Anak-anak
dianugrahkan oleh Allah melalui pasangan suami-istri (pasutri). Pasutri
berperan sebagai mitra Allah (co-creator) dalam melahirkan anak (manusia).
Anak-anak yang lahir dalam keluarga merupakan buah cinta Allah kepada pasutri.
Dalam pandangan Agustinus, anak merupakan salah satu bona (kebaikan) dari
perkawinan. Melalui perkawinan, pasutri melahirkan umat manusia dan
anggota-anggota Kristus. Oleh karenanya, pasutri bertanggungjawab untuk menumbuh-kembangkan
anak-anak yang dipercayakan Allah kepada mereka. Sebagai rekan kerja Allah,
orangtua mesti selalu berusaha menuju kesucian dan penyempurnaan hidup. Hal itu
dapat dilakukan melalui pertobatan setiap saat dan kesadaran akan tanggung
jawab besar terhadap anak-anaknya.
Tanggung
jawab utama orangtua adalah membangun keyakinan nilai dan meneguhkan
tekad moral anaknya. Orangtua berperan aktif agar anak-anaknya memperoleh
segala yang membuat hidup mereka menjadi bermakna dan bahagia. Pendidikan religius
(keimanan) hendaknya dapat berlangsung terutama dalam keluarga (Iman Katolik:
56). Anak merasakan cinta kasih Allah melalui cinta kasih orangtua. Perbuatan
keseharian orangtua ikut membentuk karakter pribadi seorang anak. Jika
perbuatan keseharian orangtua berisi nilai-nilai religius dan moral, maka
anak-anak mereka kemungkinan besar akan tumbuh-berkembang dengan baik dan
benar. Akan tetapi, jika perbuatan keseharian orangtua dipenuhi dengan
percekcokan atau perselingkuhan, perbuatan semacam ini akan berdampak negatif
terhadap anak-anak mereka kelak.
Pendidik
Pertama dan Utama
Konsili
Vatikan II memberi perhatian serius pada pendidikan anak. Di dalam “Gravissimum
Educationis” artikel 3 ditegaskan bahwa keluarga adalah sekolah kehidupan (school
of humanity) dan sekolah paling dasar. Orangtua adalah pendidik utama bagi
anak-anaknya. Peran edukatif orangtua begitu penting, sehingga apabila
terlalaikan akan sangat sukar dipenuhi oleh yang lain. Itu sebabnya, tidak
tepat jika orangtua hanya menggantungkan pendidikan anaknya terhadap pihak
sekolah, guru dan pembantu. Dalam keluarga Katolik, orangtualah pertama-tama
yang bertanggungjawab membekali anak-anaknya dengan pengetahuan ajaran iman,
moral dan ajaran sosial gereja. Kendalanya, orangtua banyak yang tidak memiliki
pengetahuan tentang ajaran iman, moral dan sosial. Oleh karenanya, orangtua
tidak bisa mendidik anaknya dengan benar dan baik. Ketika orangtua tidak mampu
menjawab pertanyaan yang dilontarkan anaknya, maka anak tersebut akan mencari
jawaban di tempat lain atau kepada orang lain. Tidak heran jika zaman sekarang,
banyak anak-anak yang keluyuran ke luar rumah. Bisa jadi penyebab terjadinya
perdagangan manusia adalah sikap orangtua yang melalaikan tugasnya untuk
memenuhi kebutuhan anak-anaknya.
Paus
Yohannes Paulus II dalam Familiaris Consortiomengatakan bahwa keluarga
adalah tempat pertama di mana anak-anak menimba pengalaman Kristiani dan
gerejawi. Orangtua tidak hanya mendidik anaknya agar lebih cerdas tetapi agar
penuh inisiatif untuk membangun hidupnya sendiri di dunia modern ini. Orangtua
harus selalu waspada dan cakap. Sebab, dewasa ini dunia sedang dilanda arus
globalisasi. Norma-norma yang bertalian dengan hidup semakin kabur. Pesatnya
informasi tidak hanya berdampak positif tetapi juga negatif. Kecanggihan
perangkat lunak internet tidak hanya menghadirkan hiburan tetapi juga
masalah. Oleh karena itu, orangtua mesti berbenah diri dan selalu
menyadarkan anak-anaknya agar tetap menghidupi norma-norma iman dan moral yang
benar dan baik.
Pendidikan
sejati meliputi pembentukan pribadi manusia seutuhnya (character building).
Anak-anak dididik sedemikian rupa agar mereka dapat mengembangkan bakat-bakat
fisik, moral, dan intelektual mereka secara harmonis. Tujuannya adalah agar
anak-anak memperoleh tanggung jawab yang lebih sempurna dan dapat menggunakan
kebebasan mereka dengan benar dan berperan aktif dalam kehidupan sosial (KHK
1983, Kan. 795).
Tidak
bisa disangkal bahwa orangtua memiliki tanggung jawab besar agar anak-anaknya
memiliki sikap (attitude) yang baik dan benar. Idealnya, orangtua berusaha
optimal agar anak-anaknya sungguh-sungguh menghidupi budi pekerti. Tetapi fakta
menunjukkan sebaliknya. Orangtua tidak selalu menjadi pendidik bagi
anak-anaknya. Kita ambil contoh, yakni sikap curiga. Seorang anak namanya Bonus
sedang bermain kelereng dengan anak tetangga, namanya Bona. Tiba-tiba mereka
berantam karena Bonus tidak terima kekalahannya. Sambil menangis Bonus datang
ke orangtuanya. Tidak lama kemudian Bona mendatangi Bonus dan mengajak Bonus
bermain lagi. Apa kata orangtua, Bonus jangan bermain dengan Bona, nanti dia
menyakiti kamu lagi. Contoh ini hanyalah sebagian dari perilaku orangtua yang
tidak berlaku sebagai pendidik bagi anaknya.
Kecerdasan
Anak
Saya
setuju apa yang pernah dilontarkan oleh Pastor Y. Driyanto, Pr mengenai tujuan
dari proses pendidikan.Pertama, agar anak cerdas secara intelektual. Dalam
arti, memiliki kemampuan abstraktif dan asosiatif.Kedua, agar anak
memiliki kecerdasan emosional. Mengenal perasaannya dan mengungkapkannya secara
tepat. Kegiatan bermaian anak akan memacunya untuk semakin cerdas secara
emosional. Ketiga, cerdas secara sosial. Maksudnya adalah menempatkan diri
dan orang lain pada tempatnya. Keempat, cerdas secara spiritual.
Memeluk keyakinan sendiri dan menghormati keyakinan yang lain. Seseorang yang
cerdas secara spiritual akan sungguh-sungguh berusaha untuk mencintai hingga
musuh, mengampuni hingga tanpa batas dan rela memihak yang kecil, lemah dan
miskin. Saya yakin, keempat kecerdasan ini akan membuat anak-anak matang
sebagai manusia utuh.
Para
pendidik anak-anak mesti selalu menyadari bahwa istilah mendidik berasal dari
kata Latin yakni educareyang merupakan padanan kata e(x)= keluar danducere=
memimpin. Istilah educare berarti memimpin keluar dari dirinya. Anak
harus ditarik dari dirinya agar tidak egois dan tidak terpusat hanya untuk dan
pada dirinya sendiri. Dalam proses pendidikan di dalam keluarga dan sekolah,
anak mesti disadarkan bahwa ada yang lain selain dirinya. Pertama, Tuhan.
Orangtua sebagai pendidik utama, berkewajiban mengatakan kepada anaknya: Nak,
selain dirimu ada Tuhan Allah. Ia adalah pemberi hidup kita. Oleh karenanya,
kita patut selalu bersyukur pada-Nya melalui doa dan perayaan sakramen. Kedua,
sesama. Seorang anak disadarkan agar ia tidak egois, tetapi memperhitungkan dan
memikirkan orang lain. Ketiga, alam yang merupakan tempat kita hidup dan
berada. Orangtua mestinya memberitahu anak-anaknya agar tidak mengotori dan
merusak alam.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar