BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pegertian Sastra
Secara
harfiah, kata sastra berarti ‘huruf, tulisan, dan karangan’. Lalu karena
tulisan atau karangan biasanya berwujud buku, maka sastra berarti juga ‘buku’.
Dalam pengertian kesusastraan lama, istilah sastra berarti juga buku, naik yang
berisi tentang dongeng, pelajaran agama, sejarah, maupun peraturan
perundang-undangan. (Sugiantomas, 2011:7)
Dalam
bahasa inggris, sastra disebut litterature
yang diambil dari bahasa latiin litteretura,
perkembangan dari kata litera yang berarti ‘tulisan’. Sedangkan menurut
Webster, sastra merupakan wujud pernyataan manusia tentang sesuatu subyek yang
dijelmakan dengan bahsa tulis, dan mengandung nilai-nilai abadi yang universal.
(Sugiantomas, 2011:7)
Sastra adalah
suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sastra adalah institusi sosial yang
memakai medium bahasa (Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan,
1989 : 3, 109). Dan pengertian sastra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) adalah, bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yg dipakai dalam kitab-kitab
(bukan bahasa sehari-hari).
Sehingga
ditarik kesimpulan dari uraian di atas yang menyatakan bahwa, sastra adalah
hasil kegiatan kreatif manusia yang dituangkan ke dalam media bahasa
(kata-kata, gaya bahasa) baik lisan maupun tulisan. Sugoantomas (2011:9).
Sebuah karya seni yang dapat dikatakan sebagai karya yang bernilai sastra bukan
hanya karena bahasa indah, beralun-alun, penuh dengan irama dan perumpamaan,
melainkan harus dilihat secara keseluruhan, dari nilai-nilai estetika,
nilai-nilai moral, dan nilai-nilai konsepsi yang tedapat dalam karya sastra
tersebut.
2.1 Ilmu-ilmu Sastra
Ilmu-ilmu
sastra meliputi tiga macam cabang ilmu di dalamnya, yakni teori sastra, sejarah
sastra, dan kritik sastra. Dari ketiga ilmu sastra tersebut memiliki objek
penelitian tertentu, antara teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra.
Tetapi masing-masing dari cabang ilmu sastra ini memiliki keterkaitan satu sama
lain di dalam bidang kesusastraanya.
2.2.1 Teori Sastra
Teori
sastra ialah menyelidiki dasar-dasar yang bersangkut paut dengan sastra,
misalnya hakikat sastra, fungsi sastra, jenis sastra, aliran-aliran sastra,
masyarakat sastra dan unsur-unsur pembangunan yang lainnya. Hakikat sastra
adalah perwujudan dari sebuah seni, hasil karya cipta manusia yang berwujud
karya sastra (Sugiantomas, 2011:1). Karya seni sebagai ungkapan kreatif seniman
tidak mungkin dihindari lagi keberadaannya. Secara sadar atau tidak,
kehadirannya telah menjadi bagian dalam kehidupan ini. Dan yang membedakan satu
karya seni dengan karya seni lainnya tidak lain adalah media atau alatnya.
(Sugiantomas, 2011:5).
Bentuk-bentuk
sastra didalamnya dapat digolongkan menjadi tiga bentuk, yakni puisi, prosa,
dan drama. Bentuk sastra berarti cara dan gaya dalam penyusunan dan pengaturan
bagian-bagian karangan; pola structural karya sastra (Sujiman, 1984:12). Puisi
ialah bentuk karya sastra yang diungkapkan dengan gaya dendang. Prosa adalah
karya sastra yang diungkapkan dengan gaya cerita. Drama adalah karya sastra
yang diungkapkan dengan gaya dialog. Dan sedangkat masyarakat sastra dibagi
menjadi kedalam empat kelompok, yaitu sastrawan, penikmat sastra, pengkaji
sastra, dan penerbit sastra atau media masa.
Sastrawan merupakan pekerja kreatif yang menuangkan
idenya melalui media bahasa serta memilih bentuk – bentuk sastra sesuai selera,
baik bentuk puisi, prosa maupun naskah drama. Penikmat sastra ialah mereka yang
terlibat baik secara aktif atau pasif dalam kegiatan kesusastraan. Pengkaji
satra ialah mereka yang merupakan penikmat satra aktif yang melangkah lebih
jauh lagi mempelajari karya satra sebagai sasaran kajian (studi). Satu lagi
yang harus diperhatikan dalam masyarakat satra yaitu penerbit atau media masa,
ialah mereka yang menerbitkan baik suatu karya satra ataupu suatu kajian
sastra. Tanpa adanya penerbit atau media masa maka siklus masyarakat satra,
sastrawan – penikmat sastra – pengkaji sastra akan terhenti.
2.2.2 Sejarah Sastra
Cabang
ilmu sastra yang berusaha menyelidiki perkembangan sastra sejak dari mula
pertumbuhannya sampai perkembangannya sekarang. Sejarah sastra dibahas
periode-periode kesusastraan, aliran-aliran, jenis-jenis, pengarang-pengarang,
dan juga reaksi pembaca. Semua itu dihubungkan dengan perkembangan di luar
sastra seperti, sosial, politik, dan filsafat. Jadi, sejarah sastra meliputi
penulisan perkembangan sastra dalam arus sejarah dan di dalam konteksnya.
(Luxemburg, 1984:202-212). Pengetahuan atau uraian tentang peristiwa kesastraan
yang terjadi di masa lampau serta perkembangannya sampai dengan sekarang.
(Jaelani, 2013:6).
2.2.3 Kritik Sastra
Karya satra adalah bidang garapan yang perlu
dipelajari dengan seksama karena kebutuhan akan bidang itu ternyata sangat
penting dalam kehidupan dunia apresiasi sastra. Suatu kritik sastra akan
tercipta setelah orang mengenal, merenung, dan bertanya apa hakikat karya
satra. Suatu karya sastra bisa hidup tanpa adanya kritikan sastra, sementara
suatu kritikan sastra mustahil hidup tanpa adanya suatu karya sastra.
H.B.Jassin mengutarakan bahwa kritik sastra adalah pertimbangan baik buruk
suatu hasil kesusastraan, yang terkutip dari buku kajian prosa fiksi &
drama (Sugiantomas, 2012:8). Sedangkan Andrea Harjana yang terkutip dari buku
kajian prosa fiksi & drama (Sugiantomas, 2012:8) mengatakan bahwa kritikan
sastra merupakan hasil usaha mencari nilai hakiki karya sastra melalui
pemahaman, penafsiran dengan sistematik dalam bentuk tulisan.
Ada beberapa hal yang menjadi ciri dari kritik satra
yaitu:
1. Tidak
bisa pendek
2. Berbentuk
prosa
3. Bersifat
objektif
4. Bersifat
memberikan penilaian baik buruk karya satra
5. Sistematis
1.3 Sejarah
Sastra
Sejarah sastra
merupakan cabang ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan
sastra suatu bangsa, misalnya sejarah sastra Indonesia. Dalam pengertian dasar
itu tampaklah bahwa objek sejarah sastra adalah segala peristiwa yang terjadi
pada rentang masa pertumbuhan dan perkembangan suatu bangsa. Peristiwa yang
dimaksud dalam sejarah sastra adalah peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan
kesusastara, yaitu yang bersangkutan dengan lahirnya karya-karya sastra,
pengarangnya, kualitas karya, munculnya konsep-konsep baru, serta situasi
sosial-budaya-politik yang melatar belakangi terjadinya peritiwa penting
tersebut. Jadi yang dimaksud sejarah sastra adalah pengetahuan atau uraian
tentang peristiwa kesastraan yang terjadi di masa lampau serta perkembangannya
sampai dengan sekarang.
Menurut K. S Yudiono
(2007:11) yang dikutip dari buku (Jaelani, 2013:10) memaparkan bahwa secara
sederhana dapat dikatakan bahwa sastra Indonesia ialah sastra berbahasa
Indonesia. Sedangkan dari Soemawidagda dalam Surwadadi (1994:13-14)
mengungkapkan pengertian sastra Indonesia sebagai berikut:
1. Ditulis
pertama kalinya dalam bahasa Indonesia.
2. Masalah-masalah
yang dikemukakan didalamnya haruslah masalh-masalah Indonesia.
3. Pengarangnya
haruslah berbangsa Indonesia.
Dan Surwadadi (1994:14) yang dikutip dari buku
(Jaelani, 2013:10) mengungkapkan bahwa sastra Indonesia ialah sastra yang
aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia. Jadi unsur persyaratannya ada dua,
yakni media masa bahasanya bahasa Indonesia dan corak isi karangannya mencerminkan
sikap dan watak Indonesia didalam memandang sebuah masalah.
Berdasarkan uraian diatas, maka kiranya perlu
dibedakan dan ditegaskan beberapa pengertian istilah – istilah seperti berikut
ini:
1. Sastra
indonesia adalah sastra yang diungkapkan dalam bahasa indonesia dan memiliki
ciri – ciri khas budaya indonesia.
2. Sastra
daerah adalah sastra yang diungkapkan dalam bahasa daerah dan memiliki ciri –
ciri khas kebudayaan daerah.
3. Sastra
asing adalah sastra yang diungkapkan dalam bahasa asing dan memiliki ciri –
ciri khas kebudayaan asing.
4. Sastra
terjemahaan adalah sastra yang dihasilkan dari karya satra orang lain yang
sudah ada, dengan cara menerjemaahkan bahasa karya satra itu kedalam bahasa
yang lain.
5. Sastra
seduraan adalah sastra yang dihasilkan dari karya sastra yang sudah ada dengan
car mengungkapkannya kembali dengan gaya bahasa yang lain tanpa mengubah
idenya.
1.4 Sejarah
Sastra Indonesia Periode 1933-1942
Sekitar
tahun 1920 dikenal majalah, dan diantaranya juga yang mwmuat karangan-karangan
berupa cerita, sajak, serta karangan-karangan tentang sastra seperti majalah, Sri Poestaka (1919-1941), Pandji Peostaka (1919-1942), Jong Sumatra (1929-1926), dan
lain-lainnya, tetapi hingga awal tahun 1930-an niat para pengarang untuk
menerbitkan majalah khususnya kebudayaan dan kesustraan belum juga terlaksana.
Tahun 1930 terbit majalah Timboel (1930-1933)
yang awal mulanya dalam bahasa Belanda dan di tahun 1932 terbit edisi bahasa
Indonesia dengan Sanusi Pane sebagai redaktur. Tahun 1932, Sultan Takdir
Alisjahbana bekerja di Balai Pustaka mengadakan rubrik ‘Menuju Kesusastraan
Baru’ dalam majalah Pandji Poestaka. Di tahun 1933, Armijn Pane, Amir Hamzah dan
Sutan Takdir Alisjahbana berhasil mendirikan majalah Poedjangga Baroe
(1933-1942 dan 1949-1953). ). Pada mulanya keterangan resmi tentang majalah itu
berbunyi “majalah kesusastraan dan bahasa serta kebudayaan umum”, tetapi sejak
tahun 1935 berubah menjadi “pembawa semangat baru dalam kesusastraan, seni,
kebudayaan dan soal masyarakat umum” dan sejak 1936 bunyinya berubah pula
menjadi “pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan
persatuan Indonesia”.
Dalam
siaran yang ditanda tangani oleh Armijn Pane, Amir Hamzah dan Sutan Takdir
Alisjahbana menjelang penerbitan majalah tersebut dapat kita baca dari kalimat
: “Dalam zaman kebangunan sekarang inipun kesusastraan bangsa kita mempunyai
tangungan dan kewajiban yang luhur. Ia menjelmakan semngat baru yang memenuhi
masyarakat kita. Ia harus menyampaikan berita kebenaran yang terbayang-bayang
dalam hati esgla bangsa Indonesia yang yakin akan tibanya masa kebesarannya
itu.”
Segeralah
majalah Poejangga baroe menjadi tempat berkumpul kebudayawan,
seniman dan cendekiawan Indonesia. Dalam lingkungan majalah itu munculnya
nama-nama Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Mr. Sumanang, Mr. Amir
Sjarifuddin, Mr. S. Muh. Sjah, Dr. Ng. Poerbatjaraka, W.Z.S Poerwadaminta, H.B.
Jassin, dan yang lainnya sebagai anggota redaksi. Nama- nama itu silih berganti
kecuali Sutan Takdir Alisjahbana yang masih duduk memegang kemudi redaksi.
Sedangkan para pembantunya datang dari segala penjuru tanah air dan berasal
dari segala golongan serta suku bangsa : Dr. M. Amir (Tanjungpura), L.K Bohang
(Jakarta), M.R. Dajoh (Bogor), Fatimah H. Delais (Palembang), Muhammad Dimjati
(Solo), Karim Halim (Padang), Ali Hasjmy (Seulimeum, Aceh), Intojo
(Rangkasbitung), Aoh K.Hadimadja (Parakan Salak), Or. Mandank (Medan), Selasih
(Padangpanjang), Sutan Syahrir (Bandaneira), Suwandhi (Yogyakarta), J.E
Tatengkeng (Ulu-siau), AM. Thahir (Ujungpandang), I. Gusti Njoman P. Tisna
(Singaraja), dan yang lainnya. Majalah Poedjangga
Baru terbit dengan setia meskipunpegorbanan
dan keuletan Sutan Takdir Alisjahban bukan tanpa kesulitan maplahnya sekitar
500 eksemplar setiap terbit dan langganan yang membayar hanya 190 orang
kerugian ditanggung oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane. Ketika
Jepang masuk ke Indonesia majalah Poejangga Baroe segera dilarang terbit
karena dianggap “kebarat-baratan” tetapi setelah Indonesia merdeka majalah ini
diterbitkan kembali oleh Sutan Takdir Alisjahbana dengan staf redaksi diperkuat
dari tenaga muda seperti Chairil Anwar, Rifa’I Apin, Asrul Sani, Achdiat K.
Mihardija, Dodong Djiwapradja, Harijadi S. Hartowadojo, S.Rukiah dan yang
lainnya. . Majalah ini terus terbit sampai tahun 1953 kemudian dihentikan
penerbitannya dan Sutan Takdir Alisjahbana menerbitkan majalah baru bernama Konfrontasi (1954-1962).
Kelahiran
majalah poedjangga baru yang banyak melontarkan gagagsan gagsan baru dalam
bidang kebudayaan itu bukan tidak menimbulkan reaksi. Sutan Takdir Alisjahbana
dalam sebuah esainya dalam tahun pertama (1933) menulis antara lain: “Bahasa
Indonesia ialah bahasa perhubungan yang berabad-abad tumbuh perlahan-lahan
dikalangan penduduk Asia Selatan dan yang setelah bangkitnya pergerakan
kebangunan rakyat Indonesia pada permulaan abad dua puluh dengan insaf diangkat
dan dijungjung sebagai bangsa persatuan” sikap ini menimbulkan reaksi dari para
tokoh baha yang erat berpegang kepada kemurnian bahasa Melayu tinggi. Maka
terjadilah polemic tentang bahasa yang tidak hanya dimuat dalam majalah
pujangga baru saja, melainkan juga meluas dalam surat-surat kabar dan
majalah-majalah yang terbit pada masa itu.
Polemic
golongan pujangga baru dengan kaum tua itu tidak hanya mengenai bahasa saja
karena gerakan pujangga baru bukanlah hanya gerakan bahasa dan sastra belaka.
Juga mengenai soal-soal lainnya seperti kebudayaan, pendidikan, pandangan hidup
kemasyarakatan terjadi polemic yang seru. Sulta Takdir yang pro barat dan
mengatakan bahwa hanya dengan jalan mereguk ilmu dan roh barat dengan
sepuas-puasnya sajalah kita dapat mengimbangi barat, ia berhadapan dengan doctor.Soetomo
(1888-1938), Ki Hadjar Dewantara (1889-1958) dan lain-lain yang hendak
mempertahankan tradisionalisme yang dianggap sebagai kepribadian bangsa.
Sanusipane yang juga turut aktif dalam polemic-polemik itu akhirnya menyatakan
bahwa baginya manusia (Indonesia) baru haruslah merupakan campuran antara Faust
(yang dianggap mewakili roh kerpibadian barat) dengan Arjuna (sebagai wakil roh
kepribadian timur). Sebelumnya Sanusipane dikenal sebagai seorang yang sangat
mempertahankan timur dalam menghadapi Sultan Takdir.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Peristiwa Sastra Periode 1933-1942
1). Lahirnya Majalah ’Pujangga
Baru’.
Majalah mulai dikenal pada tahun 1920 yang
memuat karangan-karangan berupa cerita, sajak. Ada juga karangan-karangan
tentang sastra seperti majalah Sri Poestaka (1919-1941), Pandji
Poestaka (1919-1942), Jong Sumatra (1920-1926). Pada
pertengahan tahun 1930an terbit majalah Timboel (1930-1933) yang mula-mula dalam bahasa
Belanda, kemudian pada tahun 1932 terbit juga edisi bahasa Indonesia
dengan Sanusi Pane sebagai Redaktur. Pada
tahun 1933, Armijn Pane, Amir Hamzah dan Sutan Takdir Alisjahbana berhasil mendirikan
majalah Poedjangga Baroe (1933-1942 dan 1949-1953). Mulanya keterangan resmi
tentang majalah itu berbunyi “majalah kesustraan dan bangsa serta
kebudayaan umum”, tetapi sejak tahun 1935 berubah menjadi ”pembawa semangat
baru dalam kesustraan, seni, kebudayaan, dan soal masyarakat umum”dan tahun
1936 bunyinya berubah pula menjadi “ pembimbing semangat baru yang dinamis
untuk membentuk kebuayaan persatuan Indonesia”.
Tokoh-tokoh yang berkecimpung di
dalam lingkungan majalah Poedjangga Baroe
ialah Sultan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Amir Hamzah, dan J.E Tatengkeng.
2). Pujangga baru yang dilarang
terbit.
Ketika Jepang masuk dan menduduki
Indonesia, majalah Poejangga Baroe ini segera dilarang terbit karena dianggap “kebarat-baratan”.
Tetapi setelah Indonesia merdeka, majalah ini diterbitkan kembali oleh Sutan
Takdir Alisjahbana dan staf redaksi yang diperkuat oleh tenaga muda seperti.
Chairil Anwar, Rivai Apin, Asrul Sani, Achdiat K. Mihardja, Dodong Djiwapradja,
Harijadi S. Hartowardojo ,S. Rukiah dan lain lain.
3). Adanya Polemik.
