BAB VI
PELBAGAI VARIASI DAN JENIS BAHASA
fishman (1971: 4) kridalaksanaa mengataka bahwa sosiolinguistik adalah
ilmu yang mempelajari cirri dan fungsi pelbagai variasi bahasa, serta hubungan
di antara bahasa dengan cirri fungsi itu dalam suatu masyarakat bahasa.
5.1 Variasi bahasa
Sebagai sebuah langue
sebuah bahasa mempunyai system dan subsistem yang di pahami sama oleh semua
penutur bahasa itu. Namun, karena penutur bahasa tersebut, meski berada dalam
masyarakat tutur, tidak merupakan kumpulan manusia yang homogeny, maka wujud
bahasa yang konkret, yang di sebut parole, menjadi tidak seragam. Bahasa itu
menjadi seragam dan bervariasi (catatan: istilah variasi sebagai padanan kata
inggris variety bukan variation). Terjadinya keragaman atau
kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak
homogen, tetapi juga karena kegiatan interakso social yang mereka lakukan
sangat seragam. Setiap kegiatan memerlukan atau menyebabkan terjadinya
keragaman bahasa itu. Keragaman ini akan semakin bertambah kalau bahsa tersebut
digunakan oleh penutur yang sangat banyak, serta dalam wilayah yang sangat
luas. Misalnya, bahasa inggris yang di seluruh dunia; bahsa arab yang luas
wilayahnya dari Jabal Thari di afrika utara sampai ke perbatasan iran ( dan
juga sebagai bahasa agama islam di kenal hamper di seluruh dunia ); dan bahsa
Indonesia yang wilayah penyebarannya dari sabang sampai marauke.
Dalam
hal variasi atau ragam bahasa ada dua pandangan. Pertama, variasi atau ragam bahsa itu dilihat sebagai akibat adaya
keragaman social penutur bahsa itu dan keragaman fungsi bahsa itu. Jadi variasi
atau ragam bahsa itu terjadi sebagai
akibat dari adanya keragaman social dan keragaman fungsi bahsa. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu
sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan
masyarakat yang beraneka ragam. Variasi atau ragam bahsa itu dapat
diklafikasikan berdasarkan adanya keragaman social dan fungsi kegiatan di dalam
masyarakat social.
5.1.1 Variasi dari
segi penutur
Variasi bahas yang di sebut idiolek, yakni variasi bahsa yang
bersifat perseorangan. Menurut konsep ideolok, setiap orang mempunyai variasi
bahasanya atau ideolknya masing-masing. Variasi ideolek ini berkenaan dengan
“warna” suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya.namun
yang dominan adalah “warna” suara itu, sehingga jika kita cukup akrab dengan
seseoran, hanya dengan mendengar suara berbicaranya tanpa melihat orangnya,
kita dapat mengenalinya.
Variasi
bahsa kedua berdasarkan penuturnya adalah yang di sebut dialek, yakni variasi bahasa
dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada suatu
tempat, wilayah, atau area tertentu. Karena dialek ini didasarkan pada wilayah
atau area tempat tinggal penutur, maka dialek ini lazim disebut dialek areal, dialek regional atau dialek
geografi.
Penggunaan
istilah dialek dan bahasa dalam masyarakat umum memang
seringkali bersifat ambigu. Secara linguistic jika masyarakat tutur masih
saling mengerti, maka alat komunikasinya adalah dua dialek dari bahsa yang sama
namun, secara politis, meskipun dua masyarakat tutur bisa saling mengerti
karena kedua alat komunikasi verbalnya mempunyai kesamaan system dan subsistem,
tetapi keduanya dianggap sebagai dua bahasa yang berbeda. Contohnya, bahasa
Indonesia dan bahasa Malaysia, yang secara linguistic adalah sebuah bahsa,
tetapi secara politis dianggap sebagai dua bahasa yang berbeda.
Bidang
studi linguistik yang mempelajari dialek-dialek adalah dialektologi. Bidang studi ini dalam kerjanya berusaha membuat peta
bats-bats dialek dari sebuah bahsa, yakni dengan cara membandingkan bentuk dan
makna kosakata yangdigunakan dalam dialek-dialek.
Variasi
ketiga berdasarkan penutur dalah yang disebut kronolek atau dialek temporal, yakni variasi bahsa
yang di gunakan oleh kelompok social pada masa tertentu.
Variasi
bahasa yang keempat berdasarkan penuturnya adalah apa yang di sebut sosiolek atau dialek social, yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status,
golongan, dan kelas social para penuturnya. Dalam sosiolinguistik biasanya
variasi inilah yang paling banyak dibicarakan dan paling banyak menyita waktu
untuk membicarakannya, seperti usia, pendidikan, seks, pekerjaan, tingkat
kebangsawanan, keadaan social ekonomi, dan sebagainya. Keadaan social ekonomi
para oenutur dapat juga menyebabkan adanya variasi bahasa.
Variasi
bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan, status, dan kelas social para
penuturnya, biasanya di kemukakan orang variasi bahasa yang disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial,
jargon, argot dan ken.
Yang
dimasud dengan akrolek adalah variasi
social yang dianggap lebih tinggi atau lebih bergengsi dari pada variasi social
lainya. Sebagai contoh akrolek ini adalah yang disebut bahasa bagongan, yaitu variasi bahasa jawa yang khusus di gunakan
oleh para bangsawan kraton jawa.
Yang
dimaksud dengan basilek adalah
variasi social yang dianggap kurang bergengsi, atau bahkan dianggap dipandang
rendah. Bahasa inggris yang di gunakan oleh para cowboy dan kuli tambang dapat dikatakan sebagai basilek. Begitu
juga bahasa jawa “karma ndesa”.
Yang
dimaksud dengan vulgar adalah variasi social yang cirri-cirinya
tampakaian bahasa oleh mereka yang kurang terpelajar, atau dari kalangan mereka
yang tidak berpendidikan. Pada zaman romawi sampai zaman pertengahan
bahasa-bahasa di eropa dianggap sebagai bahasa vulgar, sebab pada waktu itu
para golongan intelek mengunakan bahasa
latin dalam segala kegiatan.
Yang
dimaksud dengan slang adalah variasi
bahsa yang bersifat khusus dan rahasia. Artinya, variasi ini digunakan oleh
kalangan tertentu yang sangat terbatas dan tidak boleh diketahui oleh kalangan
di luar kelompok itu. Oleh karena itu, kosakata yang di gunakan dalam slang ini
selalu berubah-ubah.
Yang
dimaksud dengan kolokial adalah
variasi social yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Colloqulum (percakapan, konversasi).
Jadi, kolokial berarti bahasa percakapan, bukan bahasa tulis. Juga tidak tepat
kalau kolokial di sebut bersifat “kampungan” atau bahasa kelas golongan bawah,
sebab yang penting adalah konteks dalam pemakaianya. Dalam bahasa Indonesia
percakapan banyak digunakan bentuk-bentuk kolokial, seperti dok (dokter), prof (professor), let (letnan),
ndak ada ( tidak ada), trusah (tidak usah), dan sebagainya.
Dalam pembicaraan atau tulisan formal ungkapan-ungkapan seperti contoh di atas
harus di hindarkan.
Yang
dimaksud dengan jargon adalah variasi
social yang digunakan secara terbatas oleh kelompok-kelompok social tertentu.
Ungkapan yang digunakan seringkali tidak dapat dipahami oleh masyarakat umum
atau masyarakat di luar kelompoknya. Namun, ungkapan-ungkapan tersebut tidak
bersifat rahasia.
Yang
dimaksud dengan argon adalah variasi
social yang digunakan secara terbatas pada profesi-profesi tertentu dan
bersifat rahasia. Letak kekhususan argon adalah pada kosakata. Umpamanya,
ungkapan seperti barang dalam arti ‘mangsa’,
kacamata dalam arti ‘polisi’, daun dalam arti ‘uang’, gemuk dalam arti ‘mangsa besar’, dan tape dalam arti ‘mangsa empuk’.
Yang
dimaksud dengan ken (inggris = cant)
adalah variasi social tertentu yang bernada “memelas”, dibuat merengek-rengek,
penuh dengan kepura-puraan.
5.1.2 Variasi dari
segi pemakaian
Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaanya, pemakaiannya,
atau fungsi disebut fingsiolek (Nababan 1984), ragam, atau regester.
Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya,atau
tingkat konfermalan, dan sarana penggunaan. Variasi bahasa berdasarkan bidang
pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu di gunakan untuk keperluan atau
bidang apa. Misalnya, bidang sastra jurnalistik, militer, pertania, pelayaran
perekonomian, perdagangan, pendidikan, dan kegiatan keilmuan. Variasi bahasa
berdasarkan bidang kegiatan ini yang
tampak cirinya adalah dalam bidang kosakata.
Ragam
bahsa jurnalis juga mempunyai cirri tertentu, yakni bersifat sederhana,
komunikatif, dan ringkas. Sederhana karena harus dipahami dengan mudah; dan
ringkas karena keterbatasan ruang (dalam media cetak), dan keterbatasan waktu
(dalam media elektronika).
Ragam
bahasa militer di kenal dengan cirinya yang lugas, jelas, dan bebas dari
keambiguan, serta serta segala macam metafora dan idiom. Bebas dari segala
keambiguan karena bahsa ilmiah harus memberikan informasi keilmuan secara
jelas.
5.1.3 Variasi dari
segi keformalan
Ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal, yag di gunakan
dalam situasi-situasi khidmat, dan ucapan-ucapan resmi, misalnya, dalam upacara
kenegaraan, khotbah di masjid, tata cara pengambilan sumpah; kitab
undang-undang, akte notaries, dan surat-surat keputusan.
Ragam resmi atau formal adalah variasi
bahasa yang di gunakan dalam pidato keegaraan, rapat dinas, surat-menyurat
dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran dan sebagainya. Pola dan kaidah
ragam resmi sudah ditetapkan secara mantap sebagai suatu standar.
Ragam usaha atau ragam konsultatif adalah variasi bahasa yang lazim di gunakan dalam
pembicaraan biasa di sekolah, dalam rapat-rapat atau pembicara yang
berorientasi hasil atau produksi.
Ragam santai atau ragam kasual adalah
variasi bahasa yang di gunakan dalam situasi tidak resmi atau
berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib pada waktu beristrahat,
berolah raga, berekreasi, dan sebagainya.
Ragam akrab atau ragam intim adalah
variasi bahsa yang biasa digunakan oleh para penutur yang hubunganya sudah
akrab, seperti antara anggota keluarga, atau antara teman yang sudah karib.
Ragam ini di tandai dengan artikulasi yang sering tidak jelas.
5.1.4 Variasi dari
segi sarana
Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur
yang digunakan. Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam lisan dan ragam tulis,
atau ragam dalam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, yakni,
misalnya, dalam bertelepon dan bertelegraf. Adalnya ragam bahasa lisan dan
ragam bahasa tulis didasarkan pada kenyataan bahwa bahsa lisan dan bahasa
tulisan memiliki wujud struktur yang tidak sama. Adanya ketidaksamaan wujud struktur ini adalah
karena dalam berbahasa lisan atau dalam menyampaikan informasi secara lisan,
kita dibantu oleh unsure-unsur nonsegmental atau unsure nonlinguistic yang
berupa nada suara, gerak-gerik tangan, gelengan kepala, dan sejumlah
gejala-gejala fisik lainya. Dalam berbahasa tulisan kita harus lebih menaruh
perhatian agara kalimat-kalimat yang kita susun bisa dapat dipahami pembaca
dengan baik.
5.2 Jenis Bahasa
Dalam pembicaraan mngenai variasi bahsa kita berbicara
tentang satu bahasa yang memiliki
berbagai variasi berkenaan dengan penutur dan penggunaannya secara konkret.
Begitu dalam pembicaraan variasi bahsa itu kita kenal dengan idiolek, dialek,
sosiolek, kronolek, fungsiolek, ragam, dan regester.
Penjenisan
bahasa secara sosiolinguistik tidak sams dengan penjenisan (klasifikasi) bahasa
secara geneologis dan tipologis berkenaan dengan cirri-ciri internal
bahasa-bahasa itu; sedangkan penjenis secara sosiolinguitik berkenaan dengan
faktorfaktor eksternal bahsa atau bahasa-bahasa itu yakni factor sosiologis,
politis, dan cultural.
5.2.1 Jenis Bhasa
Berdasarkan Sosiologis
Penjenisan berdasarkan factor sosiologis, artinya, penjenisan
itu tidak terbatas pada struktur internal bahasa, tetapi juga berdasarkan
factor sejarahnya, kaitanya dengan sistem linguistik lain dan pewarisa dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Penjenis secara sosiologis ini penting
untuk menentukan satu system linguistic tertentu, apakah bisa disetujui atau
tidak oleh anggota masyarakat tutur
untuk menggunakan dalam fungsi tertentu, misalnya sebagai bahasa resmi
kenegaraan, dan sebagainya
Stewart (dalam fishman (ed.) 1968)
mengunakan empat dasar untuk menjeniskan bahasa-bahasa secara sosiologis, yaitu
(1) standardisasi, (2) otonomi, (3) historisitas, dan (4) vitalitas. Keempat
factor itu oleh fishman (1972: 18)
Standrdisasi
atau pembukaan adalah adanya kodifikasi dan penerimaan terhadap sebuah bahasa oleh
masyarakat pemakai bahasa itu akan seperangkat kaidah atau norma yang
menentukan pemakaian “bahsa yang besar” (bandingkan fishman (ed.) 1968: 534).
Jadi, standarsasi ini mempersoalkan apakah sebuah bahasa memiliki kaidah-kaidah
atau norma-norma yang sudah dikodifikasikan atau tidak yang diterima oleh
masyarakat tutur atau merupakan dasar dalam pengajaran bahasa, baik sebagai
bahasa pertama maupun bahasa kedua. Kodifikasi ini tentunya harus diterima oleh
masyarakat berupa penerimaan kaidah-kaidah itu serta dibantu oleh pemerintah
untuk masyarakatkan kaidah-kaidah tadi. Standardisasi tampaknya merupakan satu
cirri bahasa “yang di haruskan”, bukan satu cirri yang sudah ada secara
internal dalam bahasa itu (lihat Bell 1976: 48). Ragam baku biasanya di pilih dan
ditetapkan dari salah satu variasi regional maupun social.
Otonomi
atau keotonomian Sebuah sistem linguistik disebut mempunyai keotonomian kalau system
linguistic itu memiliki kemandirian system yang tidak berkaitan dengan bahasa
lain (fishman 1968: 535). Jadi, kalau ada dua system linguistik atau lebih
tidak mempunyai hubungan kesejarahan, maka berrarti keduanya memiliki
keotonomian masing-masing.
Historisitas
atau kesejarahan sebuah sistem
linguistik dianggap mempunyai historisitas kalau diketahui atau dipercaya
sebagai hasil perkembangan yang normal pada masa yang lalu (fishman 1968: 535).
Factor kesejarahan ini berkaitan dengan tradisi dari etnik tertentu. Jadi, faktor historisitas ini
memperolehkan, apakah system linguistik itu tumbuh melalui pemakaian oleh
kelompok etnik atau social tertentu atau tidak.
Vitalitas
atau keterpakaian yang dimaksud
dengan vitalitas adalah pemakaian sistem linguistik oleh masyarakat penutur asli yang tersolasi (fishman 1968:
536). Jadi unsure vatalitas ini mepersoalkan apakah sistem linguistik tersebut
memiliki penutur asli yang masih menggunakan atau tidak. Bahasa bisa saja
kehilangan vatalitasnya kalau para penutur aslinya telah musnah atau telah
meninggalkanya (lihat Bell 1976: 148; juga Ayatrohaedi dalam Muhadjir dan
Basuki 1990: 262-270)
Kemusian berdasarkan ada(+) atau
tidak ada (-) unsure-unsur tersebut (standardisasi, otonomi, historisitas, dan
vatalitas) Stewart membedakan adanya tujuh jenis atau tipe bahasa, seperti
tampak dalam bagan berikut.
Dasar penjenisan
|
Jenis
bahsa
|
Contoh
|
|||
standardisasi
|
otonomi
|
historitas
|
vatalitas
|
||
+
+
+
-
-
-
-
|
+
+
+
+
-
-
-
|
+
+
-
+
+
-
-
|
+
-
-
+
+
+
-
|
Standar
Klasik
Artificial
Vernakuler
Dialek
Kreol
pijin
|
Inggris
Latin
Vö
lapuk
Beberapa
bahasa daerah di Indonesia
berdasarkan dialek basa jawa * * |
Bahasa artifisial adalah bahasa
buatan, seperti bahasa völapuk dan bahasa Esperanto. Bahasa jenis ini memiliki
cirri standardisasi dan otonomi, tetapi tidak memiliki cirri historitas dan
vitalitas. Bahasa artificial ini adalah bahasa yang dibuat , disusun dengan
maksud untuk dijadikan bahasa pengantar (lingua franca) internasional. Jadi,
bukan bahasa alamiah. Menurut catatan sejarah, ada tiga buah bahsa artificial,
yaitu bahasa völapuk, bahasa Esperanto,
dan bahasa Interlingua.
Bahasa
Esperanto, diciptakan oleh seorang dokter kebangsaan polandia bernama Ludwik
Zamenhof, dengan tujuan agar masyarakat dunia terbebas dari perselisihan akibat
perbedaan bahasa. Kosakatanya terutama diambil dari bahasa jerman dan
bahasa-bahasa roma. Kaidah-kaidah gramatiknya di susun dengan sangat sederhana,
sehingga dapat dengan mudah dipelajari oleh segenap lapisan masyarakat.
Bahasa vernacular menurut Pei dan
Gaynor (1954: 227) adalah bahasa pada umumnya yang di gunakan sehari-hari oleh
satu bahasa atau wilayah geografis, yang bisa dibedakan dari bahasa sastra yang
dipakai terutama di sekolah-sekolah dan dalam kesusastraan. Bahsa jenis
vernacular ini memiliki cirri otonomi, histirisitas, dan vatalitas, tetapi
tidak mempunyai cirri standardisasi. Contohnya adalah bahasa pribumi Eropa pada
abat pertengahan.
Jenis bahasa yang disebut dialek
memiliki cirri vitalitas dan historisitas; tetapi tidak memiliki cirri
standardisasi dan otonomi, sebab keotonomian bahsa ini berada di bawah langue bahasa induknya. Bahasa yang
berjenis kreol hanya memiliki
vitalitas; tidak memiliki cirri standardisasi, otonomi, dan historitas. Pada
mulanya sebuah kreol bersal dari
sebuah pijin, yang dalam perkembangannya
digunakan pada generasi berikutnya, sebagai satu-satunya alat komunikasi verbal
yang mereka kuasai. Bahasa yang berjenis pijin
tidak memiliki keempat dasar penjenisan. Bahasa jenis ini terbentuk secara
alami di dalam suatu kontak social yang terjadi antara sejumlah penutur yang
masing-masing memiliki bahasa ibu.
5.2.2 jenis bahasa
berdasarkan sikap politik
Berdasarkan sikap politik atau social politik kita dapat
membedakan adanya bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa Negara, dan bahasa
persatuan.
Sebuah
sistem linguistik disebut sebagai bahasa nasional, seringkali juga
disebut sebagai bahasa kebangsaan, adalah kalau system linguistik itu diangkat
oleh suatu bangsa (dalam arti kenegaraan) sebagai salah satu identitas
kenasionalan bangsa itu.
Yang
dimaksud dengan bahasa Negara adalah
sebuah system linguistik yang secara resmi dalam undang-undang dasar
sebuah Negara ditetapkan sebagai alat komunikasi resmi kenegaran. Artinya,
segala urusan kenegaraan, administrasi kenegaraan, dan kegiatan-kegiatan
kenegaraan dijalankan dengan menggunakan bahasa itu.
Yang
dimaksud dengan bahasa resmi adalah sebuah system linguistik yang
ditetapkan untuk digunakan dalam suatu pertemuan, seperti seminar, konfersi,
rapat, dan sebagainya.
Yang
dimaksud dengan bahasa persatuan adalah dilakukan oleh suatu bangsa
dalam kerangka perjuangan, di mana bangsa yang berjuang itu merupakan
masyarakat multilingual. Kebutuhan akan adanya sebuah bangsa persatuan adalah
untuk mengikat dan mempererat rasa persatuan sebagai satu kesatuan bangsa.
Dari
uraian di atas dapat dilihat bahwa bahasa nasional, bahasa Negara, bahasa
resmi, dan
Bahasa persatuan di Indonesia
mengacu pada suatu system linguistik yang sama, yaitu bahasa Indonesia.
Sedangkan di Filipina, di india, dan di singapur tidak.
5.2.3 jenis bahasa
berdsarkan tahap pemerolehan
Berdasarkan
pemerolehannya dapat dibedakan adanya bahasa ibu, bahasa pertama, dan bahasa
kedua dan bahasa asing. Penanaman bahasa ibu dan bahasa pertama adalah mengacu
pada satu system linguistik yang sama. Yang disebut bahasa ibu adalah satu
system linguistik yang pertama kali dipelajari secara alamiah dari ibu atau
keluarga yang memelihara seorang anak.
Bahasa
ibu lazim juga disebut bahasa pertama (disingkat BI) karena bahasa itulah yang
pertama-tama dipelajarinya. Kalau si anak mempelaji bahasa lain yang bukan
bahasa ibunya maka bahasa lain yang dipelajarinya itu disebut bahasa kedua
(disingkat B2). Andaikata kemudian si anak mempelajari bahasa lain lagi maka
bahasa yang dipelajari terakhir ini disebut bahasa ketiga (disingkat B3).
Yang
disebut bahasa asing akan selalu merupakan bahasa kedua bagi seorang anak. Di
samping itu penanaman bahasa asing ini juga bersifat politis yaitu bahasa
digunakan oleh bangsa lain.
5.2.4 lingua franca
Lingua
franca adalah sebuah system linguistik yang digunakan sebagai alat komunikasi
sementara oleh para partisipanyang mempunyai bahasa ibu yang berbeda.
Pemilihan
satu system linguistik menjadi sebuah lingua franca adalah berdasarkan adanya
kesalingpahaman diantara sesame mereka.
Karena
dasar pemilihan lingua franca adalah keterpahaman atau kesalingpengertian dari
para partisipan yang menggunakannya maka bahasa apa pun baik sebuah langue,
piji, maupun kreol dapat menjadi sebuah lingua franca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar