Jumat, 27 Desember 2013

menjawab tantangan dari guru

Memperbincangkan pendidikan dewasa ini, seperti menelisik setiap sendi kehidupan manusia. Peranan dunia pendidikan tidak hanya sekadar mengemban amanat mencerdaskan kehidupan bangsa. Lebih dari itu, dunia pendidikan memiliki tanggung jawab moral membentuk manusia seutuhnya. Yaitu manusia yang mampu memahami dirinya sendiri.

Terlepas dari peran-fungsinya bagi setiap manusia, dunia pendidikan juga menjadi cerminan bagi survivenya suatu Negara-bangsa di tengah kancah pertarungan globalisasi. Maupun sebaliknya, kemajuan suatu Negara-bangsa juga dapat diukur sejauh mana dunia pendidikan yang dibangun di dalamnya. Dengan kata lain, dunia pendidikan menjadi barometer suatu Negara-bangsa dalam membaca dan melihat posisinya.

Maka tidak heranlah, sepanjang sejarah Negara-bangsa Indonesia, persoalan menemukan konsep dunia pendidikan yang ideal tak pernah usai. Hal ini berbanding lurus dengan gerak laju zaman yang selalu ditentukan dari riuh redam ruang kelas ataupun ruang kuliah para cendekia.

Lebih jauh, mencuat gonjang-ganjing Ujian Nasional (Unas) yang meresahkan berbagai elemen peserta didik, merupakan bukti paling mutakhir, bahwa dunia pendidikan selalu menuntut pada setiap peserta didik untuk selalu memikirkan, merumuskan dan menemukan konsep pendidikan yang ideal.

Selain persoalan konsep yang ideal dalam membentuk manusia yang seutuhnya, yang perlu diperhatikan adalah substansi dan esensi pendidikan itu sendiri. Seperti disinyalir dalam beberapa dekade terakhir ini, bahwa dunia pendidikan telah banyak mengalami berbagai kegagalan dalam membentuk karakter manusia seutuhnya. Dengan kata lain, tugas pendidikan banyak terabaikan. Terutama memanusiakan manusia. Artinya, dunia pendidikan selama ini tak ubahnya penjara bagi anak didik.

Di sinilah, kehadiran paradigma dunia pendidikan kritis yang diusung Paulo Freire (1986) menemukan ruang kontemplasinya. Lewat keyakinan akan pentingnya landasan pendidikan sebagai sebuah proses memanusiawikan manusia kembali, Freire coba memberikan jalan alternatif untuk memberontak pada tradisi dehumanisasi yang menyelimuti dinding ruang sekolah.

Untuk lebih memahami konsep pendidikannya, Freire menjabarkan kesadaran manusia menjadi tiga macam. Pertama, kesadaran magis, yakni kesadaran yang tidak mampu mengetahui antara faktor satu dengan faktor lainnya. Kedua, kesadaran naïf, yakni kesadaran yang melihat aspek manusia menjeadi penyebab masalah yang berkembang di masyarakat. Ketiga, kesadaran kritis, yakni kesadaran yang melihat sistem dan struktur sebagai sumber masalah.

Dengan mengacu pada kesadaran yang terakhir ini, dunia pendidikan selalu mendapatkan pertanyaan dari setiap peserta didiknya. Pertanyaan yang selalu merongrong kemandekan dan kejumudan lingkungan tumbuh kembangnya dunia pendidikan. Dengan kata lain, kesadaran kritis ini menuntut pada setiap peserta didik untuk terus menerus mempertanyakan, merombak, mencari dan merumuskan kembali setiap konsep pendidikan sesuai ruang waktu ke-disini-an dan ke-kini-an.

Di tengah tuntutan, tantangan serta berbagai persoalan kegagagalan dunia pendidikan, sosok guru merupakan pihak yang paling tertuduh. Sosok guru merupakan orang paling dimintai pertanggung jawabannya. Bahkan tidak ada alasan apa pun, yang dapat diberikan oleh seorang guru untuk membela dirinya.

Maka, ketika ujian nasional digulirkan dengan standar kelulusan yang cukup fantastis, sosok guru pulalah, yang mula-mula merasa ketar-ketir. Ia mesti bertanggung jawab atas segala apa yang akan terjadi pada peserta didik: frustasi, stress, depresi dan segala keputuasaan mental generasi bangsa ini.

Maka perbaikan dan evaluasi pada kemampuan seorang guru, seolah menjadi hal yang logis untuk dilakukan pertama kali dalam memecahkan persoalan dunai pendidikan. Maka, kehadiran buku “Menjelajah Pembelajaran Inovatif” karya Dr. Suyatno, M. Pd. merupakan menu mujarab setiap guru dalam mempersiapkan dirinya sebagai peserta didik yang paling dituntut.

Dalam buku ini, sosok guru diajak untuk berkenalan dengan paradigma baru pendidikan, yang menekankan hadirnya prinsip pembelajaran yang inovetif dan keberanian seorang guru untuk melakukan inovasi. Dengan prinsip pembelajaran inovatif, seorang guru akan mampu memfasilitasi siswanya untuk mengembangkan diri dan terjun di tengah masyarakatnya.

Hal ini dapat dipahami dengan memerhatikan beberapa prinsip pembelajaran inovatif, yaitu: (a) pembelajaran, bukan pengajaran; (b) guru sebagai fasilitator, bukan instruktur; (c) siswa sebagai subjek, bukan objek; (d) multimedia, bukan monomedia; (e) sentuhan manusiawi, bukan hewani; (f) pembelajaran induktif, bukan deduktif; (g) materi bermakna bagi siswa, bukan sekadar dihafal; (h) keterlibatan siswa partisipasif, bukan pasif.

Selain memberikan beberapa prinsip dasar, pembelajaran inovatif juga menekankan adanya pola dan strategi pendidikan yang utuh. Pola dan strategi pendidikan yang menitik bertakan pada tercipanya kesadaran peserta didik pada dirinya sendiri dan lingkungannya.

Selanjutnya, ketakutan dan keminderan seorang guru dalam melakukan ekpresi merupakan salah satu tumor pendidikan yang urgen untuk disembuhkan. Inilah salah satu hal yang esensial yang dibawa buku ini. Seorang guru sudah seyogyanya untuk yakin bahwa setiap guru tanpa terkecuali dapat berinovasi dalam pembelajarannya; seorang seyogyanya untuk yakin bahwa perbuatan-perbuatan kecilnya yang teliti, semisal mencatat perubahan tentang cara dan gaya mengajar setiap hari akan melahirkan hasil yang besar; serta seorang guru seyogyanya untuk terbuka menerima saran dan kritik dari guru lain, bila pola pembelajaran yang disampaikannya sama seperti yang kemarin (halaman 17)

Lebih jauh, keberanian seorang guru dalam berinovasi, serta merta akan membentuk karakternya menjadi kreatif. Kemampuan dan kapasitasnya, baik hard skill maupun soft skill, akan terasah dengan sendirinya. Kekreatifan seorang guru, akan berdampak tidak hanya pada pola komunikasi pembelajaran, tetapi juga akan membentuk suasana serta atmosfir pembelajaran yang menyenangkan (enjoy learning). Pembelajaran yang mampu mentransformasikan ilmu sekaligus mampu membetuk karaketr siswa yang manusiawi.

Di bagian akhir buku, juga diuraikan beberapa metode yang dapat digunakan oleh seorang kreatif dalam membangun suasana kelas yang familiar dan manusiawi. Suasana kelas yang tak lagi hadir sebagai ruang penjara yang dijejali teori, konsep dan tugas dari guru. Tetapi raung kelas yang mampu menggali potensi siswa dan menjernihkan nalar pikir anak didik dalam memahami dan mengaplikasikan kemampuannya untuk dirinya sendiri dan lingkungannya.

Di tengah berbagai tuntutan dan gonjang-ganjing dunia pendidikan, serta terealisasinya anggaran dua puluh persen APBN untuk pendidikan, kehadiran buku “Menjelajah Pembelajaran Inovatif’” memiliki arti dan peranan yang cukup penting. Pertama, buku ini dapat dijadikan referensi bagi setiap peserta didik untuk melihat paradigma baru dunia pendidikan masa kini. Kedua, buku ini dapat menjadi media motivasi bagi setiap guru untuk lebih berani dalam melakukan pola dan strategi pembelajaran yang inovatif; pembelajaran yang mampu menciptakan ruang dan suasana kelas yang familiar dan harmonis, serta dinamis bagi anak didik. Ketiga, buku ini dapat mendorong guru untuk lebih kreatif dalam melakukan transformasi keilmuan. Kreatifitas guru tentunya terletak pada kekayaannya memiliki metode dan aneka model pembelajaran, serta kecermatannya untuk memilih dan memilah metode dan aneka pembelajaran yang akan digunakan di setiap waktu yang berbeda.

Terlepas dari arti dan peran-fungsinya bagi peserat didik, terutama guru, buku “Menjelajah Pembelajaran Inovatif” memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi dunia pendidikan.

Memahami Gaya dan Keindahan Bahasa

Bahasa merupakan media, alat, atau sarana untuk komunikasi manusia yang satu dengan yang lainnya. Dengan bahasa, umat manusia bisa saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, tersampaikanlah pesan dari orang ke satu kepada orang yang lain, bahkan orang yang lain pun bisa membalas pesan tersebut kepada orang ke satu (pengirim pesan). Hal itu karena bahasa yang digunakan mampu diiterpretasi dan dipahami oleh kedua belah pihak, yakni pengirim pesan dan penerima pesan.

Pada dasarnya, semua makhluk hidup (manusia, binatang, dan tumbuhuan) itu berbahasa. Akan tetapi, hanya manusia yang dihukumi mempunyai bahasa karena hanya manusia yang memiliki akal pikiran untuk belajar dan mempelajari sesuatu, termasuk bahasa. Meski demikian, binatang juga mempunyai bahasa untuk bisa berkomunikasi dengan binatang lain, bahkan dengan manusia, entah itu menggunakan isyarat atau bahasa tubuh yang sekiranya bisa dipahami.

Selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga merupakan identitas suatu kelompok. Suatu kelompok bisa teridentifikasi dari mana asalnya dengan tutur bahasa yang digunakan, gaya berbahasa, dan khas pengguna bahasa. Orang Indonesia akan diketahui bahwa ia berasal dari Indonesia jika ia menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan logat bahasa Indonesia. Orang Jawa, Sunda, Batak, dan yang lainnya juga dapat diketahui dari bahasa yang digunakan karena dari masing-masing bahasa tersebut memiliki entitas dan cirri khas yang berbeda-beda sehingga dapat diklarifikasi. Berkaitan dengan hal itu, bahasa juga bisa digunakan dalam budaya bahasa oleh masing-masing kelompok.

Dalam kajiannya, bahasa juga bisa melahirkan karya sastra yang indah. Terlepas dari fungsi bahasa sebagai alat komunikasi, bahasa bisa menjadi sebuah karya sastra yang indah jika disusun dengan diksi (pilihan kata) yang bagus dan sarat akan makna yang mendalam. Dalam hal ini, masing-masing bahasa dengan setiap periodisasinya memilki khas keindahannya. Karya sastra yang lahir dari rahim bahasa itu antara lain; puisi, sajak, cerita pendek, dan lain-lain.
Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna dalam bukunya yang berjudul Stilistika; Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya dengan lugas memaparkan pembahasan gaya bahasa Indonesia dalam kajian bahasa sastra dan budaya. Gaya bahasa (style),adalah cara-cara khas bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu sehigga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal. Dengan demikian ini, gaya bahasa beragam menurut adat dan budaya berbahasa masing-masing daerah.

Stilistika, yakni ilmu tentang gaya bahasa, menjadi suatu disiplin ilmu yang mempelajari gaya-gaya bahasa. Sebenarnya, penggunaan dari gaya dan ilmu gaya itu secara luas meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, bagaimana segala sesuatu dilakukan, dinyatakan, dan diungkapakan. Secara sempit, gaya dan atau ilmu gaya digunakan pada kajian bahasa dan sastra, khususnya adalah puisi.

Gaya bahasa adalah cara tertentu, dengan tujuan tertentu. Meskipun demikian, gaya tidak bebas sama sekali. Gaya lahir secara bersistem, sebagai tata sastra. Memang benar ada kebebasan penyair, tetapi gaya tetap berada dalam aturan, sebagai puitika sastra (hal. 386).

Dalam pembicaraan puisi, adalah termasuk sastra. Dalam sastra secara substantif, terkandung gaya (style) dan keindahan (esthetic). Antara stilistika dan estetika, sebenarnya saling melengkapi keberadaannya. Seluruh aspek keindahan dalam karya sastra terkandung dan dibicarakan melalui medium, yaitu unsur-unsur gaya bahasanya. Stilistika menampilkan keindahan, sementara keidahan melibatkan berbagai sarana yang dimiliki oleh gaya bahasa. Stilistika lahir dari rahim retorika, sementara estetika dari filsafat. Keberbedaan asal itulah yang menjadikan saling melengkapi antara keduanya.

Indonesia, telah melahirkan berbagai karya santra. Chairil anwar dengan Aku-nya membangun gaya tersendiri dalam karakter berpuisinya. Putu Wijaya hingga Zawawi Imran juga telah membangun gaya dan karakternya dalam berbahasa dan mengolah bahasa menjadi karya sastra puisi. Dengan demikian, masing-masing penyair memiliki khas yang berbeda-beda.

Begitu pun secara periodik, puitika atau karya sastra di Indonesia pun relatif berubah dari masa ke masa. Periodisasi tersebut terbagi dalam beberapa masa, yakni angkatan balai pustaka (‘20-an), pujannga baru (’30-an), angkatan ’45, angkatan ’60 hingga angkatan ’70 dengan ciri sastra populer dan sastra perempuan. Kemudian periode sastra angkatan 2000-an dengan ciri postmodernisme.

Karakter yang dibangun pada masing-masing angkatan memiliki ciri tersendiri dalam melahirkan puitika karya sastra. Terlebih lagi periode sastra angkatan 2000-an seperti sekarang ini, keragaman berpuisi telah lebih mengenalkan heterogenitas gaya dan keindahan.

Buku yang berjudul Stilistika; Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya layak dijadikan referensi oleh siapa saja yang ingin mendalami stilistika sebagai analisis bahasa dan sastra yang terkait dengan budaya. Khususnya pada sastrawan dan ahli bahasa, buku ini sangat membantu dalam kajian-kajian bahasa dan sastra. Bahkan masyarakat sebagai penikmat karya sastra dan pengguna bahasa, akan diajak oleh penulis untuk menyelami stilistika dari sejarahnya hingga kemunculannya di Indonesia, serta kaitannya dengan estetika.

Bahasa merupakan alat kounikasi. Akan tetapi, selain itu, fungsi bahasa juga bisa berupa karya sastra yang menggunakan keindahan kata yang memikat. Indonesia mempunyai bahasa Indonesia yang mana bahasa tersebut telah meahirkan karya-karya yang indah.

kegunaan otak tegah

AKTIVASI otak tengah adalah fenomena baru di Indonesia. Kurang lebih enam bulan lalu, aktivasi otak tengah untuk anak usia lima hingga lima belas tahun mulai meramaikan workshop edukasi dan perkembangan otak anak. Inikah cara instan menjadikan anak Anda genius dan “hebat”?

Di Malaysia, otak tengah dikenal sejak lima tahun lalu. Bahkan oleh pemerintah Malaysia, aktivasi otak tengah langsung direspons positif, terkait pengembangan pendidikan anak-anak. Sedangkan di Indonesia, aktivasi otak tengah dikenalkan David Ting dari negeri jiran.

Sementara di Jepang, sudah lebih dari 40 tahun silam aktivasi otak tengah telah teruji dan terbukti. Namun, Negeri Sakura itu tidak membuka rahasia teknik aktivasi ke publik di luar Jepang.

Pembedaan adanya otak kiri dan otak kanan umum kita kenal. Otak kiri dikenal berperan pada logika, pembelajaran bahasa, angka, tulisan, dan hitungan. Sedangkan otak kanan berperan pada daya kreativitas, imajinasi, dan lainnya. Nah, otak tengah (mesencephalon) berfungsi sebagai jembatan penghubung antara otak kanan dan otak kiri. Selain itu, otak tengah berfungsi sebagai keseimbangan.

Otak tengah juga diyakini sebagai perkembangan pertama dalam pertumbuhan janin. Otak tengah adalah bagian terkecil dari otak yang berfungsi seperti stasiun relai untuk informasi pendengaran dan penglihatan. Otak tengah juga berperan untuk meningkatkan kemampuan mengasihi orang lain.

Otak tengah tidak saja bisa diaktifkan secara “manual”, tapi juga aktif secara alami. Orang-orang yang otak tengahnya aktif secara alami biasanya disebut orang-orang dengan kemampuan luar biasa. Misalnya, tunalnetra yang bisa “melihat” dimungkinkan otak tengahnya aktif secara alami.

Otak tengah sudah lama masuk ranah penelitian medis kedokteran. Penelitian otak tengah berhubungan dengan frekuensi gelombang otak (alpha hingga tetha) yang dikenal bisa mengondisi tubuh manusia menjadi rileks dan nyaman.

Sesuai penamaan, otak tengah terletak di posisi tengah di antara otak kiri dan kanan. Otak tengah mendominasi perkembangan otak secara keseluruhan. Di dalam kandungan, ukuran otak tengah, jika dibandingkan dengan bagian otak lain, paling dominan. Bahkan, bayi dalam kandungan diduga dapat melihat keluar rahim ibunya lewat perantara otak tengah (hlm 79-80).

Metode mengaktifkan otak tengah oleh GMC (Genius Mind Consultancy) itu dilakukan dengan komputerisasi, bermain, dan mendengarkan suara. Penulis buku ini meyakini keberhasilan pengaktifannya hingga 90 persen.

Dalam buku ini, Hartono menyebutkan, bila otak tengah telah diaktifkan, daya konsentrasi akan meningkat, kemampuan fisik dalam olahraga akan berkembang, otak kanan dan kiri lebih seimbang, ada keseimbangan hormon, serta daya intuisi meningkat. Terkait mental anak, manfaat secara umum otak tengah, anak yang hiperaktif bisa duduk dengan tenang. Anak yang diam menjadi lebih aktif.

Efek-efek yang ditimbulkan setelah otak tengah diaktifkan bermacam-macam dan masing-masing anak tidak dapat disamakan. Misalnya, ada yang dominan dengan intuisinya, seperti bisa memprediksi kejadian masa mendatang, membaca warna dengan mata tertutup, dan sebagainya.

Ada efek “ajaib” yang ditimbulkan setelah otak tengah anak diaktifkan. Salah satunya bisa mendeteksi penyakit, menerima sinyal firasat, menebak kartu, mewarnai tanpa melihat, dan lainnya. Namun, efek di sini tidak dimaksudkan untuk mengarahkan anak menjadi pesulap atau cenayang. Sekali lagi metode tutup mata dimaksudkan untuk melatih otak tengah yang telah diaktifkan agar tidak tertidur lagi.

Hanya, mengapa otak tengah tidak diaktifkan saat usia anak 0 hingga 5 tahun atau di atas usia 15 tahun, tidak dijelaskan secara rinci. Hartono (penulis buku ini) mengatakan bahwa sangat mungkin setelah usia 15 tahun, otak tengah akan sulit diaktifkan.

Dalam buku ini juga tidak dipaparkan bagaimana cara mengaktifkan otak tengah secara khusus dan detail untuk mendapatkan gambaran yang terang. Untuk menutupi kekurangan itu, Hartono coba menunjukkan secara audiovisual lewat video penyerta dan alamat-alamat website pendukung informasi otak tengah. Dalam video tersebut, didokumentasikan demo anak-anak yang telah diaktifkan otak tengahnya. Selain itu, video penyerta berisi wawancara dan testimoni dari orang tua yang otak tengah anak-anaknya diaktifkan.

Informasi dalam buku ini menambah terobosan baru yang bersinggungan dengan dunia edukasi dan perkembangan kecerdasan anak. Namun, biaya aktivasi otak tengah yang relatif mahal bisa menjadi kendala di kalangan masyarakat menengah-bawah. Nah, semestinya, hasil penelitian yang sudah teruji dan terbukti itu direspons pemerintah, baik melalui departemen pendidikan nasional maupun dinas kesehatan.