Polemik golongan pujangga baru
dengan kaum tua itu tidak hanya mengenai bahasa saja, karena gerakan pujangga
baru bukanlah hanya gerakan bahasa dan sastra belaka. Juga mengenai soal-soal
lainnya seperti kebudayaan, pendidikan, pandangan hidup kemasyarakatan terjadi
polemic yang seru. Sutan Takdir yang pro barat dan mengatakan bahwa hanya
dengan jalan mereguk ilmu dan roh barat sepuas-puasnya sajalah kita dapat
mengimbangi Barat, merupakan seorang polemis yang tajam dan bersemangat. Ia
berhadapan dengan Dr. Soetomo (1888-1938), Ki Hajar Dewantara
(1889-1958), yang hendak mempertahankan tradisionalisme yang dianggap sebagai
keprbadian bangsa. Sanusi Pane yang juga turut aktif dalam polemik-polemik itu
akhirnya menyatakn bahwa baginya Manusia (Indonesia) baru haruslah merupakan
campuran antara Faust (yang dianggap mewakili roh kepribadian Barat) dengan
Arjuna (sebagai wakil roh kepribadian Timur).
4). Para
Pengarang Balai Pustaka
Sastra Balai Pustaka tidak muncul
dari masyarakat Indonesia secara bebas dan spontan. Sastra ini dimunculkan dan
diatur oleh pemerintah jajahan Belanda di Indonesia. Sastra ini penuh dengan
syarat-syarat dan ditulis dengan maksud-maksud tertentu, yang akhirnya bermuara
bagi kepentingan politik jajahan. Dari sudut ini dapat dikatakan bahwa sastra
Balai pustaka bukanlah hasil ekspresi bangsa secara murni. seperti yang
dijelaskan oleh Sumardjo (1992:31) bahwa:
Sastra balai pustaka adalah sastra bertendens, yakni sstra yang ditulis untuk maksud-maksud praktis tertentu, dalam hal ini adalah mendidik bangsa Indonesia agar menjadi pegawai negeri yang patuh dan tidak ambisius sehingga ingin menyamai orang-orang belanda.
Balai Pustaka adalah suatu badan yang merupakan penjelmaan dari “Commissie voor de Volkslectuur” atau dalam bahasa indonesianya: “ Komisi Untuk Bacaan Rakyat” yang berkedudukan di Jakarta dan dibentuk oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908. Komisi untuk bacaan rakyat didirikan, juga disebabkan politik ethis Belanda, politik balas jasa, untuk mengambil hati rakyat Indonesia. Tujuan dibentuknya Komisi Bacaan Rakyat ialah:
1. Membendung dan memberantas bacaan cabul yang diedarkan oleh penerbit partikelir.
2. Mencegah beredarnya bacaan yang membahayakan kedudukan pemerintah penjajah belanda.
3. Menjual buku-buku bacaan dengan harga yang semurah-murahnya, agar penerbit partikelir menjadi bangkrut.
4. Menerbitkan buku bacaan yang dianggap bermanfaat bagi kepentingan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia.
Sastra balai pustaka adalah sastra bertendens, yakni sstra yang ditulis untuk maksud-maksud praktis tertentu, dalam hal ini adalah mendidik bangsa Indonesia agar menjadi pegawai negeri yang patuh dan tidak ambisius sehingga ingin menyamai orang-orang belanda.
Balai Pustaka adalah suatu badan yang merupakan penjelmaan dari “Commissie voor de Volkslectuur” atau dalam bahasa indonesianya: “ Komisi Untuk Bacaan Rakyat” yang berkedudukan di Jakarta dan dibentuk oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908. Komisi untuk bacaan rakyat didirikan, juga disebabkan politik ethis Belanda, politik balas jasa, untuk mengambil hati rakyat Indonesia. Tujuan dibentuknya Komisi Bacaan Rakyat ialah:
1. Membendung dan memberantas bacaan cabul yang diedarkan oleh penerbit partikelir.
2. Mencegah beredarnya bacaan yang membahayakan kedudukan pemerintah penjajah belanda.
3. Menjual buku-buku bacaan dengan harga yang semurah-murahnya, agar penerbit partikelir menjadi bangkrut.
4. Menerbitkan buku bacaan yang dianggap bermanfaat bagi kepentingan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia.
Pengarang Balai Pustaka Nur Sutan
Iskandar. Karena ia minat dan perhatiannya kepada dunia karang-mengarang,
meninggalkan kedudukannya sebagai guru dan melamar ke Balai Pustaka. Dan I
Gusti Njoman Pandji Tisna dalam tahun 1935 oleh Balai Pustaka diterbitkan
sebuah roman berjudul Ni Rawit Ceti Penjual Orang yang melukiskan kebengisan
masyarakat feudal di Bali. Dan pengarang-pengarang baru pun muncul sebagai
pengarang roman yang penting seperti I Gusti Nyoman Pandji Tisna, Suman Hs,
Aman Dt. Madjoindo dan lain-lain.
3.2 Karya Sastra dan Pengarang Periode 1933-1942
1.
Sutan Takdir Alisjahbana
Lahir
di Natal pada tahun 1908 ia telah sejak tahun 1929 munjul dalam panggung
sejarah sastra Indonesia yaitu ketika menerbitkan romannya yang pertama
berjudul Tak Putus Dirundung Malang. Roman ini diterbitkan oleh bali pustaka
seperti juga roman-romannya yang lain. Roma kedua yang ditulisnya berjudul Dian
yang Tak Kunjung Padam (1932) dan yang ketiga berjudul Layar Terkembang (1936).
Roman yang berjudul Disarang Penyamun (1941) ditulisnya lebih dahulu daripada
layar terkembang tiga puluh tahun kemudian konon takdir menulis sebauah roman
berjudul Grotta Azzura (gua biru) yang diterbitkan berkenaan dengan hari
lahirnya yang ke 60.
Layar
terkembang merupakan roman takdir yang terpenting. Disini takdir melalui tokoh
Tuti menyampaikan pendapat-pendapan dang pandangan-pandangannya tentang peranan
wanita dan kaum muda dalam kebangunan bangsa. Takdirpun ada juga menulis sajak.
Sajak-sajak yang ditulisnya dekat setelah kematian istrinya yang pertama
diterbitkan sebagai nomor khusus majalah pujangga baru berjudul Tebaran Mega
(1936). Esai-esai takdir tentang sasrta bnyak juga antara yang dimuat dalam
majalah baru, misalnya ‘Puisi Indonesia jaman baru’, ‘Kesusastraan Dijaman
Pembangunan Bangsa’ (1938), ‘Kedudukan Perempuan Dalam Kesusastraan dalam Timur
Bru’ (1941), dan lain-lain. Iapun menyusun dua serangkai bungarampai puisi lama
(1941) dan puisi baru (1946).
2.
Armijn Pane
Organisator pujangga
baru ialah Arjmin Pane, adiknya Sanusi Pane yang tiga tahun lebih muda (Lahir
di Muarasiponi 1908). Tahun 1923 ia mengunjungi sekolah kedokteran (STOVIA dan
kemudian NIAS) tetapi keinginan hatinya tertumpu pada bahasa dan sastra maka ia
pindah ke AMS A-1 (sastra barat) di Solo. Kemudian ia bergerak di surat kabar
dan perguruan kebangsaan. Tahun 1933 ia bersama takdir dan kawan sekolahnya,
Amir Hamzah, menerbitkan majalah pujangga baru.
Armijn terkenal sebagai
pengarang belenggu (1940) yang terbit pertama kali dalam majalah pujangga baru.
Roman ini mendapat reaksi hebat baik dari yang pro maupun yang kontra
terhadapnya.belenggu adalah sebuah Roman yang menarik karena yang dilukiskannya
adalah gerak-gerak lahir tokohnya, tetapi gerak-gerik batinnya. Sebelum menulis
romannya itu, Armoijn menulis cerpen, sajak, esai, dan sandiwara. Cerpennya
‘Barang Tiada Berharga’ dan sandiwaranya ‘Lukisan Masa’ merupakan prototif buat
romannya belenggu.
Cerpen-cerpennya
bersama yang ditulisnya sesudah perang, kemudian dikumpulkan dengan judul kisah
antara manusia (1953). Sajak-sajaknya dengan judul jiwa berjiwa diterbitkan
sebagai nomer istimewa majalah pujangga baru (1939). Dan sajak-sajaknya yang
tersebar, kemudian dikumpulkan juga dan terbit dibawah Gamelan Jiwa (1960).
3.Amir Hamzah
Amir Hamzah (1911-1946)
ialah seorang keturunan bangsawan langkat di Sumatera Timur ia pergi ke sekolah
Jawa, paling akhir sebagai mahasiswa Fakultas Hukum, dengan dibiayai oleh
pamannya yang menjadi Sultan Langkat. Di Jawa ia aktif juga dalam
kegiata-kegiatan gerakan kebangsaan. Amir hamzah sempat mengikat cinta dengan
seorang gadis Jawa. Seakan-akan dia menjadi
tokoh roman adat yang banyak dihasilkan oleh para pengarang dari
Sumatera pada tahun 1920-an dan 1930-an. Iapun bersama dengan Sutan Takdir dan
Armiin Pane mendirikan majalah pujangga baru. Tetapi ia kemudian harus
meninggalkan tapi ia kemudian harus meninggalkan semua itu karena mendapat
panggilan dari pamannya. Ia harus pulang ke Langkat dan menikah salah seorang
putri Sultan Langkat. Dan dengan indah pengalamannya itu diuangkan dalam bentuk
puisi menjadi sekumpulan sajak berjudul Nyanyi Sunyi (1937). Sajak-sajaknya
yang ditulis lebih dahulu, ke,udian diterbitkan berjudul Buah Rindu (1941).
1. J.E
Tatengkeng
J.E Tatengkeng
(1907-1968)sejak semula penyair Sangihe dan beragama Kristen ini merupakan
seorang yang taat bahkan ketika anaknya meninggal selagi bayi ia segera
menganggapnya sebagai kehendak Tuhan yang dihadapinya dengan hati yang merasa
dihibur pula oleh-Nya,seperti dapat kit abaca dalam sajaknya ‘Anakku’. Sajak
itu bersama sajak lain diterbitkan menjadi buku berjudul ‘Rindu Dendam’
(1934)rindu dendam ialah satu-satunya buku J.E Tatengkeng yang pernah terbit
tetapi sebenarmnya masih banyak lagi buah tangannya yang masih berserakan dalam
majalah terutama dalam majalah baru. Ia tergolong kepada pujangga baru berasal
dari Sulawesi yang selamanya tidak pernah hidup di Jakarta.
2. Nur
Sultan Iskandar
Lahir
di Maninjau 1893. Ia seorang pengarang Balai Pustaka dalam arti
sesungguhnya.Roman pertamanya berjudul: Apa Dayaku Karena Aku Perempuan (1922)
diterbitkan oleh swasta, yang kedua Cinta yang Membawa Maut (1926), kemudian
bukunya yang menarik adalah Salah Pilih (1928) dan beberapa lagi adalah: Karena
Mertua (1932), Tuba dibalas dengan Susu(1933), Hulu Balang Raja (1940 yang
terpenting merupakan sebuah roman sejarah yang dikerjakan berdasarkan disertasi
H.
Kroekampde
Westkust en Minang Kabau (1665-1668), Pantai Minang Kabau 91668 terbit 19310,
Katak Hendak Jadi Lembu (1935) yang berlaku dikalangan priyayi sunda di
Sumedang, roman ini gagal diceritakan karena ia tidak mengenal adat Sunda.
Neraka Dunia (1937).
Karangan
Nur Sutan Iskandar yang perlu disebut juga disini adalah Pengalaman Masa Kecil
(1949) dan Ujian Masa (1952), yang keduanya merupakan kenangan otobiografis.
Pengalaman masa kecil menarik hati yang melukiskan pengalaman-pengalaman sampai
ia berusia 15 tahun, ketika ia mulai mengajar di sekolah desa tahun 1908. Ujian
Masa lebih merupakan catatan-catatan tentang peristiwa politik yang terjadi di
Indonesia sejak aksi meliter Belanda pertama sampai awal 1948.
3. I
Gusti Njoman Pandji Tisna
Tahun
1935 oleh Balai Pustaka diterbitkan sebuah roman berjudul Ni Rawit Ceti Penjual Orang yang melukiskan kebengisan masyarakat
feudal di Bali. Buku ini dikarang oleh I Gusti Njoman Pandji Tisna. Dari roman
tersebut kemudian disusul dengan roman yang kedua, berjudul Sukreni Gadis Bali (1936) yang
melukiskan kehidupan masyarakat yang keras dan kejam.
Masalah
hokum karma dikemukakan pula oleh Pandji Tisna di romannya yang ketiga berjudul
I Swasta Setahun di Bedahulu (1938),
roman ini menceritakan kehidupan bali di abad kesepuluh. Di dalamnya melukiskan
kutuk dewata yang harus ditanggung oleh keturunan yang bersangkutan.
Dari
ketiga roman yang telah di terbitkan oleh Balai Pustaka dan hasil karya dari
Pandji Tisna, masih menerbitkan roman pula. Di masa sebelum perang, di Medan
terbit romannya yang berjudul Dewi Karuna
(1938). Dan sehabis perang ia menerbitkan roman yang berjudul I Made Widiadi (Kembali Kepada Tuhan).
Beberapa Pengarang Lain
Tulis Sutan Sati menerbitkan buku
sajak 1928, sebuah roman yang pertama adalah Sengsara Membawa Nikmat, kemudian
menterjemahkan Kaba’ Sabai Nan Aluih (1929) yang ditulis oleh M. Thaib Gelar St
Pamuntjak dari bahasa Minangkabau kebahasa Indonesia. Ia pun menulis dua buah
syair yang pertama berjudul, Syair Siti
Marhumah yang Saleh (1930), dan syair yang kedua berjudul Syarir Rosina (1933). Di samping itu ia
menulis tiga buah roman lagi, yakni Tak
Di Sangka (1929), Memutuskan
Pertalian (1932) , Tidak Membalas
Guna (1932).
Aman Dt. Madjoindo lahir 1896 di
Solok terkenal sebagai pengarang anak-anak roman antara lain berjudul Menebus
Dosa (1932) dan Si cebol Rindukan Bulan (1934). Dan beberapa syair diantaranya:
Syair Si Banso, Gul Bakawali. Dan Aman mengerjakan pula dua buah roman yang
berjudul Rusmala Dewi (1932),danSebabnya Rafi’ah Tersesat (1934).
Suman Hasibuan atau Suman Hs. Lahir
di Bengkalis 1904. Terkenal gaya bahasanya yang lincah dan ringan.
Cerita-ceritanya mirip detektif diantaranya Kasih Tak Terlarai(1929), Percobaan
Setia (1931) dan Mencahari Pencuri Anak Perawan (1932). Dan cerpen-cerpennya di
bukukan dengan judul Kawan Bergelut
(1938). Dan diluar Balai Pustaka Suman menerbitkan roman yang berjudul Tebusan Darah (1939).
Habib St. Mahardja menciptakan
roman yang berjudul Nasib (1932).
Roman di jamannya itu menceritakan sekitaran
tentang kawin paksa, dan berbagai adat kebiasan buruk di lingkungan
daerah.
Roman karangan Haji Said Deang Muntu,
yang dikenal dengan tulisan namanya H.S.D Muntu ialah seorang pemimpin
Muhammadiyah yang terkenal di Sulawesi. Roman ciptaannya berjudul Pembalasan (1935) dan Karena Kerendahan Budi (1941). Dan
menjelang masuknya Jepang, Balai Pustaka menciptakan roman yang berjudul Andang Teruna (1941), yang dikarang oleh
pemuda Jawa bernama Soetomo Djahuar.
Para
Pengarang Wanita
Para pengarang wanita Indonesia
jumlahnya tidak banyak. Pada masa sebelum perang, yang paling dikenal dan
paling penting ialah Selasih atau Seleguri. Keduanya nama samaran Sariamin
(lahir di Tulu, sumatera Utara, tahun 1909) yang menulis dua buah roman dan
sajak-sajak. Kedua buah roman itu ialah Kalau Tak Untung (1933) dan Pengaruh
Keadaan (1937). Sajak-sajaknya banyak dimuat dalam majalah Poedjangga baroe dan
Pandji Poestaka.
Pengarang wanita lain yang juga
pengarang roman ialah hamidah yang konon merupakan nama samaran Fatimah H.
Delais (1914-1953) yang pernah namanya tercantum sebagai pembantu majalah
Poedjangga Baroe dari Palembang. Roman yang ditulisnya hanya sebuah, berjudul
Kehilangan Mestika (1935) yang diceritakan dalam roman itu ialah kemalangan dan
penderitaan pelakunya. Seorang gadis yang mula-mula kehilangan ayah dan
kehilangan kekasih berturut-turut.
Adli Affandi dan Sa’adah Alim
(1898-1968) masing-masing menulis sebuah sandiwara, masing-masing berjudul
Gadis Modern (1941) dan Pembalasannya (1941). Sa’adah Alim disamping itu juga
menulis sejumlah cerpen yang kemudian dibukukan dengan judul Taman Penghibur
Hati (1941). Ia pun menterjemahkan Angin Timur Angin Barat buah tangan
pengarang wanita berkebangsaan Amerika yang pernah mendapat hadiah Nobel 1938,
ialah Pearl S. Buck (lahir 1892).
Pada saat menjelang Jepang datang,
muncul pula Mario Amin (dilahirkan di Bengkulu Tahun 1920). Menulis sajak-sajak
dalam majalah Poedjangga Baroe, tetapi peranannya lebih berarti pada masa
Jepang ketika ia menulis dan mengumpulkan beberapa prosa lirik yang
simbolistis.
Para
Pengarang Dari Sumatra
Melalui usaha penyairnya sendiri dan
penerbit–penerbit swasta kecil-kecilan di sumatra maka terbit beberapa buah
kumpulan sajak yaitu Puspa Aneka buah tangan Yogi. Ali Hasjmy, Surapaty,
Samadi, Bandaharo dan lain-lain.
Hasjmy atau lebih dikenal dengan M. Alie
Hajiem (lahir di Seulimeum Aceh tahun 1914) sajak-sajaknya dimuat dalam majalah
pujangga baru yaitu “Kisah Seorang Pengembara” (1936) memuat 35 buah sajak yang
kebanyakan berbenmtuk soneta. Karyanya yang lain “Dewan Sajak” (1940) di bagi
dalam 7 bagian yang rata-rata setiap bagian pengarang mengungkapkan
pengalaman-pengalamanya. Kesukaran keindahan dan kegembiraan namun dengan cara
yang datar karena tak ada penghayatan hingga karya-karya beliau dinilai tidak
bermutu tinggi.
Hamka ialah putra Haji Abdul Karim
Amrullah, seorang ulama pembaharu Islam yang terkemuka di Sumatra Barat yang
mendapat gelar kehormatan dari Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Karangan
roman Hamka yang pertama ialah Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938),
menceritakan cintara antara kedua sepasang kekasih yang tak sampai karena
terhalang oleh adat. Dan romannya yang kedua berjudul Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1939), mengisahkan cinta yang tak
sampai dihalangi oleh adat Minangkabau yang terkenal kukuh pula. Roman ini
menimbulkan kehebohan, karena ada yang menyebut bahwa roman ini hasil plagiat
Hamka dari sebuah roman karang orang Peranscis Alphonse Karr dan dikagumi oleh
Hamka. Dan selain kedua roman tersebut Hamka juga menulis roman yang berjudul
Karena Fitnah (1938), Tuan Direktur (1939) dan merantau ke Deli (1939).
Tapi sajak-sajak Surapaty lebih rendah
mutunya dari pada karya-karya Hasjmy dan dinilai kurang meyakinkan. Demikian
juga sajak-sajak H.R. Bandaharo (lahir di Medan 1917) diantaranya “Sarinah dan
Aku” (1940). Kemudian sesudah masa pernag ia aktif dalam lembaga kebudayaan
Rakyat (Lekra) dan menerbitkan beberapa kumpulan sajak diantaranya “Dari Daerah
Kehadiran Lapar dan Kasih (1957) dan Dari Bumi Merah.
Lebih bernilai unik diperhatikan ialah
kumpulan sajak Rifa’i ‘Ali (lahir di Padangpanjang tahun1909).
Selain Rifa’I ‘Ali penyair Islam lain
adalah Or. Mandank (lahir di Kotapanjang, Suliki, 1-1-1913). Lewat karyanya
Sebab Aku Terdiam … beliau menyindir ulama-ulama yang banyak memberi fatwa
sedangkan kelakuannya sendiri bertentangan dengan apa yang difatwakannya.
karya-karya Dr.Mandank yang lain ialah Pantun Orang Muda (1939).
Penyair terpenting yang menerbitkan
sajaknya di Medan sebelum perang ialah Sumadi atau Anwar Rasjid (lahir di
Maninjau 18 –11-1918). Kumpulan sajak beliau yang berjudul Senandung Hidup
(1941).
Tak ubahnya dengan para penyair masa itu, Samadi pun bersajak kepada tanah airnya yang disebutnya dengan “Ibuku” dan sajaknya yang berjudul ‘Angkatan Baru’ ia sadar sebagai pemuda ia memiliki peranan dan tugas menghadapi hari siang. Ia memandang dirinya sbagai Pengembara, kelana, Pedang yang mengalami berbagai kemalangan.
Tak ubahnya dengan para penyair masa itu, Samadi pun bersajak kepada tanah airnya yang disebutnya dengan “Ibuku” dan sajaknya yang berjudul ‘Angkatan Baru’ ia sadar sebagai pemuda ia memiliki peranan dan tugas menghadapi hari siang. Ia memandang dirinya sbagai Pengembara, kelana, Pedang yang mengalami berbagai kemalangan.
Dasar keagamaan pada penyair ini tidak
pernah lepas, ia senantiasa ingat akan Tuhan, ia sadar dan kian ikhlas
berjuang, katanya dalam sajaknya “Jangan Di kenang”. Sajak-sajaknya yang lain
berjudul Aku Kembali Kekasih …….’ Ia melukiskan pertemuannya kembali dengan
Tuhan setelah ia mengembara ke mana-mana merasa rindu dan “Selalu Sangsi Atas
Cintamu”. Ia kemudian sadar, BETAPA GERANG AKAN JADINYA?, ASAL TAK HINA DISISI
TUHAN.
Semua hal yang terkandung dalam puisi
itu menyebabkan penyair akhirnya yakin akan kebenaran jalan yang benar, hidup
baginya hanyalah mencari ridho ilahi semata.
Penyair ini hilang tak berbekas di
tengah-tengah pergolakan perang saudara yang berkecamuk di Sumatera sekitar
tahun 1957-1958 (PRRI).
3.3 Karakteristik Karya Sastra Periode 1933-1942
3.3.1 Puisi
Memuji
Dikau
Kalau
aku memuji dikau, dengan mulut tertutup, mata tertutup,
Sujudlah
segalaku, diam terbelam, didalam kalam asmara raya.
Turun
kekasihmu, mendapartkan daku duduk bersepi, sunyi sendiri.
Dikucupnya
bibirku, dipautnya bahuku, digantunginya leherku, hasratkan suara sayang
semata.
Selagi
hati bernyanyi, sepanjang sujud semua segala, bertindih ia pada pahaku, maminum
ia akan suaraku….
Dan,
Iapun
melayang pukang,
Semata
cahay,
Lidah
api dilingkung kaca
Menuju
restu, sampan sentosa.
(Hamzah, 2008: 17)
Analisis Unsur Intrinsik
1. Tema
Tema yang terkandung
dalam puisi diats ialah tentang kecintaan terhadap Tuhan. Seperti pada bait
pertama.
“Kalau aku memuji dikau, dengan mulut
tertutup, mata terkatup”. (Hamzah, 2008:17)
2. Feeling
atau rasa
Rasa yang terkandung
dalam puisi diatas ialah cinta, cinta dalam arti kencintaan terhadap Tuhan seperti
dalam kutipan puisi
“Selagi hati bernyanyi, sepanjang sujud
semua segala”. (Hamzah, 2008:17)
3. Imajinasi
Pengarang dalam puisi
ini menggunakan imajinasi taktil atau perasaan seperti dalam kutipan puisi
“turun kekasihmu,
mendapatkan daku duduk bersepi sunyi sendiri”. (Hamzah, 2008:17)
dan menggunakan
imajinasi visual atau penglihatan seperti dalam kutipan pusi “Ia pun melayang
pulang”
“Semata cahaya”
“Lidah api dilingkung
kaca” (Hamzah, 2008:17)
4. Gaya
bahsa
Gaya bahasa yang
digunakan dalam puisi diatas ialah gaya bahasa personifikasi yaitu gaya bahasa
yang menggambarkan benda-benda mati yang tidak bernyawa menjadi seolah-olah
memiliki sifat manusia. Seperti dalam kutipan puisi.
“Selagi hati bernyanyi,
sepanjang sujud semua segala
bertindih ia pada pahaku
meminum ia akan suaraku” (Hamzah, 2008:17)
J.E Tatengkeng
Anakku
Engkau datang menghintai hidup
Engkau datang menunjukkan muka
Tapi sekejap matamu kau tutup,
Melihat terang anaknda tak suka.
Mulut kecil tiada kau buka,
Tangis teriakmu tak kan diperdengarkan
Alamat hidup wartakan suka,
Kau diam, anakku, kami kau tinggalkan.
Sedikitpun matamu tak mengerling,
Memandang ibumu sakit berguling
Air matamu tak bercucuran,
Tinggalkan ibumu tak berpenghiburan.
Engkau datang menunjukkan muka
Tapi sekejap matamu kau tutup,
Melihat terang anaknda tak suka.
Mulut kecil tiada kau buka,
Tangis teriakmu tak kan diperdengarkan
Alamat hidup wartakan suka,
Kau diam, anakku, kami kau tinggalkan.
Sedikitpun matamu tak mengerling,
Memandang ibumu sakit berguling
Air matamu tak bercucuran,
Tinggalkan ibumu tak berpenghiburan.
1.
Tema
Tema yang
terkandung dalam puisi diatas ialah duka ditinggal seorang anak, seperti dalam
kutipan puisi
“Mulut kecil
tiada kau buka,
Tangis teriakmu
takkan terdengar
Alamat hidup
wartakan suka
Kau diam,
anakku, kami kau”
2.
Feeling
atau rasa
Rasa yang
terkandung dalam puisi diatas ialah tentang kesedihan seorang ayah yang
ditinggalkan oleh anaknya seperti dalam kutipan puisi
“Air matamu tak
bercucuran
Tinggalkan ibumu
tak berpenghiburan”
3.
Imajinasi
Dalam puisi ini
penyair menggunakan imajinasi taktil atau perasaan seperti dalam kutipan puisi
“Kau datang
menghintai hidup
Kau datang
menunjukan luka”
dan juga
menggunakan imajinasi audio atau pendengaran seperti dalam kutipan puisi
“Tangis teriakmu takkan diperdengarkan”
imajinasi visual juga terkandung dalam puisi ini seperti dalam kutipan puisi
“Sedikitpun
matamu tak mongering
Memandang ibumu
sakit berguling”.
4.
Gaya
bahasa
Gaya bahasa yang
digunakan dalam puisi ini ialah gaya bahasa metonimia gaya bahasa yang
mempergunakan subah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai
pertalian yang sangat dekat. Seperti dalam kutipan puisi
“Sedikitpun
matamu tak mengerling
Memandang ibumu
sakit berguling”
Karakteristik
persamaan kedua pengarang diatas Amir Hamzah dan J.E. Tatengkeng, kedua penyair
ini merupakan seorang yang taat kepada tuhannya seperti Amir Hamzah yang
beragama islam taat kepada ajaran-ajaran yang ada diagama islam dan J.E.
Tatengkeng sendiri beragama Kristen yang sama pula taat pada ajarannya. Seperti
dalam puisi J.E. Tatengkeng yang berjudul anaku, ia menganggap itu sebagia
kehendak Tuhan yang dihadapinya dengan hati yang merasa dihibur pula olehnya.
Perbedaan
dari kedua puisi diatas terletak pada objek yang dikajinya, seperti Amir Hamzah
yang mengambil Tuhan sebagai objeknya dan J.E Tatengkeng mengambil nama anaknya
sebagai objeknya namun pada dasarnya dari puisi J.E. Tatengkeng menganggapnya
sebagai kehendak Tuhan.
Dan dari romannya pada periode ini banyak menggunakan
bahasa melayu di lihat dari tema roman kalau tak untung dan kehilangan mestika
memiliki kesamaan yaitu kedua tema roman ini tentang kasih tak sampai dan
kebanyakaan berisi tentang perjodohan selain itu roman dalam periode ini sangat
kental sekali dengan kebudayaannya yaitu melayu seperti budaya padang dan
minagkabau.
3.3.2 Prosa Fiksi
1. Roman ‘Layar Terkembang’ karya
Sutan Takdir Alisjahbana
1)
Tema
Tema
dalam roman ini adalah perjuangan wanita Indonesia mencapai cita-citanya. Hal
tersebut dapat dilihat pada kutipan:
“....sesungguhnyalah
hanya kalau perempuan dikembalikan derajatnya sebagai manusia, barulah keadaan
bangsa kita dapat berubah. Jadi, perubahan kedudukan perempuan dalam masyarakat
itu bukanlah semata-mata kepentingan perempuan”. (Alisjahbana,1999:40).
2) Alur dan Plot
Roman
ini menggunakan alur kronologis atau alur progresif. Yaitu alur cerita yang
bergerak urut dari awal hingga akhir tulisan.
3) Tokoh dan Perwatakan
a. Maria:
anak Raden Wiriatmaja, seseorang yang mudah kagum, mudah memuji dan periang.
Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan:
“....sebaliknya
Maria seorang yang mudah kagum, yang mudah memuji dan memuja. Sebelum selesai
benar ia pikir, ucapannya telah keluar menyatakan perasaannya yang bergelora,
baik waktu kegirangan maupun waktu kedudukan”. (Alisjahbana,1999:2)
b. Tuti:
anak Rade Wiriatmaja, seorang yang aktif dalam berbagai kegiatan wanita, selalu
serius, pandai dan pintar dalam mengerjakan sesuatu. Hal tersebut dapat dilihat
pada kutipan:
“....Tuti bukan
seorang yang mudah kagum, yang mudah heran melihat sesuatu. Keinsaafannya akan
harga harga dirinya amat besar. Ia tahu bahwa ia pandai dan cakap serta banyak
yang akan dapat dikerjakannya dan dicapainya”. (Alisjahbana,1999:2)
c. Yusuf:
putra Damang Munaf, seseorang mahasiswa kedokteran yang pandai dan baik hati.
Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan:
“....tetapi
rupanya seorang setuden Sekolah Tabib Tinggi. Kami bertemu dengan dia tadidi
akuarium dan dari sana kami pulang bersama-sama”. (Alisjahbana,1999:11)
d. Wiriatmaja:
ayah dari Maria dan Tuti, seorang yang memegang teguh agama, baik hati dan
penyayang. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan:
“....sebagai
seorang yang besar dalam didikan cara lama, tetapi tiada menutup matanya kepada
perubahan yang berlangsung setiap hari dalam pergaulan, kabar-kabur terasa kepadanya
bahwa telah demikianlah kehendak zaman”. (Alisjahbana,1999:11)
“....memaksa
anaknya itu menurut kehendaknya tiada sampai hatinya sebab sayangnya kepada
Tuti dan Maris tiada terkata-kata”.(Alisjahbana,1999:12)
“....Wiriatmaja
masuk pula meninggalkan anak-anak muda bertiga itu, di halaman akan pergi
bersembahyang”. (Alisjahbana,1999:28)
e. Partadiharja:
adik ipar Wiriatmaja, seseorang yang baik hati, teguh pendirian dan peduli
antar sesama. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan:
“....tiada
menurut nasehat orangtua itulah yang akhirnya terjerumus. Dan kemudian hari ia
akan menyesal. Coba kita lihat nanti”. (Alisjahbana,1999:27)
f. Supomo:
seorang guru muda baik hati, sopan, dan pandai bergaul. Hal tersebut dapat
dilihat pada kutipan:
“....ia telah
menghargai Supomo dalam hatinya: orang yang baik hati, lemah lembut dan sopan
dalam pergaulan”. (Alisjahbana,1999:112).
4).
Gaya Bahasa
Roman
ini menggunakan gaya bahasa personifikasi dan banyak menggunakan bahasa Melayu.
Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan:
“....gadis
berdua ituadik dan kakak, hal itu terang kelihatan pada air mukanya”. (Alisjahbana,1999:1)
“....sekalian
perkataan itu melancar dari mulutnya sebagai air memancar dari celah gunung.”
(Alisjahbana,1999:2)
“....air
mata dan gelak berselisih di mukanya sebagai siang dan malam”. (Alisjahbana,1999:2)
5). Amanat
Perempuan harus
memiliki pengetahuan yang luas sehingga dapat memberikan pengaruh yang sangat
besar di dalam kehidupan berbangsa dengan itu, perempuan dapat lebih dihargai
kedudukannya di masyarakat.
Hal tersebut dapat
dilihat pada kutipan :
“....Tuti
yang mengatakan bahwa tiap-tiap manusia harus menjalankan penghidupannya
sendiri, sesuai dengan deburan jantungnya, bahwa perempuan harus mencari
bahagianya dengan jalan menghidupkan sukmanya”. (Alisjahbana,1999:11)
2.
Roman ‘Kalau Tak Untung’ karya Selasih
1. Tema
Tema yang terkandung dari roman ‘Kalau
Tak Untung’ karya Selasih ialah kasih tak sampai. Dapat dilihat dari kutipan:
“Sekarang kudoakan saja mudah-mudahan
berbahagia hidup kakanda sepeninggal adinda.
Lupakanlah adinda dan carilah gadis yang
lain pengganti adinda.” (Selasih, 2001:155)
2. Alur
atau Plot
Alur dari roman ‘Kalau Tak Untung’ karya
Selasih ini ialah alur konvensional. Karena susunan cerita didalam roman ini
berurutan dari awal samapai akhir cerita.
3. Tokoh
dan Perwatakan
1) Rasmani
Memiliki watak yang pemalu.
Perwatakannya digambarkan dengan cara tak langsung, dengan menggambarkan
perbuatan dan tingkah laku reaksi tokoh dalam suatu kejadian. Terlihat dari
kutipan dalam roman yang berbunyi
“Rasmani memandang kepada Masrul dengan
kemalu-maluan. Rupanya ia belum kenal kepada Masrul, pikiran anak itu dapat
diterka oleh ibu Rasmani.” (Selasih, 2001:11)
2) Dalifah
Memliki watak yang penyayang. Dilihat
dari cara langsung atau analitik. Dapat dibuktikan dari kutipan
“Dalifah pergi ke dapur, diambilnya
garam sedikit, digilingnya halus-halus, digaraminya nasi Rasmani. Iba benar
rupanya hati Dalifah melihat adiknya makan dengan garam itu.” (Selasih,
2001:10)
3) Ibu
Rasmani
Memliki watak yang bijak sana. Dilihat
dengan cara tak langsung, dengan menggambarakan melalui tokoh dialog. Dilihat
dari kutipan
“Jangan itu pula yang kakanda rusuhkan,
kalau tak dapat akan kita apakan jua, kain anak-anak tak sampai sebelit badan,
makan asal jangan mati kelaparan saja.” Kata ibu rasmani. “(Selasih, 2001:11)
4) Bapak
Rasmani
Wataknya penyanyang. Dilihat dari cara
tak langsung, dengan menggambarkan melalui dialog tokoh. Dapat dibuktikan dari
kutipan yang berbunyi
“Iba hati saya melihat anak itu, tiap
hari saja iya berhujan-hujan. Akan disuruh tempoh belajar tak mungkin, pertama
ia akan ketinggalan dari kawannya, baik di sekolah pagi atau pun di sekolah
mengaji; kedua tentu kita mengajar ia malas.” (Selasih, 2001:11)
5) Masrul
Wataknya penolong. Dengan cara tak
langsung, melalui tokoh dialog. Dilihat dari kutipan yang berbunyi
“Etek, biarlah Rasmani berjalan dengan
saya, pulanglah Etek! Rasmani, marilah berjalan dengan saya, buangkanlah daun
pisangmu!”
4. Gaya
Bahasa
a. Personifikasi
1. “Kain
anak-anak tak samapi sebelit badan.” (Selasih, 2001:11)
2. “Jika
bunda hilang tengah malam, tubuhnya busuk terguling seorang. Jika bapak mati
tengah hari, bangkainya terguling ditengah jalan.” (Selasih, 2001:23)
b. Metonimia
1. “Bercucranlah
air matanya.” (Selasih, 2001:25)
2. “Mukanya
berserk-seri dan matanya bercahaya-cahaya.” (Selasih, 2001:50)
c. Epitet
1. “Hanya
mata terikat oleh bunga yang dijalan itu.” (Selasih, 2001:53)
5. Amanat
1) Amanat
Khusus
a. Tentang
Percintaan
Jangan menyianyiakan orang yang kita
cintai. Terlihat dari kutipan
“Hukuman atas orang yang menyianyiakan
cinta. Hukuman atas orang yang tak menghargai kasih sayang.” (Selasih,
2001:156)
2) Amanat
Umum
a. Tentang
Agama
Selalu ingat kepada Tuhan ketika
mendapatkan cobaan.
“Masrul, marilah kita pergi kerumah
Dalifah. Ia amat bersusah hati. Mudah-mudahan melihat engkau terhibur hatinya
sedikit. Sabarlah, dan ingatlah akan Tuhan. Tiap-tiap orang mendapat cobaan.”
(Selasih, 2001:149).
3)
Roman ‘Hulubalang Raja’ karya Nur Sultan Iskandar
1. Tema
Tema
dalam novel hulubalang ini adalah tentang perjuangan mempertahankan kemerdekaan
dan kesejahteraan tanah air.
2. Alur dan Plot
Alur
dalam novel hulubalang raja ini adalah alur konvensional (berurutan) dari mulai
pengisahan sampai akhir.
3. Tokoh dan
Perwatakan
1)
Ali akbar
Watak
atau sifat tokoh ali akbar adalah sopan, ini terbukti dari dialognya dengan kedua orang tuanya pada
kutipan yang berbunyi:
“………. Ampun,
Ayah dan Bunda! Sesungguhnya sesuatu apapun tak ada yang kurang dari hamba,
cukup lengkap pemberian Ayah dan Bunda kepada hamba. ” (Iskandar, 2008:10)
2). Kemala Sari
Watak
atau sifat tokoh kemala sari adalah licik ini terbukti dari tingkah lakunya
yang diceritakan oleh penulis pada kutipandalam sebuah keadaan
“…….... sedang Ambun suri mandi sedemikian, sedang ia
lalai lengah diayun buaian bunyi kecimpungnya yang beragam itu, putrid kemala
sari menjalankan akal budi dan tipu muslihatnya. Ia hendak membinasakan bakal
madunya. Lambat - laun ia berjalan ketepi pasir kedekat mundam ambun suri
terletak itu. Sekonyong – konyong ia berbuat seakan-akan tersandung: disepaknya
mundam itu sekuat-kuat tulangnya, lalu terlayang kedalam air. Hanyut dibawa
arus! Setelah itu ia pun segera beralih tegak ketempat lain, ke atas batu karang
yang terjojol.” (Iskandar, 2008:23)
3).
Raja Hulu (Ayah ali Akbar)
Watak
atau sifat tokoh Raja hulu adalah perhatian ini tergambar dari dialognya pada
kutipan yang berbunyi:
“………. Heran, kata Raja di hulu kepada istrinya, dalam
sepekan ini hamba lihat Ali Akbar bermenung berdiam diri saja,sepatahpun ia
tidak berkata-kata.” (Iskandar, 2008:9)
4). Ambun
Suri
Watak atau sifat tokoh Ambun Suri adalah
keras kepala(tidak mau mendengar nasihat orang) ini terlihat jelas dari
dialognya bersama dayang kepercayaannya pada kutipan yang berbunyi:
“………. kembang, Kata ambun suri dengan berang, sekali aku berkata, elok kau turutkan saja.
Jangan engkau berpanjang bicara, melambatkan kami akan berjalan.” (Iskandar,
2008:21)
4. Gaya Bahasa
Gaya
bahasa yang digunakan oleh pengarang adalah metonomia ini bisa dilihat dari
kutipan dialog tokoh pada kutipan
“……….
daripada berputih mata lebih baik berputih tulang” (Iskandar, 2008:31)
5. Amanat
a.Amanat
umum
Untuk
mencapai suatu maksud atau mencapai suatu keinginan kita janganlah bertindak
semena-mena dan apalagi dengan melakukan kekerasan. Amanat ini saya kutip dari
dialog tokoh pada halaman 122 yang berbunyi
“……….
Tuan ingat, Bandarsepuluh bukan negri
kecil dan rakyat bukan semacam orang yang boleh dipermain-mainkan saja! Tiku
dan pariman sudah terlepas dari tangan, indrapura sedang diancam raja Adil,
sekarang Tuan hendak mencari-cari musuh
besar pula! Tidak, dengan kekerasan demikian tidak akkan tercapai maksud kita,
Tuan.” (Iskandar, 2008:122)
4).
Roman ‘Di Bawah Lindungan Ka’bah’ karya Hamka
1.
Tema
Tema
dalam roman ‘Di Bawah Lindungan Ka’bah’ ini ialah tentang cerita cinta antara
Hamid dan Zainab yang tak dapat bersatu karena perbedaan status sosial diantara
keduanya, dan tak dapat bersatu ketika cinta bicara karena terpisahkan oleh
jarak dan maut. Dapat dilihat dari kutipan berikut:
“…......Mustahil dia akan dapat menerima
cinta saya karena dia langit saya bumi. Bangsanya tinggi dan saya hidup darinya
tempat buat lekat hati Zainab. jika datang waktunya orang tuanya bermenantu,
mustahil pula saya akan termasuk dalam golongan orang yang terpilih menjadi
menantu Engku Haji Ja’far. Karena tidak ada yang akan akan diharapkan dari
saya. Tetapi Tuan ... kemustahilan itulah yang memupuk cinta.” (HAMKA,
2011:24).
2.
Alur atau Plot
Alur
yang terdapat di roman ini dikatak alur sorot balik atau yang disebut flas back
3.
Tokoh atau Perwatakan
1) Hamid, mempunyai
watak rendah hati, saleh, penyabar, dan pendiam.Hal tersebut di atas
digambarkan oleh pengarang dari cara tak langsung, dilihat dari kutipan:
“............Sifatnya
pendiam, suka bernmenung seorang diri dalam kamarnya itu.” (HAMKA, 2011:5).
2) Zainab,mempunyai
watak pemalu dan penurut, dia juga bukan seorang yang sombong. Dilihat dari
kutipan berikut:
“…………Apa perintah ibunya diikutinya dengan patuh.
Rupanya ia amat disayangi karena anaknya hanya seorang itu.” (HAMKA, 2011:14).
3) Ibu, memiliki watak
yang rendah hati, dan menerima apa pun yang telah terjadi dengan ikhlas.
Terlihat dari kutipan,
“……….Ibu kelihatan tidak putus harapan. Ia
berjanji aknan berusaha kelak saya menduduki bangku sekolah.HAMKA (20011:12).
4) Mak Aisah, memliki
watak yang baik, dan tidak sombong, serta pengasih ke sesame. Dapat dilihat
dari kutipan berikut:
“……….Bahkan ibuku dipandangnya sebagai
saudaranya. Segala perasaian dan penanggungan ibu didengarnya dengan tenang dan
mukanya yang rawan.” (HAMKA, 2011:16).
5) Engku Haji Ja’far,
memiliki watak yang dermawan, pengasih, serta rendah hati. Dilihat dari
kutipan, berikut
“……….Saya, tidak beberapa bulan setelah tamat
sekolah, berangkat ke Padang Panjang, melanjutkancita-cita ibu saya karena
kedermawanan Engku Haji Ja’far juga. (HAMKA, 2011:21).
4.
Gaya Bahasa
1) Gaya bahasa asosiasi
“...............
Setelah melayap laksana satu bayangan, ia pun hilang dan tidak akan kembali
lagi.” (HAMKA, 2011:39).
2) Gaya bahasa hiperbola
a. “....... Saya karam dalam
permenungan.”(HAMKA, 2011:32).
b.
“....... Saya patahkan hati anaknya yang hanya satu.” (HAMKA, 2011:40).
5.
Amanat
Janganlah
berputus asa dalam kondisi apapun dan belajarlah untuk tidak menjadi seorang
yang sombong dan yang dapat memahami perasaan orang lain. Hal tersebut dapat
dilihat dari keadaan Hamid yang hidup dalam kemiskinan dan tak ragu untuk
berusaha dengan menjual kue buatan ibunya. Seperti halnya Engju Haji Ja’far
yang seorang hartawan, hartawan yang juga berasal dari seorang yang miskin,
akan tetapi dia tak putus dalam berusaha hingga keuntungan menghampiri hidupnya.
Ia juga seorang yang tak lupa dengan fakir dan miskin disekitarnya.
Dan
halnya Mak Asiah, yang memahami keadaan Hamid yang seorang miskin. Hingga Engku
Haji Ja’far menyekolahkannya dengan biaya dari dirinya.
Hamid
seorang yang berperasaan dimana ia lebih mementingkan permintaaan dari seorang
perempuan tua yakni Mak Asiah, dan mengesampingkan perasaannya yang bertolak
belakang dengan keinginan hatinya.
3.3.3 Drama
‘Airlangga’Drama Dalam Tiga Babak
karya Sanoesi Pane
1. Tema
Tema yang terdapat di naskah drama
Airlangga ini ialah pertentangan antara anak dengan ayahnya yang member tahta
menjadi raja karena si anak belum memiliki suami. Tetapi saat di jodohkan tetap
anaknya tidak mau. Dapat dilihat dari kutipan dialog sebagai berikut:
“…………
Sabggrama Wijayattunggadewi
Bapak, memikirkan saja menyebabkan saya
gemetaran
Tak pernah saya akan duduk di singgasana
Kahuripan
Tidak kuat saya punya semangat.
Arya Bharad
Paduka Yang mulia!
Sanggrama Wijayattunggadewi
Hanya dalam kesepian ada ketenangan bagi
saya:
Saya ingin menjadi seorang pertapa,
tanpa kesukaran, tanpa derita.
Arya Bharad
Apakah Anda maksudkan, bahwa dalam
kesombongan pengasingan diri,
Dalam keangkuhan membisu Anda dapat
mengabdi?
Kebebasan untuk diri sendiri mudah
didapatkan,
Tetapi katakana kepada saya: bagi orang
lain apakah faedah Anda,
Bila kesusahan duniawi tidak Anda
dengarkan?
Oleh karena telah ditakdirkan menjadi
ratu
Suatu bidang kerja yang luas tersedia
begai Anda.
Saya mohon kepada Anda atas nama ratusan
ribu
Yang Mulia: kuatkan diri Anda, dan
laksankanlah dharma,
Yang dibebankan di bahu Anda.”
(Pane, 2000:13-14)
“……….
Airlangga
Anda sekalian, yang hadir di sini!
Hari ini adalah hari
Yang Mulia putrid mahkota secara resmi
Memberitahukan kepada kita semua
Keputusannya untuk menerima atau tidak menerima
Lamaran pangeran dari Daha.
(Sejenak
lamanya raja berdiam diri)
Yang
Mulia, kami mohon Anakda berbicara.
Sanggrama Wijayattunggadewi
(Sambil membuat sembah)
Paduka,
Anakda memahami benar-benar, apa artinya
penolakan
Bagi kerajaan Kahuripan.
Dengan demikian anakda sungguh-sungguh
mengerti
Apa yang diperintahkan oleh kewajiban
kepada anakda untuk berbuat,
Namun demikian, Paduka, namun demikian
anakda tidak berdaya
Mengikuti kehendak Raja dan Rakyat
Airlangga
Jadi jawaban Anakda, Yang Mulia, adalah
menolak.
Sanggrama Wijayattunggadewi
Demikianlah adanya, Paduka Yang Mulia!
Airlangga
(Kepada
para hadirin, yang, kecuali Narottama, telah mendengar keputusan itu dengan
terharu)
Anda sekalian, Anda mendengarnya: putrid
mahkota menolak,
Menolak, walaupun rakyat telah meminta
dengan mendesak
Seorang ratu perawan, Yang Mulia, di
atas singgasana
Kahuripan, tidak membawa rakhmat kepada
Jawadwipa
Sanggrama
Wijayattunggadewi
Paduka, anakda memahaminya. Oleh
karenanya anakda, telah memutuskan,
Bukankah tak mungkin lain dapat
dilakukan --- untuk meletakan
Jabatan keputrian mahkota.
Airlangga
(bangkit terkejut)
Sanggrama!
Sanggrama Wijayattunggadewi
Raja dan Ayahanda
Katakanlah kepada anakda, dapatkah nakda
berbuat lain daripada itu?
Tidakkah kewajiban memerintahkan begitu
kepada anakda?”
(Pane, 2000:31-33).
Dari kutipan itu terlihat pertentangan
yang diberikan Sanggrama Wijayattunggadewi terhadapa ayahnya airlangga. Dan di
akhirnya tahta Raja Kediri di berikan kepada Pangeran Termuda sedangkan Pangeran Tertua
sebagai Raja Janggala.
“……….
Kepala
Mazhab Wisynu
Atas nama semua penyembah
Dari Wisynu yang tinggi,
Saya menyucikan Anda menjadi Raja
Janggala
Dan Anda menjadi Raja Kediri.
Rakhmat Tuanku Buddha
Semoga
terletak pada diri Anda dan bangsa Anda.”
(Pane,
2000:67)
BAB
IV
KESIMPULAN
Peristiwa yang terjadi
dalam kesustraan Indonesia pada periode 1933-1942 ialah lahirnya majalah Poejangga Baroe yang didirikan oleh
Armijn Pane, Amir Hamzah dan Sutan Takdir Alisjahbana pada tahun (1933-1942)
dan 1949-1953). Pada mulanya keterangan resmi tentang majalah itu berbunyi
“majalah kesusastraan berbahasa dan bahasa bangsa serta kebudayaan umum” tetapi
sejak tahun 1935 berubah menjadi “pembawa semangat baru dalam kesastraan, seni,
kebudayaan dan soal kemasyarakatan” dan sejak 1936 bunynya berubah pula menjadi
“pembimbing semangat baru untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia”. Namun ketika Jepang masuk dan menduduki
Indonesia, majalah Poejangga Baroe ini segera dilarang terbit akrena dianggap
“kebart-baratan” tetapi setelah Indonesia merdeka majalah ini diterbitkan
kembali oleh Sutan Takdir Alisjahbana dengan staf redaksi yang diperkuat dengan
tenaga-tenaga muda. Kelahiran majalah Poejangga
Baroe yang banyak melontarkan
gagasan-gagasan baru dalam bidang kebudayaan menimbulkan reaksi keberaniannya
nenandaskan bahwa bahasa Indonesia bukanlah bahasa Melayu menimbulkan berbagai
reaksi, Sutan Takdir Alisjahbana dalam esainya menulis antara lain : “bahasa Indonesia
adalah bahasa perhubungan yang berabad-abad tumbuh perlahan-lahan dikalangan
penduduk Asia Selatan dan yang setelah bangkitnya pergerakan kebangunan rakyat
Indonesia pada permulaan abad 20 dengan insaf diangkat menjunjung sebagai
bahasa persatuan”. Sikap ini menimbulkan reaksi dari para tokoh bahasa maka
terjadilah polemik tentang bahasa yang tidak hanya dimuat dalam majalah Poejangga Baroe saja, melainkan juga meluas dalam surat-surat
kabar dab majalah-majalah yang terbit pada masa itu. Polemik golongan Poejangga Baroe dengan kaum tua itu tidak mengenai bahasa
saja, juga mengenai soal-sola lainnya seperti kebudayaan, pendidikan, pandangan
kemasyarakatan. Snusi Pane yang juga turut aktif dalam polemik itu akhirnya
menyatakan bahwa baginya manusia (Indonesia) baru harus merupakan campuran
antara faust (yang dianggap mewakili roh kepribadian barat) dengan Arjuna
(sebagai wakil roh kepribadiaan timur).
Namun pada periode ini
melahirkan tokoh-tokoh Poejangga Baroe beserta karya-karyanya yaitu : Sutan Takdir
Alisjahbana yang menerbitkan romannya yang pertama berjudul Tak Putus di Rundung Malang. Roman ini
diterbitkan oleh balai pustaka dan yang kedua romannya berjudul Dian yang Tak Kunjung Padam (1932) dan
yang ketiga berjudul Layar Terkembang (1936). Roman yang berjudul Anak Perawan di Sarang Penyamun (1941)
ditulisnya lebih dahulu daripada layar terkembang. Takdir pun menulis sajak,
sajak pertama yang berjudul Tebaran Mega yang
dimuat dalam Poejangga Baroe dan
esai-esai Takdir yang dimuat dalam majalah Poejangga
Baroe, misalnya “puisi Indonesia zaman baru”, ‘keusastraan di zaman
pembangunan bangsa’ (1941). Ia pun menyususn dua serangakai bunga rampai puisi
lama (1941) dan puisi baru (1946).
Yang kedua adalah Armijn
Pane yang terkenal sebagai pengarang roman Belenggu (1940) yang terbit pertama
kali dalam majalah Poejangga Baroe. Dan
Armijn Pane banyak menulis cerpen, sajak, esai, dan snadiwara. Cerpennya
‘barang tiada berharga’ dan sandiwaranya ‘lukisan masa’ cerpen-cerpennya
dikumpulkan dengan judul kisah antara manusia (1993) sedang
sandiwara-sandiwaranya dikumpulkan dengan judul jinak-jinak merpati (1954).
Sajak-sajaknya dengan berjudul jiwa-berjiwa diterbitkan sebagai nomor istimewa
majalah Poejangga Baroe (1939) dan
sajak-sajak yang tersebar dikumpulkannya di bawah judul Gamelan Jiwa (1960).
Yang ketiga ialah Amir
Hamzah yang menuangkan pengalaman dalam bentuk puisi, menjadi sekumpulan sajak
berjudul Nyanyi Sunyi (1937) kemudian dikumpulkan dan diterbitkan dengan judul
Buah Rindu (1941).
Dan masih banyak lagi
tokoh-tokoh Pojangga Baroe yang banyak melahirkan karya sastra seperti
roman, sajak, esai dan lain-lain.
Dan dari romannya
pada periode ini banyak menggunakan bahasa melayu di lihat dari tema roman
kalau tak untung dan kehilangan mestika memiliki kesamaan yaitu kedua tema
roman ini tentang kasih tak sampai dan kebanyakaan berisi tentang perjodohan
selain itu roman dalam periode ini sangat kental sekali dengan kebudayaannya
yaitu melayu seperti budaya padang dan minagkabau.
DAFTAR
PUSTAKA
Rosidi,
Ajip. (2000). Ikhtisar Sejarah Sastra
Indonesia. Bandung: Putra Abardin.
Sugiantomas,
Aan. (2011). Langkah Awal Menuju
Apresiasi Sastra Indonesia. Kuningan: PBSI FKIP UNIKU.
Sugiantomas,
Aan. (2012). Kajian Prosa Fiksi dan
Drama. Kuningan: PBSI FKIP Kuningan:
PBSI FKIP UNIKU.
Jaelani,
Asep Jejen. (2013). Sejarah Sastra
Indonesia. Kuningan: PBSI FKIP UNIKU.
Alisjahbana,
Sutan Takdir. (1999). Layar Terkembang.
Jakarta: Balai Pustaka.
Hamzah,
Amir. (2008). Nyanyi Sunyi. Jakarta:
Dian Rakyat.
Hamka.
(2011). Di Bawah Lindungan Ka’bah.
Jakarta: Balai Pustaka.
Pane,
Sonoesi. (2000). Airlangga Drama Dlama
Tiga Babak. Jakarta: Balai Pustaka.
Iskandar,
Nur Sutan. (2008). Hulubalang Raja.
Jakarta: Balai Pustaka.
Selasih.
(2001). Kalau Tak Untung. Jakarta:
Balai Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar