Rabu, 24 April 2013

variasi bahasa dan jenis bahasa


BAB VI
PELBAGAI VARIASI DAN JENIS BAHASA


     fishman (1971: 4) kridalaksanaa mengataka bahwa sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari cirri dan fungsi pelbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara bahasa dengan cirri fungsi itu dalam suatu masyarakat bahasa.

5.1       Variasi bahasa
            Sebagai sebuah langue sebuah bahasa mempunyai system dan subsistem yang di pahami sama oleh semua penutur bahasa itu. Namun, karena penutur bahasa tersebut, meski berada dalam masyarakat tutur, tidak merupakan kumpulan manusia yang homogeny, maka wujud bahasa yang konkret, yang di sebut  parole, menjadi tidak seragam. Bahasa itu menjadi seragam dan bervariasi (catatan: istilah variasi sebagai padanan kata inggris variety bukan variation). Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena kegiatan interakso social yang mereka lakukan sangat seragam. Setiap kegiatan memerlukan atau menyebabkan terjadinya keragaman bahasa itu. Keragaman ini akan semakin bertambah kalau bahsa tersebut digunakan oleh penutur yang sangat banyak, serta dalam wilayah yang sangat luas. Misalnya, bahasa inggris yang di seluruh dunia; bahsa arab yang luas wilayahnya dari Jabal Thari di afrika utara sampai ke perbatasan iran ( dan juga sebagai bahasa agama islam di kenal hamper di seluruh dunia ); dan bahsa Indonesia yang wilayah penyebarannya dari sabang sampai marauke.

            Dalam hal variasi atau ragam bahasa ada dua pandangan. Pertama, variasi atau ragam bahsa itu dilihat sebagai akibat adaya keragaman social penutur bahsa itu dan keragaman fungsi bahsa itu. Jadi variasi atau ragam bahsa itu terjadi  sebagai akibat dari adanya keragaman social dan keragaman fungsi bahsa. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Variasi atau ragam bahsa itu dapat diklafikasikan berdasarkan adanya keragaman social dan fungsi kegiatan di dalam masyarakat social.

5.1.1    Variasi dari segi penutur
            Variasi bahas yang di sebut idiolek, yakni variasi bahsa yang bersifat perseorangan. Menurut konsep ideolok, setiap orang mempunyai variasi bahasanya atau ideolknya masing-masing. Variasi ideolek ini berkenaan dengan “warna” suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya.namun yang dominan adalah “warna” suara itu, sehingga jika kita cukup akrab dengan seseoran, hanya dengan mendengar suara berbicaranya tanpa melihat orangnya, kita dapat mengenalinya.
            Variasi bahsa kedua berdasarkan penuturnya adalah yang di sebut dialek, yakni variasi bahasa  dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada suatu tempat, wilayah, atau area tertentu. Karena dialek ini didasarkan pada wilayah atau area tempat tinggal penutur, maka dialek ini lazim disebut dialek areal, dialek regional atau dialek geografi.
           


Penggunaan istilah dialek dan bahasa dalam masyarakat umum memang seringkali bersifat ambigu. Secara linguistic jika masyarakat tutur masih saling mengerti, maka alat komunikasinya adalah dua dialek dari bahsa yang sama namun, secara politis, meskipun dua masyarakat tutur bisa saling mengerti karena kedua alat komunikasi verbalnya mempunyai kesamaan system dan subsistem, tetapi keduanya dianggap sebagai dua bahasa yang berbeda. Contohnya, bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia, yang secara linguistic adalah sebuah bahsa, tetapi secara politis dianggap sebagai dua bahasa yang berbeda.
Bidang studi linguistik yang mempelajari dialek-dialek adalah dialektologi. Bidang studi ini dalam kerjanya berusaha membuat peta bats-bats dialek dari sebuah bahsa, yakni dengan cara membandingkan bentuk dan makna kosakata yangdigunakan dalam dialek-dialek.
Variasi ketiga berdasarkan penutur dalah yang disebut  kronolek atau dialek temporal, yakni variasi bahsa yang di gunakan oleh kelompok social pada masa tertentu.
Variasi bahasa yang keempat berdasarkan penuturnya adalah apa yang di sebut sosiolek atau dialek social, yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas social para penuturnya. Dalam sosiolinguistik biasanya variasi inilah yang paling banyak dibicarakan dan paling banyak menyita waktu untuk membicarakannya, seperti usia, pendidikan, seks, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan social ekonomi, dan sebagainya. Keadaan social ekonomi para oenutur dapat juga menyebabkan adanya variasi bahasa.
Variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan, status, dan kelas social para penuturnya, biasanya di kemukakan orang variasi bahasa yang disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot  dan ken.
Yang dimasud dengan akrolek adalah variasi social yang dianggap lebih tinggi atau lebih bergengsi dari pada variasi social lainya. Sebagai contoh akrolek ini adalah yang disebut bahasa bagongan, yaitu variasi bahasa jawa yang khusus di gunakan oleh para bangsawan kraton jawa.
Yang dimaksud dengan basilek adalah variasi social yang dianggap kurang bergengsi, atau bahkan dianggap dipandang rendah. Bahasa inggris yang di gunakan oleh para cowboy dan kuli tambang dapat dikatakan sebagai basilek. Begitu juga bahasa jawa “karma ndesa”.
Yang dimaksud dengan vulgar  adalah variasi social yang cirri­­­-cirinya tampakaian bahasa oleh mereka yang kurang terpelajar, atau dari kalangan mereka yang tidak berpendidikan. Pada zaman romawi sampai zaman pertengahan bahasa-bahasa di eropa dianggap sebagai bahasa vulgar, sebab pada waktu itu para  golongan intelek mengunakan bahasa latin dalam segala kegiatan.
Yang dimaksud dengan slang adalah variasi bahsa yang bersifat khusus dan rahasia. Artinya, variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas dan tidak boleh diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu. Oleh karena itu, kosakata yang di gunakan dalam slang ini selalu berubah-ubah.
Yang dimaksud dengan kolokial adalah variasi social yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Colloqulum (percakapan, konversasi). Jadi, kolokial berarti bahasa percakapan, bukan bahasa tulis. Juga tidak tepat kalau kolokial di sebut bersifat “kampungan” atau bahasa kelas golongan bawah, sebab yang penting adalah konteks dalam pemakaianya. Dalam bahasa Indonesia percakapan banyak digunakan bentuk-bentuk kolokial, seperti dok (dokter), prof (professor), let (letnan), ndak ada ( tidak ada), trusah (tidak usah), dan sebagainya. Dalam pembicaraan atau tulisan formal ungkapan-ungkapan seperti contoh di atas harus di hindarkan.
Yang dimaksud dengan jargon adalah variasi social yang digunakan secara terbatas oleh kelompok-kelompok social tertentu. Ungkapan yang digunakan seringkali tidak dapat dipahami oleh masyarakat umum atau masyarakat di luar kelompoknya. Namun, ungkapan-ungkapan tersebut tidak bersifat rahasia.
Yang dimaksud dengan argon adalah variasi social yang digunakan secara terbatas pada profesi-profesi tertentu dan bersifat rahasia. Letak kekhususan argon adalah pada kosakata. Umpamanya, ungkapan seperti barang dalam arti ‘mangsa’, kacamata dalam arti ‘polisi’, daun dalam arti ‘uang’, gemuk dalam arti ‘mangsa besar’, dan tape dalam arti ‘mangsa empuk’.
Yang dimaksud dengan ken (inggris = cant) adalah variasi social tertentu yang bernada “memelas”, dibuat merengek-rengek, penuh dengan kepura-puraan.


5.1.2    Variasi dari segi pemakaian
            Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaanya, pemakaiannya, atau fungsi disebut fingsiolek  (Nababan 1984), ragam, atau regester. Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya,atau tingkat konfermalan, dan sarana penggunaan. Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu di gunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya, bidang sastra jurnalistik, militer, pertania, pelayaran perekonomian, perdagangan, pendidikan, dan kegiatan keilmuan. Variasi bahasa berdasarkan  bidang kegiatan ini yang tampak cirinya adalah dalam bidang kosakata.
Ragam bahsa jurnalis juga mempunyai cirri tertentu, yakni bersifat sederhana, komunikatif, dan ringkas. Sederhana karena harus dipahami dengan mudah; dan ringkas karena keterbatasan ruang (dalam media cetak), dan keterbatasan waktu (dalam media elektronika).
Ragam bahasa militer di kenal dengan cirinya yang lugas, jelas, dan bebas dari keambiguan, serta serta segala macam metafora dan idiom. Bebas dari segala keambiguan karena bahsa ilmiah harus memberikan informasi keilmuan secara jelas.

5.1.3    Variasi dari segi keformalan
            Ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal, yag di gunakan dalam situasi-situasi khidmat, dan ucapan-ucapan resmi, misalnya, dalam upacara kenegaraan, khotbah di masjid, tata cara pengambilan sumpah; kitab undang-undang, akte notaries, dan surat-surat keputusan.
            Ragam resmi atau formal adalah variasi bahasa yang di gunakan dalam pidato keegaraan, rapat dinas, surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran dan sebagainya. Pola dan kaidah ragam resmi sudah ditetapkan secara mantap sebagai suatu standar.
            Ragam usaha atau ragam konsultatif adalah variasi bahasa yang lazim di gunakan dalam pembicaraan biasa di sekolah, dalam rapat-rapat atau pembicara yang berorientasi hasil atau produksi.
            Ragam santai atau ragam kasual adalah variasi bahasa yang di gunakan dalam situasi tidak resmi atau berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib pada waktu beristrahat, berolah raga, berekreasi, dan sebagainya.
            Ragam akrab atau ragam intim adalah variasi bahsa yang biasa digunakan oleh para penutur yang hubunganya sudah akrab, seperti antara anggota keluarga, atau antara teman yang sudah karib. Ragam ini di tandai dengan artikulasi yang sering tidak jelas.






5.1.4    Variasi dari segi sarana
            Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan. Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam lisan dan ragam tulis, atau ragam dalam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, yakni, misalnya, dalam bertelepon dan bertelegraf. Adalnya ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis didasarkan pada kenyataan bahwa bahsa lisan dan bahasa tulisan memiliki wujud struktur yang tidak sama. Adanya  ketidaksamaan wujud struktur ini adalah karena dalam berbahasa lisan atau dalam menyampaikan informasi secara lisan, kita dibantu oleh unsure-unsur nonsegmental atau unsure nonlinguistic yang berupa nada suara, gerak-gerik tangan, gelengan kepala, dan sejumlah gejala-gejala fisik lainya. Dalam berbahasa tulisan kita harus lebih menaruh perhatian agara kalimat-kalimat yang kita susun bisa dapat dipahami pembaca dengan baik.
5.2       Jenis Bahasa
            Dalam pembicaraan mngenai variasi bahsa kita berbicara tentang satu bahasa yang memiliki berbagai variasi berkenaan dengan penutur dan penggunaannya secara konkret. Begitu dalam pembicaraan variasi bahsa itu kita kenal dengan idiolek, dialek, sosiolek, kronolek, fungsiolek, ragam, dan regester.
            Penjenisan bahasa secara sosiolinguistik tidak sams dengan penjenisan (klasifikasi) bahasa secara geneologis dan tipologis berkenaan dengan cirri-ciri internal bahasa-bahasa itu; sedangkan penjenis secara sosiolinguitik berkenaan dengan faktorfaktor eksternal bahsa atau bahasa-bahasa itu yakni factor sosiologis, politis, dan cultural.

5.2.1    Jenis Bhasa Berdasarkan Sosiologis
            Penjenisan berdasarkan factor sosiologis, artinya, penjenisan itu tidak terbatas pada struktur internal bahasa, tetapi juga berdasarkan factor sejarahnya, kaitanya dengan sistem linguistik lain dan pewarisa dari satu generasi ke generasi berikutnya. Penjenis secara sosiologis ini penting untuk menentukan satu system linguistic tertentu, apakah bisa disetujui atau tidak  oleh anggota masyarakat tutur untuk menggunakan dalam fungsi tertentu, misalnya sebagai bahasa resmi kenegaraan, dan sebagainya
            Stewart (dalam fishman (ed.) 1968) mengunakan empat dasar untuk menjeniskan bahasa-bahasa secara sosiologis, yaitu (1) standardisasi, (2) otonomi, (3) historisitas, dan (4) vitalitas. Keempat factor itu oleh fishman (1972: 18)
            Standrdisasi atau pembukaan adalah adanya kodifikasi dan penerimaan terhadap sebuah bahasa oleh masyarakat pemakai bahasa itu akan seperangkat kaidah atau norma yang menentukan pemakaian “bahsa yang besar” (bandingkan fishman (ed.) 1968: 534). Jadi, standarsasi ini mempersoalkan apakah sebuah bahasa memiliki kaidah-kaidah atau norma-norma yang sudah dikodifikasikan atau tidak yang diterima oleh masyarakat tutur atau merupakan dasar dalam pengajaran bahasa, baik sebagai bahasa pertama maupun bahasa kedua. Kodifikasi ini tentunya harus diterima oleh masyarakat berupa penerimaan kaidah-kaidah itu serta dibantu oleh pemerintah untuk masyarakatkan kaidah-kaidah tadi. Standardisasi tampaknya merupakan satu cirri bahasa “yang di haruskan”, bukan satu cirri yang sudah ada secara internal dalam bahasa itu (lihat Bell 1976: 48). Ragam baku biasanya di pilih dan ditetapkan dari salah satu variasi regional maupun social.
            Otonomi  atau keotonomian Sebuah sistem linguistik  disebut mempunyai keotonomian kalau system linguistic itu memiliki kemandirian system yang tidak berkaitan dengan bahasa lain (fishman 1968: 535). Jadi, kalau ada dua system linguistik atau lebih tidak mempunyai hubungan kesejarahan, maka berrarti keduanya memiliki keotonomian masing-masing.
            Historisitas atau  kesejarahan sebuah sistem linguistik dianggap mempunyai historisitas kalau diketahui atau dipercaya sebagai hasil perkembangan yang normal pada masa yang lalu (fishman 1968: 535). Factor kesejarahan ini berkaitan dengan tradisi dari etnik  tertentu. Jadi, faktor historisitas ini memperolehkan, apakah system linguistik itu tumbuh melalui pemakaian oleh kelompok etnik atau social tertentu atau tidak.
            Vitalitas atau keterpakaian yang dimaksud dengan vitalitas adalah pemakaian sistem linguistik oleh masyarakat  penutur asli yang tersolasi (fishman 1968: 536). Jadi unsure vatalitas ini mepersoalkan apakah sistem linguistik tersebut memiliki penutur asli yang masih menggunakan atau tidak. Bahasa bisa saja kehilangan vatalitasnya kalau para penutur aslinya telah musnah atau telah meninggalkanya (lihat Bell 1976: 148; juga Ayatrohaedi dalam Muhadjir dan Basuki 1990: 262-270)
            Kemusian berdasarkan ada(+) atau tidak ada (-) unsure-unsur tersebut (standardisasi, otonomi, historisitas, dan vatalitas) Stewart membedakan adanya tujuh jenis atau tipe bahasa, seperti tampak dalam bagan berikut.
Dasar penjenisan
Jenis bahsa
Contoh
standardisasi
otonomi
historitas
vatalitas
+
+
+
-
-
-
-
+
+
+
+
-
-
-
+
+
-
+
+
-
-
+
-
-
+
+
+
-
Standar
Klasik
Artificial
Vernakuler
Dialek
Kreol
pijin
Inggris
Latin
Vö lapuk
Beberapa bahasa daerah di Indonesia
berdasarkan dialek basa jawa
*
*
            Bahasa artifisial adalah bahasa buatan, seperti bahasa völapuk dan bahasa Esperanto. Bahasa jenis ini memiliki cirri standardisasi dan otonomi, tetapi tidak memiliki cirri historitas dan vitalitas. Bahasa artificial ini adalah bahasa yang dibuat , disusun dengan maksud untuk dijadikan bahasa pengantar (lingua franca) internasional. Jadi, bukan bahasa alamiah. Menurut catatan sejarah, ada tiga buah bahsa artificial, yaitu bahasa völapuk, bahasa Esperanto, dan bahasa Interlingua.

            Bahasa Esperanto, diciptakan oleh seorang dokter kebangsaan polandia bernama Ludwik Zamenhof, dengan tujuan agar masyarakat dunia terbebas dari perselisihan akibat perbedaan bahasa. Kosakatanya terutama diambil dari bahasa jerman dan bahasa-bahasa roma. Kaidah-kaidah gramatiknya di susun dengan sangat sederhana, sehingga dapat dengan mudah dipelajari oleh segenap lapisan masyarakat.
            Bahasa vernacular menurut Pei dan Gaynor (1954: 227) adalah bahasa pada umumnya yang di gunakan sehari-hari oleh satu bahasa atau wilayah geografis, yang bisa dibedakan dari bahasa sastra yang dipakai terutama di sekolah-sekolah dan dalam kesusastraan. Bahsa jenis vernacular ini memiliki cirri otonomi, histirisitas, dan vatalitas, tetapi tidak mempunyai cirri standardisasi. Contohnya adalah bahasa pribumi Eropa pada abat pertengahan.
            Jenis bahasa yang disebut dialek memiliki cirri vitalitas dan historisitas; tetapi tidak memiliki cirri standardisasi dan otonomi, sebab keotonomian bahsa ini berada di bawah langue bahasa induknya. Bahasa yang berjenis kreol hanya memiliki vitalitas; tidak memiliki cirri standardisasi, otonomi, dan historitas. Pada mulanya sebuah kreol bersal dari sebuah  pijin, yang dalam perkembangannya digunakan pada generasi berikutnya, sebagai satu-satunya alat komunikasi verbal yang mereka kuasai. Bahasa yang berjenis pijin tidak memiliki keempat dasar penjenisan. Bahasa jenis ini terbentuk secara alami di dalam suatu kontak social yang terjadi antara sejumlah penutur yang masing-masing memiliki bahasa ibu.

5.2.2    jenis bahasa berdasarkan sikap politik
            Berdasarkan sikap politik atau social politik kita dapat membedakan adanya bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa Negara, dan bahasa persatuan.
Sebuah sistem linguistik disebut sebagai bahasa nasional, seringkali juga disebut sebagai bahasa kebangsaan, adalah kalau system linguistik itu diangkat oleh suatu bangsa (dalam arti kenegaraan) sebagai salah satu identitas kenasionalan bangsa itu.
Yang dimaksud dengan bahasa Negara adalah  sebuah system linguistik yang secara resmi dalam undang-undang dasar sebuah Negara ditetapkan sebagai alat komunikasi resmi kenegaran. Artinya, segala urusan kenegaraan, administrasi kenegaraan, dan kegiatan-kegiatan kenegaraan dijalankan dengan menggunakan bahasa itu.
Yang dimaksud dengan bahasa resmi adalah sebuah system linguistik yang ditetapkan untuk digunakan dalam suatu pertemuan, seperti seminar, konfersi, rapat, dan sebagainya.
Yang dimaksud dengan bahasa persatuan adalah dilakukan oleh suatu bangsa dalam kerangka perjuangan, di mana bangsa yang berjuang itu merupakan masyarakat multilingual. Kebutuhan akan adanya sebuah bangsa persatuan adalah untuk mengikat dan mempererat rasa persatuan sebagai satu kesatuan bangsa.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa bahasa nasional, bahasa Negara, bahasa resmi, dan
Bahasa persatuan di Indonesia mengacu pada suatu system linguistik yang sama, yaitu bahasa Indonesia. Sedangkan di Filipina, di india, dan di singapur tidak.


5.2.3    jenis bahasa berdsarkan tahap pemerolehan
Berdasarkan pemerolehannya dapat dibedakan adanya bahasa ibu, bahasa pertama, dan bahasa kedua dan bahasa asing. Penanaman bahasa ibu dan bahasa pertama adalah mengacu pada satu system linguistik yang sama. Yang disebut bahasa ibu adalah satu system linguistik yang pertama kali dipelajari secara alamiah dari ibu atau keluarga yang memelihara seorang anak.
Bahasa ibu lazim juga disebut bahasa pertama (disingkat BI) karena bahasa itulah yang pertama-tama dipelajarinya. Kalau si anak mempelaji bahasa lain yang bukan bahasa ibunya maka bahasa lain yang dipelajarinya itu disebut bahasa kedua (disingkat B2). Andaikata kemudian si anak mempelajari bahasa lain lagi maka bahasa yang dipelajari terakhir ini disebut bahasa ketiga (disingkat B3).
Yang disebut bahasa asing akan selalu merupakan bahasa kedua bagi seorang anak. Di samping itu penanaman bahasa asing ini juga bersifat politis yaitu bahasa digunakan oleh bangsa lain.


5.2.4 lingua franca
Lingua franca adalah sebuah system linguistik yang digunakan sebagai alat komunikasi sementara oleh para partisipanyang mempunyai bahasa ibu yang berbeda.
Pemilihan satu system linguistik menjadi sebuah lingua franca adalah berdasarkan adanya kesalingpahaman diantara sesame mereka.
Karena dasar pemilihan lingua franca adalah keterpahaman atau kesalingpengertian dari para partisipan yang menggunakannya maka bahasa apa pun baik sebuah langue, piji, maupun kreol dapat menjadi sebuah lingua franca.
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar