebutkan, bila otak tengah telah diaktifkan, daya konsentrasi akan meningkat, kemampuan fisik dalam olahraga akan berkembang, otak kanan dan kiri lebih seimbang, ada keseimbangan hormon, serta daya intuisi meningkat. Terkait mental anak, manfaat secara umum otak tengah, anak yang hiperaktif bisa duduk dengan tenang. Anak yang diam menjadi lebih aktif.

Efek-efek yang ditimbulkan setelah otak tengah diaktifkan bermacam-macam dan masing-masing anak tidak dapat disamakan. Misalnya, ada yang dominan dengan intuisinya, seperti bisa memprediksi kejadian masa mendatang, membaca warna dengan mata tertutup, dan sebagainya.

Ada efek “ajaib” yang ditimbulkan setelah otak tengah anak diaktifkan. Salah satunya bisa mendeteksi penyakit, menerima sinyal firasat, menebak kartu, mewarnai tanpa melihat, dan lainnya. Namun, efek di sini tidak dimaksudkan untuk mengarahkan anak menjadi pesulap atau cenayang. Sekali lagi metode tutup mata dimaksudkan untuk melatih otak tengah yang telah diaktifkan agar tidak tertidur lagi.

Hanya, mengapa otak tengah tidak diaktifkan saat usia anak 0 hingga 5 tahun atau di atas usia 15 tahun, tidak dijelaskan secara rinci. Hartono (penulis buku ini) mengatakan bahwa sangat mungkin setelah usia 15 tahun, otak tengah akan sulit diaktifkan.

Dalam buku ini juga tidak dipaparkan bagaimana cara mengaktifkan otak tengah secara khusus dan detail untuk mendapatkan gambaran yang terang. Untuk menutupi kekurangan itu, Hartono coba menunjukkan secara audiovisual lewat video penyerta dan alamat-alamat website pendukung informasi otak tengah. Dalam video tersebut, didokumentasikan demo anak-anak yang telah diaktifkan otak tengahnya. Selain itu, video penyerta berisi wawancara dan testimoni dari orang tua yang otak tengah anak-anaknya diaktifkan.

Informasi dalam buku ini menambah terobosan baru yang bersinggungan dengan dunia edukasi dan perkembangan kecerdasan anak. Namun, biaya aktivasi otak tengah yang relatif mahal bisa menjadi kendala di kalangan masyarakat menengah-bawah. Nah, semestinya, hasil penelitian yang sudah teruji dan terbukti itu direspons pemerintah, baik melalui departemen pendidikan nasional maupun dinas kesehatan.

Selasa, 01 Oktober 2013

pengertian metode kontekstual

PENGERTIAN METODE KONTEKSTUAL
Metode  kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari (Depdiknas, 2002:5). Dari batasan di atas, dapat ditarik dua hal pokok, yakni mengenai peran guru dan peran siswa dalam pembelajaran.
Dalam pembelajaran kontekstual, siswa harus meyakini bahwa yang mereka pelajari itu berguna sebagai bekal hidup mereka. Sekaitan dengan itu, di sisi lain, guru harus menjadi fasilitator yang membimbing siswa untuk dapat menemukan sendiri hal-hal yang seharusnya mereka temukan. Dalam pembelajaran kontekstual, siswa harus memposisikan diri sebagai diri sendiri yang sedang mencari bekal untuk hidupnya nanti. Dalam upaya itu, guru berperan sebagai pengarah dan pembimbing.
Dalam pembelajaran kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Oleh karena itu, tugas guru lebih berkaitan dengan perancangan strategi pembelajaran, bukan sekadar pemberi informasi mengenai materi pembelajaran. Guru secara profesional bertugas membimbimbing siswa untuk belajar sendiri, menemukan, dan memperoleh kometensi-kompetensi baru yang berguna bagi kehidupan mereka.

KOMPONEN PENDEKATAN KONTEKSTUAL
Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme (Contructivism), menemukan (Inquiry) bertanya (Questioning), masyarakar-belajar (Learning Community), permodelan (Modeling), refleksi (Reflection) dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assesment). Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan CTL jika menerapkan ketujuh komponen tersebut dalam pembelajarannya.
a. Konstruktivisme (Constructivism)
Konstruktivisme lahir dari gagasan Jean Piaget dan Vigotsky. Hakikat dari teori konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menjadikan hal-hal yang dielajari itu menjadi miliknya sendiri. Dalam hal ini, tugas guru tidak semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi membimbing mereka untuk belajar sendiri bahkan dengan menggunakan strategi mereka sendiri. Guru harus membimbing siswa membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri sehingga apa yang dielajarinya itu menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi kehidupan mereka Ada beberapa prinsip konstruktivisme yang penting dicatat sebagai berikut. (1) Pengetahuan dan keterampilan dibangun oleh siswa secara aktif. (2) Pusat aktivitas pembelajaranterletak pada siswa, partisipasi siswa dalam pembelajaran dinomorsatukan. (3) Tugas guru adalah membantu siswa belajar, guru adalah fasilitator.
Sesuai dengan teori konstruktivisme yang menjadi landasan CTL, guru harus meyakinkan siswa bahwa mereka akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya. Dengan demikian, prosedur inkuiri relevan untuk digunakan dalam pembelajaran kontekstual.

b. Menemukan (Inquiry)
Proses menemukan merupakan kegiatan inti dari pembelajaran kontekstual. Pengeatahuan dan keteramilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil proses mengingat materi yang disajikan guru, melainkan hasil dari menemukan sendiri fakta-fakata yang dipelajari. Guru harus selalu merancang kegiatan inkuiri ini dalam setiap pembelajaran yang dikelolanya. Kegiatan inkuiri yang harus dirancang guru meliputi: observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hiphotesis), pengumpulan data (data gathering), penyimpulan (conclussion). Kata kunci strategi inkuiri adalah ’siswa menemukan sendiri’. Untuk menumbuhkan semangat siswa untuk melakukan kegiatan menemukan sediri tersebut, maka guru harus senantiasa mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.

c. Bertanya (Questioning)
Pengetahuan dan keterampilan yang berkesan pada diri siswa adalah pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dengan dorongan perasaan ingin tahu. Perasaan ingin tahu ini yang mendorong siswa untuk bertanya. Guru harus selalu menciptakan strategi yang daat membangkitkan rasa ingin tahu siswa dan mendorong siswa untuk bertanya dan bertanya tentang apa yang dia inginkan untuk diketahui. Kegiatan bertanya dapat muncul dalam kelompok belajar yang partisipatif. Oleh karena itu, guru sebaiknya menciptakan masyarakat belajar (learning community) di dalam kelas yang dikelolanya.

d. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Masyarakat belajar dapat terjadi apabila terjadi komunikasi dua arah. Seorang guru yang menjelaskan sebuah topik kepada para siswa bukanlah contoh masyarakat belajar. Dalam masyarakat belajar, siswa saling belajar satu sama lain. Dalam masyarakat belajar, siswa bertanya dan siswa lain menjawab, mereka saling bertukar pikiran, bertukar pendapat, dan bertukar pengalaman. Dalam pembelajaran seperti ini, tugas guru tidak sekadar menjelaskan sesuatu dan menjawab pertanyaan siswa. Tuas guru adalah mengelola kelas agat antara siswa dan guru, antara siswa dan siswa lain terjadi saling bertanya, saling menjawab, saling bertukar pikiran, bertukar gagasan , dan saling bertukar pengalaman.
Ketika seorang siswa tampil menyajikan hasil diskusi atau hasil kerjanya, siswa lain memperhatikan, mempelajarinya, dan membandingkannya dengan apa yang telah mereka peroleh atau yang telah mereka kerjakan. Penyajian hasil kerja seorang siswa atau sebuah kelompok dapat menjadi model bagi siswa atau kelompok yang lainnya.

e. Pemodelan (Modeling)
Ketika seorang guru atau salah seorang siswa membacakan puisi di muka kelas, ia menjadi model bagi para siswa. Model dapat didatangkan dari kelas lain atau dari luar sekolah. Guru dapat menghadirkan juara baca puisi atau penyair untuk membacakan puisi di muka kelas. Model dapat juga berupa rekaman audio atau audio visual. Pemodelan ini, terutama dalam pembelajaran sastra, jangan membuat proses pembelajaran menjadi terjebak pada roses peniruan tanpa proses internalisasi. Misalnya, siswa siswa meniru intonasi, suara, mimik. gerak model yang ditampilkan. Oleh karena itu, setiap penampilan model harus dibahas di dalam kelompok atau secara klasikal oleh para siswa agar siswa melakukan internalisasi dan mereka benar-benar menjadi subjek yang aktif dan kreatif.

f. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah sebuah proses perenungan yang dilakukan oleh mengenai pengetahuan dan keterampilan yang baru saja dipelajarinya dan yang sudah menjadi miliknya. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai bangunan pengetahuan dan keterampilan baru yang mengukuhkan, memperkaya, atau merevisi apa yang telah menjadi miliknya. Pada proses refleksi ini siswa bisa saja menghubungkan materi baru dielajarinya dengan kehidupan. Ia menimbang-nimbang tentang manfaatnya serta kedudukannya dalam bangunan cita-cita hidupnya di masa yang akan datang. Misalnya, siswa merenung: “Oh, selama ini saya keliru dalam membaca puisi. Saya tidak berusaha memahami dulu puisi yang hendak dibaca. Saya hanya meniru saja apa yang dilakukan teman-teman sewaktu membaca”. Guru bertugas merancang roses refleksi ini dengan sebaik-baiknya sehingga bagian ini terasa oleh siswa sebagai kegiatan yang menyenangkan dan sekaligus bermanfaat.
g. Penilaian Otentik (Authentic Assessment)
Penilaian merupakan proses pengumpulan berbagai data yang dapat memberikan gambaran tentang perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa dipastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang terkumpul mengisyaratkan bahwa siswa mengalami kendala dalam belajar, maka guru segera bisa mengambil langkah yang tepat agar siswa mengatasi kendala tersebut. Karena assesment memberikan tekanan pada proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Guru yang ingin mengetahui perkembangan belajar bahasa Indonesia para siswanya harus mengumpulkan data dari kegiatan nyata saat para siswa berbahasa Indonesia, bukan pada saat para siswa mengerjakan tes bahasa Indonesia. Data yang diambil dari kegiatan siswa saat siswa melakukan kegiatan berbahasa Indonesia itulah yang disebut data autentik.
Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Kontekstual
Kelebihan
Dalam pendekatan kontekstual siswa akan lebih percaya diri dalam mengungkapkan apa yang mereka lihat dan apa yang mereka alami dalam kehidupan nyata, dan membuat mereka siap menghadapi masalah-masalah yang biasa muncul dalam kehidupan sehari-hari. Serta lebih menyenangkan karena siswa tidak jenuh dengan pembelajaran yang monoton di dalam kelas. Selain itu dengan pembelajaran dengan konteks alam membuat siswa akan lebih mencintai lingkungan dan menjaga kelestarian lingkungan yang ada disekitarnya dan lebih peka terhadap alam. Dilain pihak guru lebih berperan dalam menentukan tema pembelajaran yang akan dilangsungkan.
Contohnnya dalam pembelajaran ipa kelas awal. Terdapat materi mengenal lingkungan sehat dan tidak sehat. Siswa dapat dibawa ke lingkungan sekitar sekolah secara langsung. Bagaimana lingkungan yang bersih menjamin kesehatan. Dan lingkungan yang kumuh dapat menyebabkan penyakit. Mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang berbahaya.


Kekurangan
Terdapat beberapa kekurangan dalam pendekatan kontekstual salah satunya ialah waktu yang digunakan kurang efisien karena membutuhkan waktu yang cukup untuk mengaitkan tema dengan materi. Dan bila diterapkan pada kelas kecil seperti siswa kelas 1 dan 2. Guru kesulitan dalam menciptakan kelas yang kondusif. Menurut kami pada siswa kelas awal jika diajak pembelajaran di luar kelas siswa akan sulit diatur, dan membutuhkan pengawasan ekstra karena pada umumnya siswa memiliki keingintahuan yang sangat besar.
Contoh beberapa kekurangan dari pendekatan kontekstual adalah mahalnya fasilitas yang akan digunakan dalam membahas materi lagi pula sebagian materi pada sd kelas tinggi tidak mungkin disampaikan secara kontekstual. Seperti masalah reproduksi dalam IPA.
Ciri Umum Model Kontekstua.
Model pembelajaran kontekstual merupakan rancangan pembelajaran yang dibangun atas dasar asumsi. Cara yang terbaik adalah siswa mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya. Karena kebiasaan guru “akting di panggung dan siswa menonton” harus dirumah menjadi “siswa aktif bekerja dan belajar di panggung, sedangkan guru membimbingnya dari dekat”.


etode kontektual 1

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam CTL, yaitu:
1. Belajar bukanlah menghapal, akan tetapi proses mengkontruksi pengetahuan sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki
2. Belajar bukan sekedar mengumnpulkan fakta yang lepas-lepas
3. Belajar adalah proses pemecahan masalah
4. Belajar adalah proses pengalaman sendiri yang berkembang dari yang sederhana menuju yang kompleks
5. Belajar pada hakikatnya adalah menangkap pengetahuan dari kenyataan.
B. Konsep Dasar Metode Pembelajaran Kontekstual
Kontekstual adalah salah satu prinsip pembelajaran yang memungkinkan siswa belajar dengan penuh makna. Dengan memperhatikan prinsip kontekstual, proses pembelajaran diharapkan mendorong siswa untuk menyadari dan menggunakan pemahamannya untuk mengembangkan diri dan menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip kontekstual sangat penting untuk segala situasi belajar. Ada sembilan konteks belajar yang melingkupi siswa, yaitu:

1. Konteks tujuan ( Tujuan apa yang akan dicapai ? )
2. Konteks isi ( Materi apa yang akan diajarkan ? )
3. Konteks sumber ( Sumber belajar bagaimana yang bisa dimanfaatkan ? )
4. Konteks target siswa ( Siapa yang akan belajar ? )
5. Konteks guru ( Siapa yang akan mengajar ? )
6. Konteks metode ( Strategi belajar apa yang cocok diterapkan ? )
7. Konteks hasil ( Bagaimana hasil pembelajaran yang akan diukur?)
8. Konteks kematangan ( Apakah siswa telah siap dengan hadirnya sebuah konsep atau pengetahuan baru?)
9. Konteks lingkungan ( Dalam lingkungan yang bagaimanakah siswa belajar ? ).

Contextual teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.

Ada tiga hal yang harus dipahami. Pertama CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, kedua CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, ketiga mendorong siswa untuk dapat menerapkan dalam kehidupan.

Terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL:
1. Pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge)
2. Pembelajaran untuk memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge)
3. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge)
4. Mempraktikan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge)
5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge)

C. Indikator Pembelajaran Kontekstual

1. Konstruktivisme (Constructivism)
Menekankan bahwa pembelajaran tidak semata sekedar menghafal, mengingat pengetahuan. Akan tetapi merupakan suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental. Membangun pengetahuannya, yang didasari oleh struktur pengetahuan yang dimilikinya.

2. Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan bagian inti dari aktivitas pembelajaran berbasis kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa bukan dari hasil mengingat fakta-fakta melainkan dari hasil menemukan sendiri. Kegiatan menemukan (inquiry) merupakan sebuah siklus yang terdiri dari observasi(observation), bertanya (questioning), Mengajukan dugaan (hiphotesis), pengumpulan data (data gathering), dan penyimpulan (conclusion).

3. Bertanya (Questioning)
Bertanya adalah strategi utama pembelajaran berbasis kontekstual, yang bermanfaat untuk:
• Menggali informasi
• Menggali pemahaman siswa
• Membangkitkan daya respon siswa
• Mengetahui sampai sejauh mana keinginan dan minat siswa
• Memfokuskan perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru
• Membangkitkan lebih luas lagi pertanyaan dari siswa, dalam rangka menyegarkan kembali pengetahuan siswa.

4. Masyarakat belajar (Learning Community)
Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran didapat dari hasil kerja sama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari “sharing” antar teman, antar kelompok, dan antar yang tahu ke yang belum tahu. Masyarakat belajar akan berjalan baik jika terjadi komunikasi dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat aktif dalam komunikasi pembelajaran saling belajar.

5. Pemodelan (Modeling)
Membahasakan yang ada dalam pemikiran adalah salah satu bentuk dari pemodelan. Jelasnya pemodelan adalah membahasakan yang dipikirkan, memdemonstrasi bagaimana guru menghendaki siswanya untuk belajar dan melakukan sesuatu. Dalam pembelajaran kontekstual, Guru bukan satu-satunya model. Model bisa dirancang dengan melibatkan siswa atau bisa juga mendatangkan dari luar.

6. Refleksi (Reflection)
Refleksi merupakan cara berpikir atu merespon tentang apa yang baru dipelajari. Berpikir ke belakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Pengejawantahannya dalam pembelajaran adalah guru menyiapkan waktu sejenak agar siswa dapat melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang apa yang sudah diperoleh pada hari itu.

7. Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment)
Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa member gambaran mengenai perkembangan belajar siswa. Dalam pembelajaran berbasis CTL, gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui guru, agar siswa dapat memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran yang benar. Fokus penilaian adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual. Evaluasi dilakukan terhadap proses maupun hasil.

D. Bentuk Pembelajaran dalam Metode Kontekstual

1. Mengaitkan (Relating)
Dalam hal ini guru menggunakan strategi relating apabila ia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang sudah dikenal siswa. Jelasnya, mengkaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan informasi baru.

2. Mengalami (Experiencing)
Merupakan inti pembelajaran kontekstual dimana mengkaitkan berarti menghubungkan informasi baru dengan pengalaman maupun pengetahuan informasi baru dengan pengalaman sebelumnya. Pembelajaran bisa terjadi dengan lebih cepat ketika siswa memanfaatkan (memanipulasi) peralatan dan bahan serta melakukan bentuk-bentuk penelitian yang aktif.

3. Menerapkan (Applying)
Ketika siswa menerapkan konsep dalam aktivitas belajar memecahkan masalahnya, guru dapat memotivasi siswa dengan memberikan latihan yang realistik dan relevan.

4. Kerja sama (Cooperating)
Siswa yang bekerja sama secara kelompok biasanya mudah mengatasi masalah yang komplek dengan sedikit bantuan ketimbang siswa yang bekerja secara individual. Pengalaman bekerja sama tidak hanya membantu siswa mempelajari bahan pembelajaran tetapi konsisten dengan dunia nyata.

5. Mentransfer (Transferring)
Fungsi dan peran guru dalam konteks ini adalah menciptakan bermacam-macam pengalaman belajar dengan fokus pada pemahaman bukan hapalan.

D. Kelebihan dan Kelemahan

Suatu metode pembelajaran mempunyai kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Demikian pula dengan metode pembelajaran kontekstual.

1. Kelebihan:
• Peserta didik mampu menghubungkan teori dengan kondisi di lapangan yang sebenarnya.
• Peserta didik dilatih agar tidak tergantung pada menghapal materi
• Melatih peserta didik untuk berpikir kritis dalam meghapdapi suatu permasalahan
• Melatih peserta didik untuk berani menyampaikan argumen, bertanya, serta menyampaikan hasil pemikiran
• Melatih kecakapan interpersonal untuk berhubungan dengan orang lain.

2. Kelemahan:
• Membutuhkan waktu lama dalam pelaksanaannya
• Membutuhkan banyak biaya

E. Kriteria Pembelajaran Metode Kontekstual/CTL
1. Siswa sebagai subjek belajar
2. Siswa belajar melalui kegiatan kelompok
3. Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata
4. Kemampuan didasarkan atas pengalaman
5. Tujuan akhir kepuasan diri
6. Prilaku dibangun atas kesadaran
7. Pengetahuan yang dimiliki individu berkembang sesuai dengan pengalaman yang dialaminya
8. Siswa bertanggungjawab dalam memonitor dan mengembangkan pembelajaran
9. Pembelajaran bisa terjadi dimana saja
10. Keberhasilan pembelajaran dapat diukur dengan berbagai cara.

II. ISI

A. Topik/Materi Pembelajaran
Sebelum memulai proses belajar mengajar, hendaknya guru telah menentukan materi yang akan diajarkan terlebih dahulu. Disini bisa dimisalkan dengan meggunakan materi, “Kewirausahaan”.

B. Langkah-langkah Pengaplikasian Pembelajaran Metode Kontekstual

1. Pembelajaran berbasis masalah
Sebelum memulai proses belajar mengajar, hendaknya Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menganalisis mengenai “Apa itu wirausaha? ” yang kemudian merangsang siswa untuk mengungkapkan argumennya masing-masing, yang kemudian dilanjutkan dengan argumen dari guru itu sendiri.
Selanjutnya, tugas guru adalah merangsang siswa untuk berpikir lebih kritis dalam pemecahan masalah yaitu dengan memberikan beberapa pertanyaan yang lebih luas mengenai ‘Kewirausahaan’, misalnya pertanyaan:
• Apa peranan wirausaha dalam perekonomian?
• Apa saja ciri-ciri wirausaha!
• Apa saja syarat-syarat untuk menjadi wirausahawan?
• Apa saja bidang usaha yang terdapat dalam wirausaha?
Hal tersebut ditujukan agar siswa mampu bertukar pendapat dengan teman, mau bertanya, membuktikan asumsi dan saling mendengarkan perspektif yang berbeda-beda hingga bisa memperoleh suatu kesimpulan sebelum bertanya kepada guru.
Dengan demikian secara teori, materi ‘kewirausahaan’ bisa dibahas bersama antara guru dengan peserta didik. Hal tersebut bertujuan untuk membangun interaksi dan pemecahan masalah bersama.

2. Pemanfaatan lingkungan dan memberikan aktivitas kelompok
Kegiatan secara berkelompok bisa memperluas perspektif dan membangun kecakapan interpersonal untuk berhubungan dengan orang lain. Di sini guru bisa memberikan penugasan yang dapat dilakukan di berbagai konteks lingkungan yang sekiranya berhubungan dengan konteks ‘kewirausahaan’:
• Lingkup usaha formal : PT, CV, Firma, Koperasi, dll.
• Lingkup usaha informal : Pedagang kelontong, Pedagang kaki lima, dll.
Penugasan ini memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk belajar di luar kelas. Misalnya, penugasan untuk melakukan wawancara di lingkungan yang telah ditetapkan untuk masing-masing kelompok. Wawancara tersebut bisa dilakukan dengan penentuan topik pertanyaan yang sudah disusun terlebih dahulu, misalnya:
• Apa saja syarat yang mendukung/menjamin berdirinya badan usaha yang didirikan itu (jika ada)?
• Apa kelebihan dan kekurangan setelah menjalani usaha tersebut?
• Laporan keuangan apa saja yang dibutuhkan (jika ada)?
• dll. (ditujukan agar siswa mampu membuat pertanyaan sekreatif mungkin untuk dapat menjawab pertanyaan yang ingin mereka ketahui)
Dengan demikian diharapkan agar peserta didik memperoleh pengalaman langsung tentang apa yang sedang dipelajari. Karena pengalaman belajar merupakan aktivitas belajar yang harus dilakukan siswa dalam rangka mencapai penguasaan standar kompetensi, kemampuan dasar dan materi pembelajaran.

3. Membuat aktivitas belajar mandiri
Setelah melakukan kegiatan di lingkungan nyata, maka bisa diberikan tugas secara individu untuk merefleksikan hasil dari kegiatan wawancara. Misalnya siswa diberi penugasan untuk membuat kesimpulan dan menyusun jawaban atas pertanyaan yang sudah diberikan sebelumnya mengenai ‘kewirausahaan’, sekreatif mungkin ke dalam bentuk bagan.
Contoh:
PT (Perseroan Terbatas)
Struktur organisasi
Syarat-syarat pendirian
Ciri-ciri badan usaha
Laporan keuangan yang dibutuhkan
dst.

Peserta didik tersebut diharapkan mampu mencari, menganalisis dan menggunakan informasi dengan sedikit atau bahkan tanpa bantuan guru. Supaya dapat melakukannya, siswa harus lebih memperhatikan bagaimana mereka memproses informasi, menerapkan strategi pemecahan masalah, dan menggunakan pengetahuan yang telah mereka peroleh. Pengalaman pembelajaran kontekstual harus mengikuti uji-coba terlebih dahulu, menyediakan waktu yang cukup, dan menyusun refleksi, serta berusaha tanpa meminta bantuan guru supaya dapat melakukan proses pembelajaran secara mandiri (independent learning).

4. Membuat aktivitas belajar bekerja sama dengan masyarakat
Untuk lebih mematangkan pengetahuan peserta didik, bisa juga ditambahkan dengan penugasan untuk turun ke lapangan untuk merasakan magang pada sektor usaha yang sudah ditentukan oleh guru.
Sekolah dapat melakukan kerja sama dengan orang tua siswa yang memiliki keahlian khusus untuk menjadi guru tamu. Hal ini perlu dilakukan guna memberikan pengalaman belajar secara langsung dimana siswa dapat termotivasi untuk mengajukan pertanyaan. Selain itu, kerja sama juga dapat dilakukan dengan institusi atau perusahaan tertentu untuk memberikan pengalaman kerja. Misalnya meminta siswa untuk magang di tempat kerja.

III. PENUTUP
Evaluasi Pembelajaran
Dalam pembelajaran kontekstual, penilaian autentik dapat membantu siswa untuk menerapkan informasi akademik dan kecakapan yang telah diperoleh pada situasi nyata untuk tujuan tertentu. Menurut Johnson (2002: 165), penilaian autentik memberikan kesempatan luas bagi siswa untuk menunjukkan apa yang telah mereka pelajari selama proses belajar-mengajar. Adapun bentuk-bentuk penilaian yang dapat digunakan oleh guru adalah portfolio, tugas kelompok, demonstrasi, dan laporan tertulis.
Sebagai bekal evaluasi, guru harus mampu mengukur dan menilai kemampuan peserta didik atas pembelajaran materi yang telah dilakukan. Kriteria penilaian yang digunakan bisa bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Berdasarkan contoh aplikasi pembelajaran dengan menggunakan metode kontekstual di atas, maka bisa diterapkan penilaian autentik, diantaranya adalah:

• Penilaian Demonstrasi
Penilaian ini bisa dilaksanakan dengan cara mempresentasikan hasil diskusi masing-masing kelompok di depan peserta didik yang lain. Hal tersebut bertujuan untuk mengukur sejauh mana siswa menguasai materi yang telah dipelajari berdasarkan hasil pengamatan ke lapangan secara langsung, melatih siswa untuk berani berasumsi dan mampu mengaitkan materi/teori dengan kondisi di lapangan. Dengan adanya diskusi, bisa merangsang siswa untuk mampu saling aktif bertanya dan menanggapi permasalahan.

• Penilaian Laporan Tertulis
Untuk lebih mematangkan seberapa jauh kemampuan peserta didik dalam menguasai materi, dapat juga dilakukan penilaian laporan tertulis berupa essay singkat atau bisa juga dengan ‘pop quiz’ yang berhubungan dengan materi yang sedang di bahas.

Menurut Brooks&Brooks dalam Johnson (2002: 172), bentuk penilaian seperti ini lebih baik dari pada menghafalkan teks, siswa dituntut untuk menggunakan keterampilan berpikir yang lebih tinggi agar dapat membantu memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Contextual Teaching & Learning (CTL) dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkahnya sebagai berikut ini. 

Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.
Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik.
kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
Ciptakan masyarakat belajar.
Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran.
Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
Dalam menerapkan pembelajaran kontekstual di kelas, seorang guru harus memerhatikan tujuh komponen CTL sebagai berikut:

1.  Konstruktivisme
Membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal.
Pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan.

2.  Inquiry
Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman.
Siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis.

3.  Questioning (Bertanya)
Kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa.
Bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry.

4.  Learning Community (Masyarakat Belajar)
Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar.
Bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri.
Tukar pengalaman.
Berbagi ide.

5.  Modeling (Pemodelan)
Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan belajar.
Mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa mengerjakannya.

6.  Reflection (Refleksi)
Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari.
Mencatat apa yang telah dipelajari.
Membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok

7.  Authentic Assessment (Penilaian yang Sebenarnya)
Mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa.
Penilaian produk (kinerja).
Tugas-tugas yang relevan dan kontekstual.


harap lebih teliti dalam pembacaanya!!!!

pengertian belajar dan pembelajaran kontektual


Hakikat Blajar
Hakikat belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya
FAKTOR-FAKTOR HAKIKAT BELAJAR
Faktor-faktor belajar yang dipandang dari segi Faktor Psikologis seseorang yaitu:
1.Kecerdasan dan bakat
 Pembelajaran merupakan proses membantu individu mencapai pengkembangan optimal dari kecerdasan yang dimiliki. Kecerdasan seseorang sangat bervariasi walau umur yang sama. Untuk itu guru harus memperhatikan hal ini.
      Perlu diketahui bahwa kecerdasan seseorang sebenarnya telah terbentuk sampai 50% pada saat usia 4 tahun, dan terbentuk sampai 80% diperoleh saat usia kurang lebih 8 tahun. Sedangkan 20% sisanya masih dapat terbentuk sampai usia kurang lebih 20 tahun. Dan titik optimal adalah pada usia 20 sampai 30 tahun. Usia 30-60 tahun mengalami penurunan.
       Berdasarkan hal tersebut sebenarnya pada saat guru mengajarkan siswa SMU tingkat kacerdasan mereka sudah terbentuk. Pembelajaran hanya mengoptimalkan kemampuan, dan tidak diperkenankan memaksakan kehendak untuk menjadikan anak melebihi kapasitas tingkat kecerdasannya.
2. Motivasi
    Seseorang akan terdorong untuk belajar apabila ada motivasi tertentu. Motivasi biasanya terkait erat dengan adanya suatu kebutuhan. Untuk itu untuk menimbulkan motivasi belajar siswa.Hal ini disebabkan karena motivasi mempunyai fungsi yang cukup besar dalam belajar, yaitu mendorong manusia untuk berbuat, menentukan arah perbuatan, dan menyeleksi perbuatan.
3.Perhatian
     Perhatian dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
    Perhatian disengaja: perhatian yang timbul karena keharusan untuk memperhatikan. Perhatian jenis ini biasanya untuk dapat berhasil, karena siswa merasa ada pemaksaan. Hanya saja diharapkan guru dapat mengkondisikan perhatian ini untuk menjadikan siswa tidak terpaksa.
Perhatian spontan: Suatu perhatian di mana orang akan tertarik untuk melihat atau mendengarkan sesuatu atas kemauannya sendiri. Perhatian ini hasilnya dapat bertahan lama. Guru diharapkan dapat memotivasi siswa yang awalnya menggunakan perhatian yang disengaja menjadi perhatian spontan.
    
  Perhatian memusat: Perhatian pada satu objek tertentu. Hal ini dilakukan untuk memperhatikan objek yang harus diperhatikan adalah menuntut ketelitian.
4.Ingatan
    Yaitu penyampaian kesan-kesan tanpa disadari. Kesan yang tersimpan tersebut dapat disadarkan kembali bila keadaan meminta/diperlukan. Daya ingat seseorang terbatas, sehingga banyak yang pernah diingat akan lupa. Cara untuk menjadikan daya ingat tahan lama adalah dengan mengulang-ulang.
}  Perubahan tertentu dari belajar
a.       Perubahan yang terjadi secara sadar
            Individu yang belajar akan menyadari terjadinya perubahan itu atau sekurang-kurangnya individu merasakan  telah terjadi adanya suatu perubahan dalam dirinya.
Misalnya :  Ia menyadari bahwa pengetahuanya bertambah, kecakapanya bertambah, kebiasaanya bertambah.
Jadi perubahan yang terjadi karena mabuk atau dalam keadaan yang tidak sadar, tidak termasuk kategori perubahan dalam pengertian belajar. Karena individu tidak menyadari akan perubahan itu.
b.      Perubahan dalam belajar bersifat fungsional
            Sebagai hasil belajar, perubahan yang terjadi dalam diri individu berlangsung terus menerus dan tidak statis. Suatu perubahan yang terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya.
Misalnya : Jika seorang anak belajar menulis, maka ia akan mengalami perubahan dari tidak menulis menjadi dapat menulis.
c.       Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif
            Dalam perbuatan belajar, mengajar, perubahan-perubahan itu selalu bertambah dan tertuju untuk memperoleh  suatu yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian makin banyak usaha belajar yang dilakukan, maka makin banyak dan makin baik perubahan yang diperoleh. Perubahan yang bersifat aktif artinya perubahan itu terjadi tidak dengan sendirinya.
Misalnya : perubahan tingkah laku karena proses kematangan yang terjadi dengan sendirinya karena dorongan dari dalam
d.      Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara
            Perubahan yang bersifat sementara (temporer) yang terjadi hanya beberapa saat saja, seperti berkeringat, keluar air mata menangis, dan sebagainya tidak dapat digolongkan sebagai perubahan dalam pengertian belajar. Perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat menetap atau permanent.
Misalnya : seorang anak dalam memainkan piano setelah belajar tidak akan hilang, melainkan akan terus dimiliki dan makin berkembang.
e.       Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah
            Perubahan tingkah laku terjadi karena ada tujuan yang akan dicapai. Perubahan belajar terarah pada tingkah laku yang benar-benar disadari.
f.       Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku
            Perubahan yang diperoleh individu melalui suatu proses belajar meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku. Jika seseorang belajar sesuatu, sebagai hasilnya ia mengalami perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap kebiasaan, ketrampilan, pengetahuan, dan sebagainya.












PENGERTIAN METODE KONTEKSTUAL
Metode  kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari (Depdiknas, 2002:5). Dari batasan di atas, dapat ditarik dua hal pokok, yakni mengenai peran guru dan peran siswa dalam pembelajaran.
Dalam pembelajaran kontekstual, siswa harus meyakini bahwa yang mereka pelajari itu berguna sebagai bekal hidup mereka. Sekaitan dengan itu, di sisi lain, guru harus menjadi fasilitator yang membimbing siswa untuk dapat menemukan sendiri hal-hal yang seharusnya mereka temukan. Dalam pembelajaran kontekstual, siswa harus memposisikan diri sebagai diri sendiri yang sedang mencari bekal untuk hidupnya nanti. Dalam upaya itu, guru berperan sebagai pengarah dan pembimbing.
Dalam pembelajaran kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Oleh karena itu, tugas guru lebih berkaitan dengan perancangan strategi pembelajaran, bukan sekadar pemberi informasi mengenai materi pembelajaran. Guru secara profesional bertugas membimbimbing siswa untuk belajar sendiri, menemukan, dan memperoleh kometensi-kompetensi baru yang berguna bagi kehidupan mereka.
KOMPONEN PENDEKATAN KONTEKSTUAL
Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme (Contructivism), menemukan (Inquiry) bertanya (Questioning), masyarakar-belajar (Learning Community), permodelan (Modeling), refleksi (Reflection) dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assesment). Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan CTL jika menerapkan ketujuh komponen tersebut dalam pembelajarannya.
a. Konstruktivisme (Constructivism)
Konstruktivisme lahir dari gagasan Jean Piaget dan Vigotsky. Hakikat dari teori konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menjadikan hal-hal yang dielajari itu menjadi miliknya sendiri. Dalam hal ini, tugas guru tidak semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi membimbing mereka untuk belajar sendiri bahkan dengan menggunakan strategi mereka sendiri. Guru harus membimbing siswa membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri sehingga apa yang dielajarinya itu menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi kehidupan mereka Ada beberapa prinsip konstruktivisme yang penting dicatat sebagai berikut. (1) Pengetahuan dan keterampilan dibangun oleh siswa secara aktif. (2) Pusat aktivitas pembelajaran terletak pada siswa, partisipasi siswa dalam pembelajaran dinomorsatukan. (3) Tugas guru adalah membantu siswa belajar, guru adalah fasilitator.
Sesuai dengan teori konstruktivisme yang menjadi landasan CTL, guru harus meyakinkan siswa bahwa mereka akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya. Dengan demikian, prosedur inkuiri relevan untuk digunakan dalam pembelajaran kontekstual.

b. Menemukan (Inquiry)
Proses menemukan merupakan kegiatan inti dari pembelajaran kontekstual. Pengeatahuan dan keteramilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil proses mengingat materi yang disajikan guru, melainkan hasil dari menemukan sendiri fakta-fakata yang dipelajari. Guru harus selalu merancang kegiatan inkuiri ini dalam setiap pembelajaran yang dikelolanya. Kegiatan inkuiri yang harus dirancang guru meliputi: observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hiphotesis), pengumpulan data (data gathering), penyimpulan (conclussion). Kata kunci strategi inkuiri adalah ’siswa menemukan sendiri’. Untuk menumbuhkan semangat siswa untuk melakukan kegiatan menemukan sediri tersebut, maka guru harus senantiasa mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
c. Bertanya (Questioning)
Pengetahuan dan keterampilan yang berkesan pada diri siswa adalah pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dengan dorongan perasaan ingin tahu. Perasaan ingin tahu ini yang mendorong siswa untuk bertanya. Guru harus selalu menciptakan strategi yang daat membangkitkan rasa ingin tahu siswa dan mendorong siswa untuk bertanya dan bertanya tentang apa yang dia inginkan untuk diketahui. Kegiatan bertanya dapat muncul dalam kelompok belajar yang partisipatif. Oleh karena itu, guru sebaiknya menciptakan masyarakat belajar (learning community) di dalam kelas yang dikelolanya.
d. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Masyarakat belajar dapat terjadi apabila terjadi komunikasi dua arah. Seorang guru yang menjelaskan sebuah topik kepada para siswa bukanlah contoh masyarakat belajar. Dalam masyarakat belajar, siswa saling belajar satu sama lain. Dalam masyarakat belajar, siswa bertanya dan siswa lain menjawab, mereka saling bertukar pikiran, bertukar pendapat, dan bertukar pengalaman. Dalam pembelajaran seperti ini, tugas guru tidak sekadar menjelaskan sesuatu dan menjawab pertanyaan siswa. Tuas guru adalah mengelola kelas agat antara siswa dan guru, antara siswa dan siswa lain terjadi saling bertanya, saling menjawab, saling bertukar pikiran, bertukar gagasan , dan saling bertukar pengalaman.
Ketika seorang siswa tampil menyajikan hasil diskusi atau hasil kerjanya, siswa lain memperhatikan, mempelajarinya, dan membandingkannya dengan apa yang telah mereka peroleh atau yang telah mereka kerjakan. Penyajian hasil kerja seorang siswa atau sebuah kelompok dapat menjadi model bagi siswa atau kelompok yang lainnya.
e. Pemodelan (Modeling)
Ketika seorang guru atau salah seorang siswa membacakan puisi di muka kelas, ia menjadi model bagi para siswa. Model dapat didatangkan dari kelas lain atau dari luar sekolah. Guru dapat menghadirkan juara baca puisi atau penyair untuk membacakan puisi di muka kelas. Model dapat juga berupa rekaman audio atau audio visual. Pemodelan ini, terutama dalam pembelajaran sastra, jangan membuat proses pembelajaran menjadi terjebak pada roses peniruan tanpa proses internalisasi. Misalnya, siswa siswa meniru intonasi, suara, mimik. gerak model yang ditampilkan. Oleh karena itu, setiap penampilan model harus dibahas di dalam kelompok atau secara klasikal oleh para siswa agar siswa melakukan internalisasi dan mereka benar-benar menjadi subjek yang aktif dan kreatif.

f. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah sebuah proses perenungan yang dilakukan oleh mengenai pengetahuan dan keterampilan yang baru saja dipelajarinya dan yang sudah menjadi miliknya. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai bangunan pengetahuan dan keterampilan baru yang mengukuhkan, memperkaya, atau merevisi apa yang telah menjadi miliknya. Pada proses refleksi ini siswa bisa saja menghubungkan materi baru dielajarinya dengan kehidupan. Ia menimbang-nimbang tentang manfaatnya serta kedudukannya dalam bangunan cita-cita hidupnya di masa yang akan datang. Misalnya, siswa merenung: “Oh, selama ini saya keliru dalam membaca puisi. Saya tidak berusaha memahami dulu puisi yang hendak dibaca. Saya hanya meniru saja apa yang dilakukan teman-teman sewaktu membaca”. Guru bertugas merancang roses refleksi ini dengan sebaik-baiknya sehingga bagian ini terasa oleh siswa sebagai kegiatan yang menyenangkan dan sekaligus bermanfaat.
g. Penilaian Otentik (Authentic Assessment)

Penilaian merupakan proses pengumpulan berbagai data yang dapat memberikan gambaran tentang perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa dipastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang terkumpul mengisyaratkan bahwa siswa mengalami kendala dalam belajar, maka guru segera bisa mengambil langkah yang tepat agar siswa mengatasi kendala tersebut. Karena assesment memberikan tekanan pada proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Guru yang ingin mengetahui perkembangan belajar bahasa Indonesia para siswanya harus mengumpulkan data dari kegiatan nyata saat para siswa berbahasa Indonesia, bukan pada saat para siswa mengerjakan tes bahasa Indonesia. Data yang diambil dari kegiatan siswa saat siswa melakukan kegiatan berbahasa Indonesia itulah yang disebut data autentik.