Cerpen Putu Wijaya
Ami heboh
membongkar-bongkar almari. Dia mencari baju yang berwarna pink.
Setidak-tidaknya yang bernuansa pink. Ada pesta Valentine di kampus. Warna itu
menjadi tiket masuk. Warna lain akan ditolak. Kecuali mau beli kaus oblong dari
panitia yang berwarna pink. Tapi harganya selangit.
“Buat apa beli
kaus oblong 200 ribu, kan pakainya juga hanya sekali,”kata Ami terus
membongkar.
Bu Amat ikut
membantu Ami mencari-cari, sampai-sampai terlambat menyiapkan makan malam. Amat
langsung protes.
“Kenapa sih pakai
ikut-ikutan valentin-valentinan. Itu kan bukan budaya kita!”
Ami dan ibunya
tidak peduli.
“Mana makannya?
Nanti maag-ku kumat!”
Bu Amat tak
mendwengar. Ia terus membantu Ami mencari. Amat jadi kesal. Tapi makin dia
kesal, makin Ami dan Bu Amat lebih tidak peduli. Amat jadi marah. Dia salin
pakaian, lalu keluar rumah.
“Ke mana Pak?”
“Mau ikut
valentine!” kata Amat tanpa menoleh.
Amat ke tukang
sate di tikungan. Dia mau makan enak. Tapi ternyata tidak jualan. Orangnya
kelihatan mau berangkat kundangan. Dia tersenyum melihat Amat datang.
“Mau ke situ juga
Pak Amat?”
“Ke situ ke mana?
Mau cari makan ini. Kenapa tutup?”
“Kan hari besar
pak Amat.”
“Ah sejak kapan
tukang sate ikut-ikutan valentine?”
“Bukan. Saya mau
ke tempat Yuk Lee, kan ada makan-makan. Pak Amat mau ke situ juga kan?”
“Lee?”
“Ya”
“Sejak kapan di
situ diundang Yuk Lee?”
“Ya namanya juga
silaturahmi Pak Amat. Tidak perlu undangan. Kalau kita tahu ya harus datang.
Saya kan langganan tetap dia dulu waktu masih jualan kue. Ayo ikutan.”
“Ah, mau cari
makan ni!”
“Makan di situ
saja, pasti enak semua! Yuk Lee pasti seneng kalau Pak Amat datang. Ayo Pak!”
Tukang sate itu
menstater motornya.
“Ya sudah, ikut
sampai di alun-alun, nanti turun di situ, makan ketupat!”
Amat naik ke
boncengan. Tapi kemudian tidak turun di alun-alun, sebab asyik ngobrol.
Tahu-tahu sudah sampai ke rumah Lee.
“Lho kok jadi ke
sini?” kata Amat kaget.
Tukang sate hanya
nyengir. Amat hampir saja mau kabur, tapi Lee muncul. Dia berteriak menyapa
tukang sate. Waktu melihat Amat dia langsung datang dan mengguncang tangan
Amat.
“Terimakasih pak
Amat, terimakasih sudah datang. Tumben ini. Mimpi apa saya Pak Amat mau datang?
Kebetulan semua pada sedang makan ini. Ayo cepetan masuk, Pak Amat. Jangan di
luar, ke dalam saja!”
Amat dan tukang
sate dibawa masuk ke dalam rumah. Ternyata dalam rumah lebar dan mewah. Padahal
darii luar kelihatan sederhana. Lee memang kaya-raya, tapi tidak pernah pamer
menunjukkan kekayaannya. Dia mulai dari jualan kue. Tiap hari istri dan
anak-anaknya keliling. Lama-lama meningkat. Dasar ulet, sekarang tokonya ada
lima. Mobilnya banyak. Tapi hubungannya dengan orang-orang yang dulu menjadi
langganan kuenya tetap baik.
“Terimakasih Pak
Amat, sudah mau datang ke rumah kami,”kata istri Lee menyambut.
Amat kemudian
diperkenalkan kepada ketujuh putra-putri Lee. Ada yanhg sekolah di Amerika. Ada
yang di Australia. Ada yang di Singapura. Ada juga yang di Hong Kong. Yang
paling besar di rumah membantu Lee.
Amat malu sekali,
seakan-akan Lee tahu dia datang untuk cari makan. Mula-mula Amat hanya sekedar
nyicip. Tapi setelah melihat tukang sate dan tamu-tamu lain makan dengan rakus,
Amat jadi lupa daratan. Ia makan sekenyang-kenyangnya.
Banyak sekali tamu
datang silih berganti. Lee tak sempat lagi ngobrol dengan Amat. Dan ketika
pulang, tak sempat lagi pamitan, sebab tamu semakin malam semakin melimpah.
Diam-diam Amat dan tukang sate itu meninggalkan rumah Lee.
“Heran sudah kaya
raya begitu, tamu-tamunya semua kok kelas naik motor seperti kita. Nggak ada
mobil-mobil mewah ya,”kata Amat.
Tukang sate
ketawa.
“Yang naik mobil
nggak akan mau datang Pak Amat.”
“Kenapa?”
“Pasti malu,”
“Lho kenapa? Kan
silaturahmi?”
“Nanti dikira cari
Ang Pao.”
“Ang Pao?”
“Ya. Kalau buat
kita sih rezeki. Orang-orang pakai mobil itu mana mau dapat amplop begini,:kata
tukang sate merogoh dari sakunya dan menyerahkan pada Amat, ”ini untuk Pak
Amat!”
Amat terkejut
menerima amplop itu.
“Untuk saya ini?”
“Ya untuk pak
Amat.”
“Bukannya untu di
situ saja.”
“Saya sudah dapat
Pak Amat. Tadi istri Lee sengaja ngasih lewat saya, dia tahu pak Amat pasti
tidak akan mau kalau dikasih langsung.”
Amat tertegun.
“Gimana? Apa untuk
saya saja?”
Sekarang jelas.
Banyak yang datang ke rumah Lee, karena mengejar ang pao. Amat jadi malu. Ia
ingin sekali mengembalikan amplop itu. Tapi tak mungkin. Itu bisa jadi salah
paham.
“Gimana pak Amat?
Untuk saya saja?”
Hampuir saja Amat
mau menyerahkan amplop itu. Tapi jari tangannya merasakan amplop itu tebal. Ia
jadi merasa saying.
“Ini tradisi
mereka ya?”
“Betul pak Amat.
Setiap tahun saya selalu ke situ. Tahun lalu juga. Isinya lumayan. Bagaimana
itu untuk saya saja?”
“Tapi ini tradisi
mereka kan?”
“Betul pak Amat.”
“Bukan soal
uangnya, tapi soal tradisi kan? Kita menghormati tradisi kan?”
“Betul.”
“Ya sudah. Demi
silahturahmi, saya terima ini. Terimakasih sudah ngajak ke situ tadi.”
“Tapi amplopnya
untuk saya kan?”
Amat menggeleng.
“Meskipun Lee
tidak melihat, kalau amplop ini saya berikan situ, berarti saya tidak
menghargai Lee. Itu tidak baik. Jadi saya terima saja untuk silahturahmi.”
Amat lalu
mengulurkan tangan. Mereka bersalaman. Tukang sate nampak gembira.
“Yuk Lee pasti
senang sekali Pak Amat menerima amplop itu. Tadinya istrinya sudah berpesan,
kalau pak Amat tidak mau, ya buat saya saja. Apa buat saya saja Pak Amat?”
Amat ketawa. Tanpa
menjawab lagi dia pulang. Rasanya tubuhnya berisi. Di kantungnya ada amplop
yang menurut ketebalannya tidak akan kurang dari satu juta. Sambil
bersiul-siul, Amat masuk ke dalam rumah.
Ami kelihatan
nongkrong di depan televisi bersama Bu Amat.
“Lho tidak ikut
valentine?”
“Nggak ada baju
pink.”
“Beli saja!”
“Duitnya dari
mana?”
Amat ketawa. Dia
merogoh amplop dan menyerahkan pada Ami.
“Nih. Lebihnya
untuk Ibu.”
Ami dan Bu Amat
melirik amplop itu dengan heran. Amat langsung saja menembak.
“Kita ini
masyarakat plural, jadi harus bisa hidup saling menghargai. Itu namanya
silahturahmi,”kata Amat.
Ami diam saja.
“Coba kalau tadi
ngomong begitu, Ami sudah berangkat,”kata Bu Amat, “Bapak ini selalu
terlambat!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar