Kamis, 09 Januari 2014

Perbdaaan Azab dan Sengsara” dengan novel Pujangga Baru berjudul “Dian yang Tak Kunjung Padam

Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1.      Apakah ada persamaan isi yaitu tema novel Balai Pustaka berjudul “Azab dan Sengsara” dengan novel Pujangga Baru berjudul “Dian yang Tak Kunjung Padam?
2.      Bagaimanakah pengungkapan bahasa pada kedua novel tersebut? Apakah terdapat kesamaan dalam hal tersebut?


PEMBAHASAN

Persamaan dan Perbedaan Novel Balai Pustaka ( Azab dan Sengsara ) dan Novel Pujangga Baru ( Dian yang Tak Kunjung Padam )
Analisis Berdasarkan Isi
Penganalisisan isi terdiri atas tema. Jika dibaca secara detail dan seksama, novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar bertemakan tentang Kawin Paksa. Ketika perjodohan anak muda masih ditentukan oleh orang tua mereka. Cinta yang tak sampai antara kedua anak muda (Aminuddin dan Mariamin), karena rintangan orang tua. Mereka saling mencintai sejak di bangku sekolah, tetapi akhirnya masing-masing harus kawin dengan orang yang bukan pilihannya sendiri. Pihak pemuda (Aminuddin) terpaksa menerima gadis pilihan orang tuanya, yang akibatnya tak ada kebahagian dalam hidupnya. Pihak gadis (Mariamin) terpaksa kawin dengan orang yang tak dicintai, yang berakhir dengan penceraian dan Mariamin mati muda karena merana.
Isi novel ini juga sudah tidak lagi menceritakan hal yang fantastis dan istanasentris, melainkan lukisan tentang hal-hal yang benar terjadi dalam masyarakat yang dimintakan perhatian kepada golongan orang tua tentangakibat kawin paksa dan masalah adat.Merari Siregar sendiri membuat novel ini karena ia menjumpai kepincangan-kepincangan, melihat keadaan suku bangsanya yang tidak sesuai dengan tuntunan zaman khususnya mengenai adat, misalnya kawin paksa yang terdapat dalam masyarakat lingkungannya. Hati kecilnya ingin mengubah cara pandang kurang baik khususnya orang-orang di daerah Sipirok, karena ia dilahirkan di Sipirok, Tapanuli, Sumatra Utara pada tanggal 13 Juli 1896.
Karya sastra yang muncul pada zaman Balai Pustaka ini juga masih terpengaruh oleh keadaan sekitar atau budaya di lingkungan masyarakat penulis. Akan tetapi isi dan bentuknya sudah modern. Pemodrenan ini dimungkinkan karena penulis bergaul dengan karya sastra barat, khususnya sastra belanda. Karena novel Azab dan Sengsara muncul ketika Belanda sedang melaksanakan politik etisnya. Hal itu terlihat dari kesadaran individu yang tercermin pada kemandirian tokoh-tokoh cerita. Tokoh-tokoh cerita ingin menentukan nasibnya sendiri tanpa ketergantungan pada lingkungan dan ikatan masyarakat. Kemandirian tokoh-tokoh itu dapat dilihat dalam novel Azab dan Sengsara seperti yang tampak pada tokoh utama Mariamin. Kesadaran tokoh utama Mariamin terlihat ketika ia memotong penderitaan yang menimpa dirinya akibat kawin paksa lewat pengajuan cerai.
Sama halnya dengan novel Azab dan Sengsara, jika dibaca secara detail dan seksama, novel Dian yang Tak Kunjung Padam karya Sutan Takdir Alisyahbana juga bertemakan tentang Kawin Paksa. Ketika perjodohan anak muda juga ditentukan oleh orang tuanya. Cinta yang tak sampai antara kedua anak muda ( Yasin dan Molek ), karena rintangan orang tua. Keluarga Molek tidak menyetujui hubungannya dengan Yasin. Hal itu dikarenakan status sosial mereka yang berbeda. Pihak gadis (Molek) dipaksa kawin dengan orang yang tak dicintai, yang berakhir dengan kekerasan dalam rumah tangga dan Molek meninggal karena merana.
Karya sastra pada zaman Pujangga Baru ini muncul ketika penjajahan jepang. Maka dari itu novel ini memancarkan jiwa yang dinamis, individualistis, dan tidak terikat dengan tradisi (tidak seperti halnya dengan novel Azab dan Sengsara yang berisi tentang adat istiadat orang Batak). Di samping itu, kebudayaan yang dianut masyarakat pada novel ini adalah kebudayaan dinamis. Kebudayaan tersebut merupakan gabungan antara kebudayaan barat dan kebudayaan timur sehingga sifat kebudayaan Indonesia menjadi universal. Isi novel ini juga tentang segala persoalan yang menjadi cita-cita sesuai dengan semangat kebangunan bangsa Indonesia pada waktu itu, seperti politik, ekonomi, sosial, filsafat, agama, kebudayaan. Di sisi lain, corak lukisannya bersifat romantis idealistis.

Analisis Berdasarkan Bentuk
Penganalisisan bentuk terdiri atas bahasa. Jika dibaca secara detail dan seksama, novel Azab dan Sengsara ini memiliki cirri khas tersendiri dalam pengungkapan bahasanya. Bahasa yang digunakan penulis dominan menggunakan bahasa yang bersifat membujuk, mempengaruhi sikap pembacanya. Hal ini terlihat pada potongan novel di bawah ini:
“Kalau ada perselisihan, selesaikanlah dengan jalan damai, panggil orang tua-tua sekampung, mereka itu nanti memutuskannya dengan baik. Kerugian tiada berapa, pikiran tiada susah dan kita kembali hidup damai. Inilah untung yang teramat besar di dunia dan akhirat. Perhatikanlah hai saudara-saudaraku!” (hal: 31)
Merari Siregar juga ingin menggugah hati para pembaca tentang penderitaan akibat kawin paksa dari penggambaran kesengsaraan tokoh utama Mariamin. Novel ini juga mengungkapkan ikatan adat tokoh Mariamin mulai menipis. Walau begitu, kesadaran susila dalam novel ini digambarkan tetap teguh. Hal ini tercermin pada peristiwa ketika Mariamin dianiaya oleh suaminya karena menerima tamu laki-laki, sementara suaminya tidak di rumah.
Dalam novel ini Merari Siregar sangat sering menyisipkan nasihat-nasihat langsung kepada pembacanya. Nasihat ini tidak ada hubungannya dengan kisah tokohnya karena maksud penulis menyusun novel itu sebetulnya untuk menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik kepada bangsanya. Di bawah ini dikutip tulisan pengarang yang menunjukkan hal tersebut.
"Saya mengarang ceritera ini, dengan maksud menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik dan sempurna di tengahtengah bangsaku, lebih-lebih di antara orang berlaki-laki. Harap saya diperhatikan oleh pembaca.
Hal-hal dan kejadian yang tersebut dalam buku ini meskipun seakan-akàn tiada mungkin dalam pikiran pembaca. adalah benar belaka, cuma waktunya kuatur—artinya dibuat berturut-turut supaya ceritera lebih nyata dan terang." (permulaan kalam hal:7)
Selain pengungkapan tentang menguatnya kesadaran individu dan menipisnya kesadaran adat, novel ini juga sangat kuat diwarnai penggambaran alam dan pengungkapan perasaan. Pengungkapan perasaan itu, antara lain, tercermin dalam penggunaan pantun, syair dan pribahasa. Hal itu terlihat pada potongan novel di bawah ini:
“Siapa yang menang perkara menjadi bara, dan yang kalah menjadi abu.” (hal:31)
“Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna, Angkang.” (hal:32)
“Lain padang lain belalang, lain tanah lain lembaganya,” kata pribahasa. (hal:33)
“ Jeruji dengan durinya,
Di tepi jalan orang berlari.
Setuju dengan istrinya,
Seperti bulan dengan matahari. ” (hal:70)
Novel ini banyak menggunakan bahasa percakapan dan mengakibatkan bahasa tidak terpelihara kebakuannya. Kalimat-kalimatnya panjang-panjang. Pengungkapannya banyak menggunakan perbandingan-perbandingan dan melukiskan sesuatu yang diperjuangkan secara berlebih-lebihan.
Gaya penceritaan novel ini terpengaruh oleh sastra Melayu yang mendayu-dayu, dan sering menggunakan istilah pada bahasa batak. Misalnya penggunaan kata Anggi(adik), Angkang(abang/kakak), Martandang (mengunjungi orang), pemakaian nama menurut kebiasaan batak yaitu satu nama pada waktu mudanya/ sebelum kawin, nama kedua setelah sudah kawin, dan masih banyak istilah lain yang digunakan pada novel ini.
Pada novel Dian yang Tak Kunjung Padam karya Sutan ali syahbana sering menggunakan bahasa individual, penulis membiarkan pembaca mengambil simpulan sendiri, tokoh-tokoh hidup/bergerak, pembaca seolah-olah diseret ke dalam suasana pikiran tokoh-tokohnya, mengutamakan jalan pikiran dan kehidupan tokoh-tokohnya. Dengan kata lain mengutamakan psikologi. Psikologi pada novel ini menjelaskan seluk beluk kehidupan batin manusia. Meskipun karyanya imajinatif akan tetapi tokoh dalam novel ini diberi karakter dan bertingkah laku seperti manusia yang hidup di dunia nyata.
Bahasa yang dipakai pada novel ini adalah bahasa Indonesia modern. Gaya bahasan novel ini sudah tidak menggunakan perumpamaan, pepatah, dan peribahasa (tidak seperti novel Azab dan Sengsara). Berbentuk prosa baru yang bersifat dinamis (senantiasa berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat). Alur novel ini  lurus saja, berbeda halnya dengan novel Azab dan Sengsara yang memiliki alur maju mundur. Tidak banyak sisipan-sisipan cerita sehingga alurnya menjadi lebih erat. Sudut pandang pada novel ini adalah orang ketiga, sama halnya dengan novel Azab dan Sengsara


Tidak ada komentar:

Posting Komentar