Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Apakah
ada persamaan isi yaitu tema novel Balai Pustaka berjudul “Azab dan Sengsara”
dengan novel Pujangga Baru berjudul “Dian yang Tak Kunjung Padam?
2. Bagaimanakah
pengungkapan bahasa pada kedua novel tersebut? Apakah terdapat kesamaan dalam
hal tersebut?
PEMBAHASAN
Persamaan
dan Perbedaan Novel Balai Pustaka ( Azab dan Sengsara ) dan Novel Pujangga Baru
( Dian yang Tak Kunjung Padam )
Analisis
Berdasarkan Isi
Penganalisisan
isi terdiri atas tema. Jika dibaca secara detail dan seksama, novel Azab dan
Sengsara karya Merari Siregar bertemakan tentang Kawin Paksa. Ketika perjodohan
anak muda masih ditentukan oleh orang tua mereka. Cinta yang tak sampai antara
kedua anak muda (Aminuddin dan Mariamin), karena rintangan orang tua. Mereka
saling mencintai sejak di bangku sekolah, tetapi akhirnya masing-masing harus
kawin dengan orang yang bukan pilihannya sendiri. Pihak pemuda (Aminuddin)
terpaksa menerima gadis pilihan orang tuanya, yang akibatnya tak ada kebahagian
dalam hidupnya. Pihak gadis (Mariamin) terpaksa kawin dengan orang yang tak
dicintai, yang berakhir dengan penceraian dan Mariamin mati muda karena merana.
Isi
novel ini juga sudah tidak lagi menceritakan hal yang fantastis dan
istanasentris, melainkan lukisan tentang hal-hal yang benar terjadi dalam
masyarakat yang dimintakan perhatian kepada golongan orang tua tentangakibat
kawin paksa dan masalah adat.Merari Siregar sendiri membuat
novel ini karena ia menjumpai kepincangan-kepincangan, melihat keadaan suku
bangsanya yang tidak sesuai dengan tuntunan zaman khususnya mengenai adat,
misalnya kawin paksa yang terdapat dalam masyarakat lingkungannya. Hati
kecilnya ingin mengubah cara pandang kurang baik khususnya orang-orang di
daerah Sipirok, karena ia dilahirkan di Sipirok, Tapanuli, Sumatra Utara pada
tanggal 13 Juli 1896.
Karya
sastra yang muncul pada zaman Balai Pustaka ini juga masih terpengaruh oleh
keadaan sekitar atau budaya di lingkungan masyarakat penulis. Akan tetapi isi
dan bentuknya sudah modern. Pemodrenan ini dimungkinkan karena penulis bergaul
dengan karya sastra barat, khususnya sastra belanda. Karena novel Azab dan
Sengsara muncul ketika Belanda sedang melaksanakan politik etisnya. Hal itu
terlihat dari kesadaran individu yang tercermin pada kemandirian tokoh-tokoh
cerita. Tokoh-tokoh cerita ingin menentukan nasibnya sendiri tanpa
ketergantungan pada lingkungan dan ikatan masyarakat. Kemandirian tokoh-tokoh
itu dapat dilihat dalam novel Azab dan Sengsara seperti yang tampak pada tokoh
utama Mariamin. Kesadaran tokoh utama Mariamin terlihat ketika ia memotong
penderitaan yang menimpa dirinya akibat kawin paksa lewat pengajuan cerai.
Sama
halnya dengan novel Azab dan Sengsara, jika dibaca secara detail dan seksama,
novel Dian yang Tak Kunjung Padam karya Sutan Takdir Alisyahbana juga
bertemakan tentang Kawin Paksa. Ketika perjodohan anak muda juga
ditentukan oleh orang tuanya. Cinta yang tak sampai antara kedua anak muda (
Yasin dan Molek ), karena rintangan orang tua. Keluarga Molek tidak menyetujui
hubungannya dengan Yasin. Hal itu dikarenakan status sosial mereka yang
berbeda. Pihak gadis (Molek) dipaksa kawin dengan orang yang tak dicintai, yang
berakhir dengan kekerasan dalam rumah tangga dan Molek meninggal karena merana.
Karya
sastra pada zaman Pujangga Baru ini muncul ketika penjajahan jepang. Maka dari
itu novel ini memancarkan jiwa yang dinamis, individualistis, dan tidak terikat
dengan tradisi (tidak seperti halnya dengan novel Azab dan Sengsara yang berisi
tentang adat istiadat orang Batak). Di samping itu, kebudayaan yang dianut
masyarakat pada novel ini adalah kebudayaan dinamis. Kebudayaan tersebut
merupakan gabungan antara kebudayaan barat dan kebudayaan timur sehingga sifat
kebudayaan Indonesia menjadi universal. Isi novel ini juga tentang segala
persoalan yang menjadi cita-cita sesuai dengan semangat kebangunan bangsa
Indonesia pada waktu itu, seperti politik, ekonomi, sosial, filsafat, agama,
kebudayaan. Di sisi lain, corak lukisannya bersifat romantis idealistis.
Analisis
Berdasarkan Bentuk
Penganalisisan
bentuk terdiri atas bahasa. Jika dibaca secara detail dan seksama, novel Azab
dan Sengsara ini memiliki cirri khas tersendiri dalam pengungkapan bahasanya.
Bahasa yang digunakan penulis dominan menggunakan bahasa yang bersifat
membujuk, mempengaruhi sikap pembacanya. Hal ini terlihat pada potongan novel
di bawah ini:
“Kalau
ada perselisihan, selesaikanlah dengan jalan damai, panggil orang tua-tua
sekampung, mereka itu nanti memutuskannya dengan baik. Kerugian tiada berapa,
pikiran tiada susah dan kita kembali hidup damai. Inilah untung yang teramat
besar di dunia dan akhirat. Perhatikanlah hai saudara-saudaraku!” (hal: 31)
Merari
Siregar juga ingin menggugah hati para pembaca tentang penderitaan akibat kawin
paksa dari penggambaran kesengsaraan tokoh utama Mariamin. Novel ini juga
mengungkapkan ikatan adat tokoh Mariamin mulai menipis. Walau begitu, kesadaran
susila dalam novel ini digambarkan tetap teguh. Hal ini tercermin pada
peristiwa ketika Mariamin dianiaya oleh suaminya karena menerima tamu
laki-laki, sementara suaminya tidak di rumah.
Dalam
novel ini Merari Siregar sangat sering menyisipkan nasihat-nasihat langsung
kepada pembacanya. Nasihat ini tidak ada hubungannya dengan kisah tokohnya karena
maksud penulis menyusun novel itu sebetulnya untuk menunjukkan adat dan
kebiasaan yang kurang baik kepada bangsanya. Di bawah ini dikutip tulisan
pengarang yang menunjukkan hal tersebut.
"Saya
mengarang ceritera ini, dengan maksud menunjukkan adat dan kebiasaan yang
kurang baik dan sempurna di tengahtengah bangsaku, lebih-lebih di antara orang
berlaki-laki. Harap saya diperhatikan oleh pembaca.
Hal-hal dan kejadian yang tersebut dalam buku ini meskipun seakan-akàn tiada mungkin dalam pikiran pembaca. adalah benar belaka, cuma waktunya kuatur—artinya dibuat berturut-turut supaya ceritera lebih nyata dan terang." (permulaan kalam hal:7)
Hal-hal dan kejadian yang tersebut dalam buku ini meskipun seakan-akàn tiada mungkin dalam pikiran pembaca. adalah benar belaka, cuma waktunya kuatur—artinya dibuat berturut-turut supaya ceritera lebih nyata dan terang." (permulaan kalam hal:7)
Selain
pengungkapan tentang menguatnya kesadaran individu dan menipisnya kesadaran
adat, novel ini juga sangat kuat diwarnai penggambaran alam dan pengungkapan
perasaan. Pengungkapan perasaan itu, antara lain, tercermin dalam penggunaan
pantun, syair dan pribahasa. Hal itu terlihat pada potongan novel di bawah ini:
“Siapa
yang menang perkara menjadi bara, dan yang kalah menjadi abu.” (hal:31)
“Sesal
dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna, Angkang.” (hal:32)
“Lain
padang lain belalang, lain tanah lain lembaganya,” kata pribahasa. (hal:33)
“ Jeruji
dengan durinya,
Di tepi
jalan orang berlari.
Setuju
dengan istrinya,
Seperti
bulan dengan matahari. ” (hal:70)
Novel
ini banyak menggunakan bahasa percakapan dan mengakibatkan bahasa tidak
terpelihara kebakuannya. Kalimat-kalimatnya panjang-panjang. Pengungkapannya
banyak menggunakan perbandingan-perbandingan dan melukiskan sesuatu yang
diperjuangkan secara berlebih-lebihan.
Gaya
penceritaan novel ini terpengaruh oleh sastra Melayu yang mendayu-dayu, dan
sering menggunakan istilah pada bahasa batak. Misalnya penggunaan kata
Anggi(adik), Angkang(abang/kakak), Martandang (mengunjungi orang), pemakaian
nama menurut kebiasaan batak yaitu satu nama pada waktu mudanya/ sebelum kawin,
nama kedua setelah sudah kawin, dan masih banyak istilah lain yang digunakan
pada novel ini.
Pada
novel Dian yang Tak Kunjung Padam karya Sutan ali syahbana sering menggunakan
bahasa individual, penulis membiarkan pembaca mengambil simpulan sendiri,
tokoh-tokoh hidup/bergerak, pembaca seolah-olah diseret ke dalam suasana
pikiran tokoh-tokohnya, mengutamakan jalan pikiran dan kehidupan
tokoh-tokohnya. Dengan kata lain mengutamakan psikologi. Psikologi pada novel
ini menjelaskan seluk beluk kehidupan batin manusia. Meskipun karyanya
imajinatif akan tetapi tokoh dalam novel ini diberi karakter dan bertingkah
laku seperti manusia yang hidup di dunia nyata.
Bahasa
yang dipakai pada novel ini adalah bahasa Indonesia modern. Gaya bahasan novel
ini sudah tidak menggunakan perumpamaan, pepatah, dan peribahasa (tidak seperti
novel Azab dan Sengsara). Berbentuk prosa baru yang bersifat dinamis
(senantiasa berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat). Alur novel
ini lurus saja, berbeda halnya dengan novel Azab dan Sengsara yang
memiliki alur maju mundur. Tidak banyak sisipan-sisipan cerita sehingga alurnya
menjadi lebih erat. Sudut pandang pada novel ini adalah orang ketiga, sama
halnya dengan novel Azab dan Sengsara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar