Karya: dayan Teza Anggara
UDARA seperti
membeku di sekitar ruangan, sebuah kamar
rumah sakit Fatmawati, baturaja, Sumatra selatan Dan, tempat tidur yang
serba putih, citra terbaring kaku dalam waktu yang juga seakan membeku. Ia
tidak berani untuk menghitung lagi jarum jam di ruanan tersebut berputar
melewati angka dua belas, dan semakin mendekati ajalnya yang akan menjemput. Dokter
telah memperediksikan bahwa usianya tinggal hitungan hari lagi, dan
satu-satunya yang ia tunggu selama ini adalah mawar biru dari kekasihnya. mawar biru. Bukan mawar merah ataupun mawar putih. Ia inginkan hanya satu bunga
bukan seikat atau sekeranjang. tetapi, adakah mawar berwarna biru? Ari
sebenarnya tidak yakin apakah ada mawar berwarna biru. Dan yang ia pernah lihat adalah bunga mawar merah,
putih, dan kuning. Ketiganya ia lihat di took bunga. Ari harus mencari kemana
lagi hamper semua took bunga ia cari tetapi tidak ada dan mustahil untuk di
jumpai. Lalu ari bertanya kepada kekasihnya.
“Apa kau yakin ada mawar berwarna biru, Sayang?”
“Aku yakin. Aku pernah melihatnya.”
“Apa kau yakin ada mawar berwarna biru, Sayang?”
“Aku yakin. Aku pernah melihatnya.”
“Bukan dalam mimpi?”
“Bukan. Di sebuah taman. Tapi, aku lupa taman itu. Rasa-rasanya di taman kota.” Dengan wajah pucat dan senyuman
“Bukan. Di sebuah taman. Tapi, aku lupa taman itu. Rasa-rasanya di taman kota.” Dengan wajah pucat dan senyuman
ari terdiam. Lalu ia
berpikir keraguan, bahwa mawar biru itu mustahil ada dan lalu citra melihat
dari bola mata kekasihnya adanya keraguan.
“Carilah, Sayang. Jangan ragu-ragu. Hanya itu yang aku inginkan darimu, sebagai permintaan terakhirku. Carilah dengan bunga itu dengan segenap cintamu.” citra berusaha meyakinkan kekasihnya tersebut.
“Carilah, Sayang. Jangan ragu-ragu. Hanya itu yang aku inginkan darimu, sebagai permintaan terakhirku. Carilah dengan bunga itu dengan segenap cintamu.” citra berusaha meyakinkan kekasihnya tersebut.
Maka, dengan rasa
cinta, berangkatlah Ari mencari setangkai mawar biru permintaan kekasihnya itu.
Lalu ia langsung menuju taman-taman kota, dan mencari dari sudut ke sudut taman
kota. Ia Tidak menemukan setangkaipun mawar biru yang di pesan oleh kekasihnya.
Bahkan ia juga keluar masuk kampung dan kompleks perumahan , memeriksa tiap halaman rumah
dan taman-taman di sanaberharap ia menemkan mawar biru. Berhari-hari ia
bertanya-tanya ke sana kemari, mencari mawar berwarna biru. Tetapi yang ia
temukan hanya mawar merah, putih, dan kuning lalu ia bertemu dengan seseorang
mahasiswa UNBARA
“penjual Bunga mawar
berwarna biru adanya di mana ya? Aku sedang membutuhkannya!” tanyanya pada
seorang mahasiswa
“Ah, ada-ada saja kamu. Biar kamu cari sampai ke ujung dunia pun enggak bakal ada.”
“Tapi, citra kekasihku pernah melihatnya.”
“mungkin Bunga kertas kali!”
“Jangan bercanda!Ini sedang serius. Usia dia tinggal tinggal menghitung hari saja. Hanya sekuntum mawar biru yang dia minta dariku untuk dibawa mati nanti.”
“Kalau memang tidak ada harus bagaimana? Jadi yang tidak ada di ada-adain begitu”.
“Ah, ada-ada saja kamu. Biar kamu cari sampai ke ujung dunia pun enggak bakal ada.”
“Tapi, citra kekasihku pernah melihatnya.”
“mungkin Bunga kertas kali!”
“Jangan bercanda!Ini sedang serius. Usia dia tinggal tinggal menghitung hari saja. Hanya sekuntum mawar biru yang dia minta dariku untuk dibawa mati nanti.”
“Kalau memang tidak ada harus bagaimana? Jadi yang tidak ada di ada-adain begitu”.
Lalu ari pulang ke
rumah sakit dan menceritakan kejadian ia saat mencari bunga tersebut citra melemas
mendengar uangkapan itu. Ia sadar, siapa pun tidak akan dapat menemukan sesuatu
yang tidak pernah ada walaupun sampai ke ujung dunia sekalipun, kecuali jika tuhan
tiba-tiba menciptakannya di depan hadapanya. Tapi bagaimana ia harus meyakinkan
citra bahwa mawar itu memang benar-benar tidak ada, Jangan-jangan ia melihatnya hanya di dalam
mimpinya?
Ari duduk termenung
di bangku taman, di salah satu Taman kota. Ia memandang ke setiap seluruh sudut-sudut taman tersebut walau ia bosan melakukanya karena ulang-ulang dan
pantang menerah. Ia masih berharap dapat menemukan mawar biru di sana, atau sebuah
keajaiban bisa memunculkan sekuntum mawar biru di depan pandanganya. “Ya,
kenapa aku tidak berdoa, memohon padaNya saja?” pikirnya.
“Ya Allah, dengan kekuatanmu, mekarkanlah sekuntum mawar biru di depanku saat ini juga,” teriak Ari tiba-tiba, sambil berdiri, menadahkan tangan dan melihat ke langit.
“Ya Allah, dengan kekuatanmu, mekarkanlah sekuntum mawar biru di depanku saat ini juga,” teriak Ari tiba-tiba, sambil berdiri, menadahkan tangan dan melihat ke langit.
Tak lama kemudian
setelah ia duduk kembali ada seorang lelaki tua gembel, dengan berpakaian
robek-robek, menghampirinya dan duduk di sebelahnya. Bau menyengat langsung menusuk hidung ari dan membuatnya seakan
ingin muntah. “gembel ini pasti tak pernah mandi,” pikirnya. Ari mengambil
jaketnya di tempat iya duduk, bermaksud segera pindah ke bangku lain. Tapi,
orang tua itu tiba-tiba meminta tolong:
“Maaf, Nak. Bolehkah
saya minta tolong?”
“Minta tolong apa, Pak tua?” menahan bau dari sekitar tubuh pria tua itu
“Rumah Bapak di seberang sana. Bapak ingin pulang kerumah nak tetapi bapak tidak berani menyeberang sendiri. Takut tersesat.” Di sertai batuk lanjur usia
“Minta tolong apa, Pak tua?” menahan bau dari sekitar tubuh pria tua itu
“Rumah Bapak di seberang sana. Bapak ingin pulang kerumah nak tetapi bapak tidak berani menyeberang sendiri. Takut tersesat.” Di sertai batuk lanjur usia
Orang tua tersebut
ternyata tuna netra, itu batuk-batuk dan meludah sembarangan tempat. Ari semakin jijik melihat tingkah laku orang tua
tersebut dan ingin cepat-cepat mengantarkanya.
“Kota ini
betul-betul seperti hutan, menyesatkan.Banyak binatang buasnya. Harimau, ular
berbisa, tikus busuk, kecoa, semua ada di sini. Kau harus hati-hati Nak, agar
tidak jadi korban mereka.”
“iyaa pak..Bapak mau pulang sekarang?”
“Iya ya, Nak.antarkan bapak sampai rumah ya?”
“iyaa pak..Bapak mau pulang sekarang?”
“Iya ya, Nak.antarkan bapak sampai rumah ya?”
Ari pusing,
Semantara ia mencari bunga mawar biru yang belum ketemu, dan kini di tambah ada
orang tua gembel minta diantar pulang Sampai rumahnya pula. Dan selain itu juga
ia harus menahan muntah karena bau yang menyekak dari lelaki tua itu. Meski
hatinya agak berat, Ari terpaksa menuntun lelaki tuna netra itu menuju rumahnya.
Dan ia harus sering-sering menahan nafas untuk menolak bau tubuh lelaki tua itu.
“Bapak tinggal di
kampung apa?”
“Di kampung seberang.”
“Aduh…. Bapak tadi naik apa ke sini?”
“Di kampung seberang.”
“Aduh…. Bapak tadi naik apa ke sini?”
“Kereta api nak,
Tadi Bapak naik dari stasiun Bandar lampung mau pulang. tapi kebablasan sampai
sini. Jadi, tolong diantar ya, Nak. Bapak takut kebablasan lagi.” Ujar lelaki
tua itu yang memegang tangan Ari
Ari terpaksa
mengantarkan orang tua tuna netra itu, dengan naik kereta api dari stasiun baturaja.
Begitu setelah naik ke dalam gerbong, lelaki gembel itu langsung beraksi mengemis, dan Ari dipaksa menuntunnya dari
penumpang ke penumpang lain. Maka, jadilah ia pengemis bersama orang tua yang tuna netra itu, dengan menahan rasa malu
dan cemas tekut kepergok kawannya.
“Maaf yaa Nak, Bapak
hanya bisa meminta-minta seperti ini untuk menyambung hidup dan hanya inilah
yang bapak bisa. Tapi, Bapak rasa ini lebih baik dari pada jadi maling atau sebagai
koruptor. Dulu Bapak pernah jadi tukang pijat. Tapi sekarang tidak laku lagi,
karena sudah terlalu tua,” menceritakan kisah lelaki gembel itu.
Setelah mereka turun dari kereta api di Stasiun lintang panjang, hari
sudah sore. Lelaki tua itu mengajak Ari menyeberang ke arah timur, kemudian mengajak menyusuri sebuah gang. Tiap
ditanya rumahnya di sebelah mana, di gang apa, lelaki tua itu selalu menunjuk
ke timur, hingga mereka sampai di tepi sungai sangari. Pada saat itu, tanpa tidak
sengaja Ari melihat tanaman dengan
bunga-bunga berwarna biru tumbuh di pinggir sebuah jematan yang jarang orang
lewati.
Ari bergegas berlari
ke tanaman bunga itu, dan ternyata benar bunga mawar biru, yang tumbuh liar di
tepi sungai sangaridi bawah jembatan yang tua. Dia langsung berjongkok dan
dengan hati yang bergejolak gejolak memetik beberapa bunga, serta mencium-ciumnya bunga
tersebut.Harum bunga itu begitu menyengat, seperti bau parfum yang mahal. Saat
itulah, tiba-tiba terdengar suara lelaki tua itu yang tadi bersamanya dari
belakangnya:
“Nak, ini uangmu.Saya taruh di sini ya.Saya pamit dulu.” Ujar orang tua itu dan menghilang.
Ari langsung berpaling ke belakang. Tapi tak ada siapa-siapa, kecuali sebuah kantong plastik putih di belakangnya. Dengan matanya, Ari mencari-cari lelaki tua kanan dan kiri itu di tiap sudut jalan dan tepi sungai, tapi tidak menemukannya. Anehnya, lelaki itu hilangbe gitu saja, pikirnya.
“Nak, ini uangmu.Saya taruh di sini ya.Saya pamit dulu.” Ujar orang tua itu dan menghilang.
Ari langsung berpaling ke belakang. Tapi tak ada siapa-siapa, kecuali sebuah kantong plastik putih di belakangnya. Dengan matanya, Ari mencari-cari lelaki tua kanan dan kiri itu di tiap sudut jalan dan tepi sungai, tapi tidak menemukannya. Anehnya, lelaki itu hilangbe gitu saja, pikirnya.
Ari merasa sedikit
takut. Pikirannya bertanya-tanya siapa lelaki tua gembel yang membawanya ke
tempat itu dan hilang begitu saja. Malaikatkah dia? Jinkah ia?
Ari merinding memikirkannya.
Setelah mawar biru
ada di tangannya, satu-satunya yang terpikir oleh Ari adalah segera membawanya
kepada kekasihnya citra, yang sedang sekarat di rumah sakit Fatmawati. Ia lalu
mencari taksi untuk meluncur cepat ke sana .
Di ruangan, tempat citra berbaring koma. Tangannya diinfus dengan darah merah, hidungnya ditutup dengan masker oksigen. Matanya terpejam dengan wajah pucat pasi. Ayah dan ibu citra duduk di dekatnya dengan wajah cemas.Dengan perasaan cemas pula Ari mendekati citra dan berbisik di telinganya,
“citra, kau dengar aku. Aku telah menemukan mawar biru yang kau tunggu-tunggu. Ini aku bawakan untukmu.”
Tiba-tiba gadis itu membuka matanya, dan pelan-pelan tangannya bergerak, membuka masker oksigen dari hidungnya.
Di ruangan, tempat citra berbaring koma. Tangannya diinfus dengan darah merah, hidungnya ditutup dengan masker oksigen. Matanya terpejam dengan wajah pucat pasi. Ayah dan ibu citra duduk di dekatnya dengan wajah cemas.Dengan perasaan cemas pula Ari mendekati citra dan berbisik di telinganya,
“citra, kau dengar aku. Aku telah menemukan mawar biru yang kau tunggu-tunggu. Ini aku bawakan untukmu.”
Tiba-tiba gadis itu membuka matanya, dan pelan-pelan tangannya bergerak, membuka masker oksigen dari hidungnya.
“Mana bunga itu, Sayang,”
katanya dengan suara kecil.
“Ini.” Jawab Ari dengan wajah yang penu harapan bahwa kekasihnya akan sembuh dari penyakit.
“Ini.” Jawab Ari dengan wajah yang penu harapan bahwa kekasihnya akan sembuh dari penyakit.
Dengan tangan
kanannya citra memegang bunga itu, lalu
menempelkan ke hidungnya dan mencium harumnya dengan penuh gairah. Pelan-pelan rona wajahnya menjadi segar.
“Bunga ini akan
menyembuhkanku. Ini bunga yang kulihat dalam mimpi. Ini pasti bunga dari surga.
Syukurlah, kau dapat menemukannya. Aku akan memakannya.”
citra benar-benar
memakan bunga tersebut, helai demi helai kelopaknya. dengan bibir pecah dan
pucat pasih agak berwarna abu-abu senyum, pelan-pelan ia memejamkan matanya. Ia tertidur
dengan mendekap sekuntum mawar biru yang tersisa.
Ini kaya cerita Mawar Biru untuk Novia.Cuma diganti namanyA😑
BalasHapus