Pengertian Kesantunan
Kesantunan (politiness), kesopansantunan,
atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat.Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati
bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi
prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial.Oleh karena itu, kesantunan ini
biasa disebut “tatakrama”.
Berdasarkan pengertian tersebut, kesantunan dapat
dilihat dari dari berbagai segi dalam pergaulan
sehari-hari.Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai
sopan santun atau etiket dalam pergaulan sehari-hari.Ketika orang dikatakan
santun, maka dalam diri seseorang itu tergambar nilai sopan santun atau nilai
etiket yang berlaku secara baik di masyarakat tempat seseorang itu megambil
bagian sebagai anggotanya.Ketika dia dikatakan santun, masyarakat memberikan
nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara seketika (mendadak) maupun
secara konvensional (panjang, memakan waktu lama). Sudah barang tentu,
penilaian dalam proses yang panjang ini lebih mengekalkan nilai yang diberikan
kepadanya.
Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni
berlaku dalam masyarakat, tempat, atau situasi tertentu, tetapi belum tentu
berlaku bagia masyarakat, tempat, atau situasi lain. Ketika seseorang bertemu
dengan teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yang agak kasar dengan
suara keras, tetapi hal itu tidak santun apabila ditujukan kepada tamu atau
seseorang yang baru dikenal.Mengecap atau mengunyah makanan dengan mulut
berbunyi kurang sopan kalau sedang makan dengan orang banyak di sebuah
perjamuan, tetapi hal itu tidak begitu dikatakan kurang sopan apabila dilakukan
di rumah.
Ketiga, kesantunan selalu bipolar, yaitu
memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dan orangtua, antara orang
yang masih muda dan orang yang lebih tua, antara tuan rumah dan tamu, antara
pria dan wanita, antara murid dan guru, dan sebagainya.
Keempat, kesantunan tercermin dalam cara
berpakaian (berbusana), cara berbuat (bertindak), dan cara bertutur
(berbahasa).
Jenis Kesantunan
Berdasarkan butir terakhir itu, kesantunan dapat
dibagi tiga, yaitu kesantunan berpakaian, kesantunan berbuat, dan kesantunan
berbahasa. Kecuali berpakaian, dua kesantunan terakhir tidak mudah dirinci
karena tidak ada norma baku yang dapat digunakan untuk kedua jenis
kesantunn itu.
Dalam kesantunan berpakaian (berbusana, berdandan),
ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, berpakaianlah yang sopan di
tempat umum, yaitu hindarilah pakaian yang dapat merangsang orang lain terutama
lawan jenis, seperti pakaian tembus pandang (transparan), menampakkan bagian
badan yang pada umumnya ditutup, dan rok yang terlalu mini atau terbelah
terlalu tinggi. Kedua, berpakaianlah yang rapi dan sesuai dengan keadaan, yaitu
berpakaian resmi pada acara resmi, berpakaian santai pada situasi santai,
berpakaian renang pada waktu renang. Betapapun mahalnya pakaian renang, tidak
akan sesuai apabila dipakai dalam suatu acara resmi.
Kesantunan perbuatan adalah tatacara bertindak atau
gerak-gerik ketika menghadapi sesuatu atau dalam situasi tertentu.misalnya
ketika menerima tamu, bertamu ke rumah orang, duduk di ruang kelas, menghadapi
orang yang kita hormati, berjalan di tempat umum, menunggu giliran (antre),
makan bersama di tempat umum, dan sebagainya. Mmasing-masing situasi dan
keadaan tersebut memerlukan tatacara yang berbeda. Pada waktu makan bersama,
misalnya, memerlukan kesantuan dalam cara duduk, cara mengambil makanan, cara
makan atau mengunyah, cara memakai sendok, cara membersihkan mulut setelah
makan, dan cara memakai tusuk gigi. Sekedar contoh terkait dengan kesantunan
tindakan, misalnya tidaklah santun apabila kita berwajah murung ketika menerima
tamu, duduk dengan “jigrang” ketika mengikuti kuliah dosen,bertolak pinggang
ketika berbicara dengan orang tua, mendahului orang lain dengan bersenggolan
badan atau ketika berjalan di tempat umum tanpa sebab, nyelonong ke loket
ketika yang lain sedang antre menanti giliran, menguap selebar-lebarnya sambil
mengeluarkan suara di depan orang lain, dan mencungkil gigi tanpa menutup mulut
ketika sedang makan bersama di tempat umum.
Kesantunan berbahasa tecermin dalam tatacara
berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa.Ketika berkomunikasi,
kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang
kita pikirkan.Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang
ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunannya suatu bahasa dalam
berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tida sesuai dengan
norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh
sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan
tidak berbudaya.
Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan para
peserta komunikasi (komunikator dan komunikan) demi kelancaran komunikasi. Oleh
karena itu, masalah tatacara berbahasa ini harus mendapatkan perhatian,
terutama dalam proses belajar mengajar bahasa. Dengan mengetahui tatacara
berbahasa diharapkan orang lebih bisa memahami pesan yang disampaikan dalam
komunikasi karena tatacara berbahasa bertujuan mengatur serangkaian hal
berikut.
Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan
tertentu.
Ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam
situasi tertentu.
Kapan dan bagaimana giliran berbicara dan
pembicaraan sela diterapkan.
Bagaimana mengatur kenyaringan suara ketika
berbicara.
Bagaimana sikap dan gerak-gerik keika berbicara.
Kapan harus diam dan mengakhiri pembicaraan.
Tatacara berbahasa seseorang dipengaruhi norma-norma
budaya suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu.Tatacara berbahasa orang
Inggris berbeda dengan tatacara berbahasa orang Amerika meskipun mereka
sama-sama berbahasa Inggris.Begitu juga, tatacara berbahasa orang Jawa bebeda
dengan tatacara berbahasa orang Batak meskipun mereka sama-sama berbahasa
Indonsia.Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah daging pada
diri seseorang berpengaruh pada pola berbahasanya.Itulah sebabnya kita perlu mempelajari
atau memahami norma-norma budaya sebelum atau di samping mempelajari bahasa.
Sebab, tatacara berbahasa yang mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan
kesantunan berbahasa.
Pembentukan Kesantunan Berbahasa
Sebagaimana disinggung di muka bahwa kesantunan
berbahasa menggambarkan kesantunan atau kesopansantunan penuturnya.Kesantunan
berbahasa (menurut Leech, 1986) pada hakikatnya harus memperhatikan empat
prinsip.
Pertama, penerapan prinsip
kesopanan (politeness principle) dalam berbahasa. Prinsip ini
ditandai dengan memaksimalkan kesenangan/kearifan, keuntungan, rasa salut atau
rasa hormat, pujian, kecocokan, dan kesimpatikan kepada orang lain’ dan
(bersmaan dengan itu) meminimalkan hal-hal tersebut pad diri sendiri. Dalam
berkomunikasi, di samping menerapkan prinsip kerja sama (cooperative
principle) dengan keempat maksim (aturan) percakupannya, yaitu maksim
kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara; juga menerapkan
prinsip kesopanan dengan keenam maksimnay, yaitu (1) maksim kebijakan yang
mengutamakan kearifan bahasa, (2) maksim penerimaan yang menguatamakan
keuntungan untuk orang lain dan kerugian untuk diri sendiri, (3) maksim
kemurahan yang mengutamakan kesalutan/rasa hormat pada orang lain dan rasa
kurang hormat pada diri sendiri, (4) maksim kerendahan hati yang mengutamakan
pujian pada orang lain dan rasa rendah hati pada diri sendiri, (5) maksim
kecocokan yang mengutamakan kecocokan pada orang lain, dan (6) maksim
kesimpatisan yang mengutakan rasa simpati pada orang lain. Dengan menerapkan
prinsip kesopanan ini, orang todak lagi menggunakan ungkapan-ungkapan yag
merendahkan orang lain sehingga komunikasi akan berjalan dalam situasi yang
kondusif.
Berkut ini contoh yang memperlihatkan bahwa si A
mengikuti prinsip kesopanan dengan memaksimalkan pujian kepada temannya yang
baru saja lulus magister dengan predikat cumlaud dan tepat waktu,
tetapi si B tidak mengikuto prinsip kesopanan karena memaksimalkan rasa hormat
atau rasa hebat pada diri sendiri.
A : Selamat, Anda lulus dengan predikat
maksimal!
B : Oh, saya memang pantas mendapatkan predikat
cumlaud.
Kedua, penghindaran pemakaian kata
tabu (taboo).Pada kebanyakan masyarakat, kata-kata yang berbau seks,
kata-kata yang merujuk padaorgan-organ tubuh yang lazimditutupi pakaian,
kata-kata yang merujuk pada sesuatu benda yang menjijikkan, dan kata-kata
“kotor” daqn “kasar” termasuk kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam
berkomunikasi sehari-hari, kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu. Contoh berikut
ini merupaka kalimat yang menggunakan kata tabu karena diucapkan oelh mahasiswa
kepada dosen ketika perkuliahan berlangsung.
- Pak, mohon izin keluar sebentar, saya mau
berak!
- Mohon izin, Bu, saya ingin kencing!
Ketiga, sehubungan dengan penghindaran kata
tabu, penggunaan eufemisme, yaitu ungkapan penghalus.Penggunaan eufemisme ini
perlu diterapkan untuk menghindari kesan negatif. Contoh kalimat mahasiswa yang
tergolong tabu di atas akan menjadi ungkapan santun apabila diubah dengan
penggunaan eufemisme, misalnya sebagai berikut.
- Pak, mohon izin sebentar, sya mau buang air besar.
Atau, yang lebih halus lagi:
- Pak,mohon izin sebentar, saya mau ke kamar kecil.
Atau, yang paling halus:
- Pak, mohon izin sebentar, saya mau ke belakang.
Yang perlu diingat adalah, eufemisme harus digunakan
secara wajar, tidak berlebihan.Jika eufemisme telah menggeser pengertian suatu
kata, bukan untuk memperhalus kata-kata yang tabu, maka eufemisme justru
berakibat ketidaksantunan, bahkan pelecehan.Misalnya, penggunaan eufemisme
dengan menutupi kenyataan yang ada, yang sering dikatakan pejabat. Kata
“miskin” diganti dengan “prasejahtera”, “kelaparan” diganti dengan “busung
lapar”, “penyelewengan” diganti “kesalahan prosedur, “ditahan” diganti
“dirumahkan”, dan sebagainya. Di sini terjadi kebohongan publik.Kebohongan
itu termasuk bagian dari ktidaksantunan berbahasa.
Keempat, penggunaan pilihan kata honorifik,
yaitu ungkapan hormat untuk berbicara dan menyapa orang lain. Penggunaan
kata-kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa yang mengenal tingkatan
(undha-usuk, Jawa) tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang
tidakmengenal tingkatan.Hanya saja, bagi bahasa yang mengenal tingkatan,
penentuan kata-kata honorifik sudah ditetapkan secara bakudan sistematis
untuk pemakaian setiap tingkatan. Misalnya, bahasa krama
inggil (laras tinggi) dalam bahasa Jawa perlu digunakan kepada orang
yang tingkat sosial dan usianya lebih tinggi dari pembicara; atau kepada orang
yang dihormati oleh pembicara.
Walaupun bahasa Indonesia tidak mengenal
tingkatan, sebutan kata diri Engkau, Anda, Saudara, Bapak/bumempunyai efek
kesantunan yang berbeda ketika kita pakai untuk menyapa orang.Keempat kalimat
berikut menunjukkan tingkat kesantunan ketika seseorang pemuda menanyakan
seorang pria yang lebih tua.
(1) Engkau mau ke mana?
(2) Saudara mau ke mana?
(3) Anda amau ke mana?
(4) Bapak mau ke mana?
Dalam konteks ini, kalimat (1) dan (2) tidak atau
kurang sopan diucapkanoleh orang yang lebih muda, tetapi kalimat (4)-lah yang
sepatutnya diucapkan jika penuturnya ingin memperlihatkan kesantunan.Kalimat
(3) lazim diucapkan kalau penuturnya kurang akrab dengan orang yang disapanya,
walaupun lebih patut penggunaan kalimat (4).
Percakapan yang tidak menggunakan kata sapaan pun
dapat mengakibatkan kekurangsantunan bagi penutur.Percakapan via telepon antara
mahasiswi dan sitri dosen berikut merupakan contoh kekurangsopanan.
Mahasiswi
|
: Halo, ini rumah Supomo, ya?
|
Istri
|
: Betul.
|
Mahasiswi
|
: Ini adiknya, ya?
|
Istri
|
: Bukan, istrinya. Ini siapa?
|
Mahasiswi
|
: Mahasiswinya. Dia kan dosen pembimbing
saya. Sudah janjian dengan saya di kapus. Kok saya tunggu-tunggu
tidak ada.
|
Istri
|
: Oh, begitu, toh.
|
Mahasiswi
|
: Ya, sudah, kalau begitu.
(Telepon langsung ditutup.)
|
Istri dosen tersebut menganggap bahwa mahasiswa yang
baru saja bertelepon itu tidak sopan, hanya karena si mahasiswa tidak mengikuti
norma kesantunan berbahasa, yaitu tidak menggunakan kata sapaan ketika menyebut
nama dosennya. Bahasa mahasiswa seperti itu bisa saja tepat di masyarakat
penutur bahasa lain, tetapi di masyarakat penutur bahasa Indonesia dinilai
kurang (bahkan tidak) santun. Oleh karena itu, pantas saja kalau istri dosen
tersebut muncul rasa jengkel setelah menerima telepon mahasiswi itu. Ditambah
lagi tatacara bertelepon mahasiswi yang juga tidak mengikuti tatakram, yaitu
tidak menunjukkan identitas atau nama sebelumnya dan diakhiri tanpa ucapan
penutup terima kasih atau salam.
Tujuan utama kesantunan berbahasa adalah
memperlancar komunikasi.Oleh karena itu, pemakaian bahasa yang sengaja
dibelit-belitkan, yang tidak tepat sasaran, atau yang tidak menyatakan yang
sebenarnya karena enggan kepada orang yang lebih tua juga merupakan
ketidaksantunan berbahasa.Kenyataan ini sering dijumpai di masyarakatIndonesia kaena
terbawa oleh budaya “tidak terus terang” dan menonjolkan perasaan. Dalam
batas-batas tertentu masih bisa ditoleransi jika penutur tidak bermaksud
mengaburka komunikasi sehingga orang yang diajak berbicara tidak tahu apa yang
dimaksudkannya.
Aspek-aspek Non-linguistik yang Mempengaruhi
Kesantunan Berbahasa
Karena tatacara berbahasa selalu dikaitkan dengan
penggunaan bahasa sebagai sistem komunikasi,maka selain unsur-unsur verbal,
unsur-unsur nonverbal yang selalu terlibat dalam berkomunikasi pun perlu
diperhatikan. Unsur-unsur nonverbal yang dimaksud adalah unsur-unsur
paralinguistik, kinetik, dan proksemika.Pemerhatian unsur-unsur ini juga dalam
rangka pencapaian kesantunan berbahasa.
Paralinguistik berkenaan dengan viri-ciri bunyi
seperti suara berbisik, suara meninggi, suara rendah, suara sedang, suara
keras, atau pengubahan intonasi yang menyertai unsur verbal dalam berbahasa.
Penutur mesti memahami kapan unsur-unsur ini diterapkan ketika berbicara dengan
orang lain kalau ingin dikatakan santun. Misalnya, ketika ada seorang
penceramah berbicara dalam suatu seminar, kalau peserta seminar ingin berbicara
dengan temannya, adalah santun dengan cara berbisik agar tidak mengganggu acara
yang sedang berlangsung; tetapi kurang santun berbisik dengan temannya dalam
pembicaraan yang melibatkan semua peserta karena dapat menimbulkan salah paham
pada peserta lain. Suara keras yang menyertai unsur verbal penutur ketika
berkomunikasi dengan atasannya bisa dianggap kurang sopan, tetapi hal itu dapat
dimaklumi apabila penutur berbicara dengan orang yang kurang pendengarannya.
Gerak tangan, anggukan kepala, gelengan kepala,
kedipan mata, dan ekspresi wajah seperti murung dan senyum merupakan unsur
kinesik (atau ada yang menyebut gesture,gerak isyarat) yang juga perlu
diperhatikan ketika berkomunikasi. Apabila penggunaannya bersamaan dengan unsur
verbal dalam berkomunikasi, fungsinya sebagai pemerjelas unsur verbal.
Misalnya, seorang anak diajak ibunya ke dokter, ia menjawab “Tidak, tidak mau”
(verbal) sambilmenggeleng-gelengkan kepala (kinesik). Akan tetapi, apabila
penggunaannya terpisah dari unsur verbal, fungsinya sama dengan unsur verbal
itu, yaitu menyampaikan pesan kepada penerima tanda. Misalnya, ketika bermaksud
memanggil temannya, yang bersangkutan cukup menggunakan gerak tangan
berulang-ulang sebagai pengganti ucapan “Hai, ayo cepat ke sini!”.
Sebenarnya banyak gerak
isyarat (gesture) digunakan secara terpisah dengan unsur verbal
karena pertimbangan tertentu.Misalnya, karena ada makna yang dirahasiakan,
cukup dengan mengerdipkan mata kepada lawan komunikasi agar orang di
sekelilingnya tidak tahu maksud komunikasi tersebut. Seorang ayah membentangkan
jari telunjuk secara vertikal di depan mulut agar anaknya (penerima tanda)
segera diam karena sejak tadi bercanda dengan temannya saat khutbah Jumat
berlangsung. Masih banyak contoh lain yang bisa diketengahkan berkaitan dengan
kinetik ini. Namun, yang perlu diperhatikan dalam konteks ini adalah kinetik
atau gerak isyarat (gesture) dapat dimanfaatkan untuk menciptakan
kesantunan berbahasa, dan dapat pula disalahgunakan untuk menciptakan
ketidaksantunan berbahasa. Ekspresi wajah yang senyum ketika menyambut tamu
akan menciptakan kesantunan, tetapi sebaliknya ekspresi wajah yang murung
ketika berbicara dengan tamunya dianggap kurang santun.
Unsur nonlinguistik lain yang perlu diperhatikan
ketika berkomunikasi verbal adalah proksemika, yaitu sikap penjagaan jarak
antara penutur dan penerima tutur (atau antara komunikator dan komunikan)
sebelum atau ketika berkomunikasi berlangsung. Penerapan unsur ini akan
berdampak pada kesantunan atau ketidaksantunan bwerkomunikasi. Ketika seseorang
bertemu dengan teman lama, setelah beberapa lama berpisah, ia langsung berjabat
erat dan bernagkulan; dilanjutkan dengan saling bercerita sambil menepuk-nepuk
bahu. Tetapi, ketika ia bertemu dengan mantan dosennya, walaupun sudah lama
berpisah, ia langsung menundukkan kepala sambil bwrjabat tangan dengan kedua
tangannya. Si mantan dosen, sambil mengulurkan tangan kannya, tangan kirinya
menepuk bahu mahasiswa yang bersangkuan.
Pada contoh kedua peristiwa itu, terlihat ada
perbedaan jarak antara pemberi tanda dan penerima tanda. Apabila penjagaan
jarak kedua peristiwa itu dipertikarkan,maka akan terlihat janggal, bahkan
dinilai tidak sopan. Mamsih banyak contoh lain yang berkaitan dengan proksemika
ini, misalnya sikap dan posisi duduk tuan rumah ketika menerima tamu, posisi
duduk ketika berbicara dengan pimpinan di ruang direksi, sikap duduk seorang
pimpinan ketika berbicara di hadapan anak buahnya, dan sebagainya. Yang jelas,
penjagaan jarak yang sesuai antara peserta komunikasi akan memperlihatkan
keserasian, keharmonisan, dan tatacara berbahasa.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
unsur paralinguistik, kinetik, dan proksemika yang sesuai dengan situasi
komunikasi diperlukan dalam penciptaan kesantunan berbahasa.Pengaturan ketiga
unsur ini tidak kaku dan absolut karena berbeda setiap konteks situasi.Yang
penting, bagaimana ketiga unsur bisa menciptakan situasi komunikasi yang tidak
menimbulkan salah paham dan ketersinggungan kepada yang diajak berkomunikasi.
Selain ketiga unsur di atas, hal lain yang perlu
diusahakan adalah penjagaan suasana atau situasi komunikasi oleh peserta yang
terlibat. Mialnya, sewaktu ada acara yang memerlukan pembahasan bersama secara
serius, tidaklah sopan menggunakan telepon genggam (handphone) atau
menerima telepon dari luar, apalagi dengan suara keras.Kalau terpaka
menggunakan atau menerima telepon, sebaiknya menjauh dari acara tersebut atau
suara diperkecil.
Kecenderungan mendominasi pembicaraan,
berbincang-bincang dengan teman sebelah ketika ada pertmuan dalam forum resmi,
melihat ke arah lain dengan gaya melecehkan pembicara, tertawa kecil
atau sinis merupakan sebagian cara yang tidak menjaga suasana komunikasi yang
kondusif, tenteram, dan mengenakkan, yang bisa berakibat mengganggu tujuan
komunikasi.
Daftar pustaka
Edward, John. 1985. language, Society, anda
Identity. New York: Basil Blackwell.
Goody, Esther N (Ed.). 1985. Questions and
Politiness: Strategy in Social Interaction. Cambridge.
Gordon, George N. 1969. The Languages of
Communication.New York: Hasting House.
Nababan, PWJ. 1986. Sosiolinguistik: Suatu
Pengantar.Jakarta: PT Gramedia.
Salam, H Burhanuddin 1987. Etika Sosial: Asas
Moral dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Silzen, Peter. 1990. “Bahasa sebagai Ungkapan
Perasaan”. Makalah. Depok: Fakultas Sastra UI.
Wardhaugh, Renold. 1986. An Introduction to
Sociolinguistics.New York: Basil Blackwell.
Cacatan:
Lemah Lembut Bertutur sebagai Ciri Kesantunan
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinikan
“lemah lembut” sebagai ‘baik hati, tidak pemarah, peramah’. Sedangkan “lembut”
diartikan sebagai ‘halus dan enak didengar, tidak kasar; tidak keras atau tidak
nyaring (tentang suara, bunyi); baik hati (halus budi bahasanya), tidak bengis,
tidak pemarah, lembut hati’.Dalam praktiknya, deskripsi ini tecermin pada
bagaimana seseorang mengekspresikan tuturan dalam pengaturan intonasi. Karena
intonasi mengandung unsur nada (tone), tekanan (stress), dan
tempo (duration),maka pengaturan intonasi ni bisa diarahkan pada bagaimana
mengatur keras-lemah, tinggi-rendah, dan penjang-pendek suara dalam tuturan.
Unsur-unsur ini mengandung makna tersirat yang mengiringi tuturan yang berlangsung
yang berlangsung yang dinamakan “makna emosi” penutur.Terkait dengan ini, E.
Couper-Kuhlen memberikan komentar sebagai berikut. “bukan apa yang disebut
penutur, tetapi cara menyebutkannya. … Dia dapat mengeksploitasikan intonasi
untuk mengkomunikasikan sesuatu yang secara objektif mungkin tidak di situ.”
Komentar ini memantapkan betapa aspek intonasi merupakan aspek penting karena
tumpuan beralih dari pemilihan kata dan susunan kalimat ke pada cara pengujaran
atau penuturan. Pada sisi lain, aspek ini sering menjebak penutur karena
apabila ia salah menerapkan intonasi, akan berdampak pada keadaan sebaliknya,
misalnya pendengar tersinggung, salah paham, dan salah tanggap.
Untuk menyatukan persepsi terkait dengan penerapan
intonasi ini memang sukar, sebab setiap individu mempunyai latar belakang dan
pengalaman yang berbeda. Oleh karena itu, satu-satunya yang bisa dipakai
sebagai patokan adalah norma masyarakat penutur bahasa yang bersangkutan.
Kita tahu bahwa masyarakat kita (indonesia) sangat
menjunjung kesantunan dalam berbahasa. Makna yang akan disampaikan tidak hanya
terkait dengan pemilihan kata, tetapi juga cara penyampaiannya. Sebagai contoh,
pemilihan kata yang tepat apabila disampaikan dengan cara kasar akan tetap
dianggap kurang santun.
Kesantunan memang amat penting di mana pun individu
berada.Setiap anggota masyarakat percaya bahwa kesantunan yang diterapkan
mencerminkan budaya suatu masyarakat, termasuk kesantunan berbahasa.Apalagi
setiap masyarakat selalu ada hierarkhi sosial yang dikenakan pada kelompok-kelompok
anggota mereka. Hal ini terjadi karena mereka telah menentukan penilaian
tertentu, misalnya, antara tua – muda, majikan – buruh, guru – murid, kaya –
miskin, dan status lainnya. Slain itu, faktor konteks juga menyebabkan
kesantunan perlu diterapkan.Suasana formal atau resmi sangat menekankan
kesantunan ini.
Penilaian yang diberikan kepada hierarkhi sosial
merupakan penilaian emotif yang diberikan kepada seseorang individu atau
kelompok.Penilaian sepeti ini merupakan tanda hormat atau apresiasi kepada yang
bersangkutan.Kalau diteliti lebih jauh, fenomena ini sudah diterapkan oleh
masyarakat kita sejak dulu.Apakah masyarakat yang bahasanya mengenal tingkatan
bebahasa (undha-usuk, Jawa) atau tidak mengenalnya.Pada hikayat-hikayat lama,
misalnya ada kalimat-kalimat “Titah tuanku saya junjung”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar