1. Pengertian Belajar
Kalau kita bertanya kepada orang tentang apa yang
dimaksud dengan belajar, maka akan kita peroleh jawaban yang bermacam-macam.
Perbedaan pendapat mengenai arti belajar tersebut disebabkan adanya perbedaan
sudut pandang dalam melihat pengertian belajar itu sendiri. Sebagian orang
beranggapan bahwa belajar adalah semata-mata mengumpulkan dan menghafalkan
fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi atau materi pelajaran. Orang
yang beranggapan demikian akan segera puas dan bangga jika ketika melihat
anak-anaknya mampu menyebutkan kembali secara lisan (verbal) sebagian besar
informasi yang didapatkannya dari teks atau yang diajarkan oleh guru.
Ada pula yang beranggapan bahwa belajar itu sama
dengan latihan. Anggapan semacam ini akan menyebabkan orang merasa puas bila
melihat anak-anaknya telah mampu memperlihatkan keterampilan tertentu seperti,
membaca, menulis, atau menunjukkan gerakan-gerakan tertentu walaupun tanpa
mengetahui arti, hakikat, dan tujuan keterampilan tersebut. Untuk
menyempurnakan pemahaman mengenai arti belajar, berikut ini akan dikemukakan
beberapa definisi belajar dari para ahli dengan sedikit komentar dan
interpretasi.
Muhibin Syah (2009: 64-65) dalam bukunya Psikologi
Belajar mengemukakan definisi belajar menurut pendapat beberapa ahli
antara lain sebagai berikut :
1) Pendapat Skinner yang dikutif
oleh Barlow (1985) dalam bukunya Educational Psyccology menyatakan: The
teaching leaching process, yang artinya belajar adalah suatu proses adaptasi.
Selanjutnya Skinner berpendapat bahwa proses adaptasi tersebut akan
mendatangkan hasil yang optimal apabila ia diberi penguat (reinforcer).
2) Chaplin (1972) dalam Dictionary
of Psychology membatasi belajar dengan dua macam rumusan. Rumusan pertama
berarti; “Belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap
sabagai akibat latihan dan pengalaman.” Rumusan keduanya; “Belajar adalah
proses memperoleh respons-respons sebagai akibat adanya latihan khusus.”
3) Hintzman (1978) dalam
bukunya The Psychology of Learning and Memoryberpendapat bahwa; “Belajar
adalah suatu perubahan dalam diri organisme, manusia atau hewan, disebabkan
oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut.” Jadi,
dalam pandangan Hintzman, perubahan yang ditimbulkan oleh pengalaman tersebut
baru dapat dikatakan belajar apabila mempengaruhi organisme.
4) Wittig (1981) dalam
bukunya Psychology of Learning mendifinisikan: “Belajar adalah
perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam/keseluruhan
tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman.”
Terminologi lain menyebutkan: “Belajar adalah suatu
proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah
laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri
dalam interaksi dengan lingkungan.” (Ahmadi dan Supriyono. 2004: 128).
Belajar sering juga diartikan sebagai penambahan,
perluasan, dan pendalaman pengetahuan, nilai dan sikap, serta keterampilan.
Secara konseptual fontana (1981) mengartikan belajar adalah suatu proses
perubahan yang relatif tetap dalam perilaku ndividu sebagai hasil dari
pengalaman. Pengertian belajar yang cukup komprehensif diberikan oleh Bell-Gredler
(1986: 1) yang menyatakan bahwa belajar adalah proses yang dilakukan oleh
manusia untuk mendapatkan aneka ragam competencies, skills, and attitudes.
Kemampuan (Competencies), keterampilan (skills), dan sikap (attitudes) tersebut
diperoleh secara bertahap dan berkelanjutan mulai dari masa bayi hingga masa
tua melalui rangkaian proses belajar sepanjang hayat. Rangkaian proses belajar
itu dilakukan dalam bentuk keterlibatannya dalam pendidikan formal, pendidikan
non formal, maupun pendidikan informal. Kemampuan belajar inilah salah satu
sifat yang dimiliki manusia yang membedakannya dari makhluk yang lain
(Winataputra, dkk, 2007: 1.5).
Di kalangan ahli psikologi terdapat keragaman dalam
cara menjelaskan dan mendefinisikan makna belajar (learning). Pada akhirnya,
secara eksplisit maupun implisit terdapat kesamaan maknanya,yakni definisi
manapun tentang konsep belajar selalu menunjukkan kepada suatu proses perubahan
perilaku atau pribadi seseorang berdasarkan praktek atau pengalaman tertentu.
(Makmun. 2007: 157). Ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar
adalah perubahan yang terjadi secara sadar, bersifat fungsional, bersifat
positif dan aktif, tidak bersifat sementara, bertujuan atau terarah, dan
mencakup seluruh aspek tingkah laku. (Ahmadi dan Supriyono. 2004: 129-130).
Secara kuantitatif belajar dapat berarti
kegiatan pengisian atau pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta yang
sebanyak-banyaknya. Dalam hal ini keberhasilan belajar dilihat dari seberapa
banyak materi yang dapat dikuasai peserta didik. Secarainstitusional (tinjauan
kelembagaan), belajar dipandang sebagai proses validasi (pengabsahan) terhadap
penguasaan peserta didik atas materi-materi yang telah ia pelajari. Bukti
institusional bahwa peserta didik telah belajar dapat diketahui dalam
hubungannya dengan proses pembelajaran. Semakin baik mutu mengajar yang
dilakukan guru maka akan semakin baik pula mutu perolehan peserta didik yang
kemudian dinyatakan dalam bentuk skor atau nilai. Adapun belajar secara kualitatif ialah
suatu proses untuk memperoleh arti-arti dan pemahaman-pemahaman serta cara-cara
menafsirkan dunia di sekeliling peserta didik. Dalam pengertian ini belajar
difokuskan pada peningkatan daya pikir dan tindakan berkualitas untuk
memecahkan masalah-masalah yang kini dan nanti dihadapi siswa. (Syah. 2009:
67-68).
Terkait dengan perkembangan teori belajar, pada awal
abad 20, sejalan dengan berkembangnya disiplin psikologi, berkembang pula
berbagai pemikiran tentang belajar yang digali dari berbagai penelitian empiris.
Pada masa itu mulai berkembang dua kutub teori belajar, yakni teori
behaviorisme dan teori gestalt. Kunci dari teori behaviorisme yang digali dari
penelitian Ivan Paplov pemenang hadiah Nobel tahun 1904. V.M. Bechtereve, dan
J.B. Watson adalah proses relasi antara Stimulus dan Respons (S-R). Sedangkan
kunci dari teori Gestalt adalah relasi antara bagian dengan totalitas
pengalaman. Sejak itu berkembanglah berbagai teori belajar yang bertolak dari
ontologi penelitian yang berbeda-beda tetapi semua bertujuan untuk menjelaskan
bagaimana belajar sesunguhnya terjadi.
Beberapa teori belajar secara signifikan banyak
mempengaruhi pemikiran tentang proses pendidikan, termasuk pendidikan jarak
jauh. Teori Operant Conditioningatau Pengkondisian Operant dari B.F. Skinner
yang menekankan pada konsepreinforcement atau penguatan (Bell Gladler,
1986: 77-91), dan teori Conditions of Learning dari Robert Gagne yang
menekankan pada behavior development atau perkembangan perilaku
sebagai produk dari commulative effects of learning atau efek
komulatif dari belajar (Bell Gredler, 1986: 117-130) mempengaruhi pandangan
tentang bagaimana menata lingkungan belajar. Sementara itu, teori Information
Processingyang menekankan pada proses pengolahan informasi dalam berfikir (Bell
Gredler, 1986: 153-169), dan teori Cognitive Development atau
Perkembangan Kognitif dari Jean Piaget yang menekankan pada konsep ways of
knowing atau jalan untuk tahu (Bell Gredler 1986: 193-209) mempengaruhi
pandangan tentang bagaimana mengembangkan proses intelektual peserta didik. Di
lain pihak teori Social Learning atau teori Belajar Sosial dari
Albert Bandura yang menekankan pada perolehan compelx skills and abilities atau
kemampuan dan keterampilan kompleks melalui pengamatan modeled behavior atau
perilaku yang diteladani beserta konsekuensinya terhadap perilaku individu
(Bell Gredler, 1986: 235-253) dan teori Atribution atau teori
Atribusi dari Bernard Werner yang menekankan pada relasi antara ability,
effort, task difficulty, and luck dalam keberhasilan atau kegagalan
belajar (Bell Gredler, 1986: 276-291) mempengaruhi pandangan tentang bagaimana
melibatkan individu dalam konteks sosial. Sedangkan teori Experiental
Learning atau Belajar melalui Pengalaman dari David A. Kolb (1984),
yang menekankan pada konsep transformation of experiences atau
transformasi pengalaman dalam membangun knowledge atau pengetahuan, teori Social
Development atau teori Perkembangan Sosial dari L. Vygosky yang menekankan
pada konsep zon of proximal development atau arena perkembangan
terdekat melalui proses dialogis dan kebersamaan (Cheyne dan Taruli, 2005),
dan Web Based Learning Theoryatau Teori Belajar Berbasis Jaringan yang
menekankan pada interaksi individu dengan sumber informasi berbasis jaringan
elektronik mempengaruhi pandangan tentang bagaimana memanfaatkan lingkungan
belajar yang bersifat multipleks guna menghasilkan belajar yang lebih bermakna
(Winataputra, 2007: 1.6-1.7). Semua konsep yang dibangun dalam masing-masing
teori tersebut melukiskan bagaimana proses psikologis-internal-individual atau
psikososial dan psiko kontekstual yang relatif bebas dari konteks pedagogik
yang sengaja dibangun untuk menumbuhkembangkan potensi belajar individu.
Belajar merupakan suatu proses dasar dari
perkembangan manusia, yang dengannya manusia dapat melakukan
perubahan-perubahan sehingga tingkah laku dan hidupnya terus berkembang. Segala
prestasi hidup yang telah dicapai manusia, tidak lain adalah hasil dari
belajar. Manusia hidup dan bekerja (berbuat) menurut apa yang dipelajarinya. Belajar
bukan sekedar pengalaman. Belajar adalah suatu proses, belajar bukan suatu
hasil. Oleh karenanya, belajar itu berlangsung secara aktif dan integratif
dengan menggunakan berbagai bentuk perbuatan untuk mencapai suatu tujuan.
Dalam konteks pencapaian tujuan pendidikan nasional
konsep belajar harus diletakkan secara substantif-psikologis terkait pada
seluruh esensi tujuan pendidikan nasional mulai dari iman dan takwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, akhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Hal demikian senada dengan
rumusan pengertian pendidikan yang tersebut dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional: “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Belajar yang secara konseptual bersifat content
free atau bebas isi, secara operasional-kontekstual menjadi konsep yang
bersifat content based atau bermuatan. Oleh karena itu, konsep
belajar dalam konteks tujuan pendidikan nasional harus dimaknai sebagai belajar
untuk menjadi orang yang: beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga
negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Oleh karena pendidikan memiliki
misi psiko pedagogik dan sosio pedagogik, maka pengembangan pengetahuan,
nilai-nilai dan sikap, serta keterampilan mengenai keberagamaan dalam konteks
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; keberagamaan dalam konteks
berakhlak mulia, ketahanan jasmani dan rohani dalam konteks sehat; kebenaran
dan kejujuran akademis dalam konteks berilmu melekat; terampil dan cermat dalam
konteks cakap; kebaruan (novelty) dalam konteks kreatif; ketekunan dan percaya
diri dalam konteks mandiri; kebangsaan, demokrasi dan patriotisme dalam konteks
warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab seyogianya dilakukan dalam
rangka pengembangan kemampuan belajar peserta didik.
2. Ciri-ciri Belajar
Belajar tidak hanya berkenaan dengan jumlah
pengetahuan tetapi juga meliputi seluruh kemampuan individu. Dari uraian
tentang pengertian belajar sebagaimana tersebut di atas, setidaknya dapat
dikemukakan tiga hal yang merupakan ciri-ciri belajar.
Pertama, belajar haraus memungkinkan terjadinya
suatu perubahan perilaku pada individu. Perubahan tersebut tidak hanya pada
aspek pengetahuan atau kognitif saja tetapi juga meliputi aspek nilai dan sikap
(afektif) serta keterampilan (psikomotorrik).
Kedua, perubahan itu harus merupakan buah daari
pengalaman. Perubahan perilaku pada diri individu karena adanya interaksi
antara dirinya dengan lingkungan. Interaksi ini dapat berupa interaksi fisik
seperti, seorang anak akan mengetahui bahwa api itu panas setelah ia menyentuh
api pada lilin yang menyala. Di samping interaksi fisik, perubahan perilaku
ataupun kemampuan dapat pula diperoleh melalui interaksi psikis, misalnya:
seorang anak akan berhati-hati menyeberang jalan setelah ia melihat ada orang
yang tertabrak kendaraan. Perubahan kemampuan tersebut terbentuk karena adanya
interaksi individu dengan lingkungannya. Mengerdipkan mata pada saat memandang
cahaya yang menyilaukan atau keluar air liur karena mencium bau masakan yang
enak bukanlah merupakan hasil belajar. Selain itu, perubahan perilaku karena
karena faktor kematangan juga tidak termasuk belajar. Seorang anak tidak dapat
berbicara sebelum cukup umurnya, tetapi perkembangan kemampuan berbicaranya
sangat dipengaruhi dan tergantung pada rangsangan dari lingkungan sekitarnya.
Begitu pula dengan kemampuan berjalannya (Winataputra, 2007: 1.8-1.9). .
3. Jenis-jenis Belajar
Berkenaan dengan proses belajar yang terjadi pada
diri peserta didik, Gagne (1985) mengemukakan delapan macam jenis belajar.
Kedelapan jenis belajar tersebut adalah:
a. Belajar Isyarat (Signal
Learning)
Belajar melalui isyarat adalah melakukan atau tidak
melakukan sesuatu karena adanya isyarat. Misalnya berhenti bicara ketika
mendapat isyarat telunjuk yang menyilang di mulut sebagai tanda tidak boleh
berisik atau ribut; berhenti menjalankan atau mengendarai sepeda motor ketika
di perempatan jalan melihat isyarat lampu merah menyala.
b. Belajar Stimulus-Respon
(Stimulus Response Learning)
Belajar stimulus-respon terjadi pada individu karena
adanya rangsangan dari luar. Misalnya, menendang bola ketika ada bola yang
menggelinding di depan kaki, berbaris rapi karena adanya komando, berlari
karena adanya suara anjing yang menggonggong dan mengejarnya dari belakang, dan
sebagainya.
c. Belajar Rangkaian (Chaining
Learning)
Belajar rangkaian terjadi melalui perpaduan berbagai
proses stimulus-respon (S-R) yang telah dipelajari sebelumnya sehingga
melahirkan perilaku yang segera atau spontan seperti konsep merah-putih, panas
–dingin, ibu-bapak, kaya-miskin, dan sebagainya.
d. Belajar Asisiasi Verbal (Verbal
Association Learning)
Belajar Asosiasi Verbal terjadi apabila individu
telah mengetahui sebutan bentuk dan dapat menangkap makna yang bersifat verbal.
Misalnya, perahu itu seperti badan itik atau kereta api itu seperti keluaang
(kaki seribu) tu wajahnya seperti bulan kesiangan.
e. Belajar Membedakan
(Discrimination Learning)
Belajar diskriminasi terjadi apabila individu
berhadapan dengan benda, suasana, atau pengalaman yang luas dan mencoba
membeda-bedakan hal-hal yang jumlahnya banyak. Misalnya, membedakan jenis
tumbuhan atas dasar urat daunnya, membedakan suku bangsa atas dasar tempat
tinggalnya, membedakan negara menurut tingkat kemajuannya.
f. Belajar Konsep (Concept
Learning)
Belajar Konsep terjadi apabila individu menghadapi
berbagaai fakta atau data yang kemudian ditafsirkan ke dalam suatu pengertian
atau makna yang abstrak. Misalnya, binatang, tumbuhan, dan manusia termasuk
makhluk hidup, negara-negara yang maju termasuk developed-countries,
aturan-aturan yang mengatur hubungan antar negara termasuk hukum internasional.
g. Belajar Hukum atau Aturan (Rule
Learning)
Belajar Aturan/Hukum terjadi apabila individu
mengunakan beberapa rangkaian peristiwa atau perangkat data yang terdahulu atau
yang diberikan sebelumnya dan menerapkannya atau menarik kesimpulan dari data tersebut
menjadi suatu aturan. Misalnya, ditemukan bahwa benda memuai bila dipanaskan,
iklim di suatu tempat dipengaruhi oleh kedudukan geografis dan astronomis di
muka bumi, harga dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan, dan sebagainya.
h. Belajar Pemecahan Masalah
(Problem Solving Learning)
Belajar Pemecahan Masalah terjadi apabila individu
menggunakan berbagai konsep atau prinsip untuk menjawab suatu pertanyaan.
Misalnya, mengapa bahan bakar minyak naik, mengapa minat masuk perguruan tinggi
menurun. Pemecahan masalah selalu bersegi banyak dan satu sama lain saling
berkaitan.
Urutan jenis-jenis belajar tersebut merupakan
tahapan belajar yang bersifat hierarkis. Jenis belajar yang pertama merupakan
prasyarat bagi jenis belajar yang kedua, jenis belajar yang kedua merupakan
prasyarat bagi jenis belajar yang berikutnya, dan seterusnya. Seorang individu
tidak akan mampu melakukan belajar pemecahan masalah jika individu tersebut
belum menguasai belajar aturan, konsep, membedakan, dan seterusnya.
C. KESIMPULAN
1. Belajar mengacu pada perubahan
perilaku individu sebagai akibat dari proses pengalaman baik yang dialami
maupun yang sengaja dirancang.
2. Ciri-ciri belajar adalah adanya
perubahan perilaku. Perubahan perilaku tersebut merupakan hasil interaksi
individu dengan lingkungan, serta perilaku tersebut bersifat relatif menetap.
3. Delapan jenis belajar menurut
Gagne adalah: belajar isyarat, belajar stimulus respon, Belajar rangkaian,
belajar asosiasi verbal, belajar membedakan, belajar konsep, belajar
hukum/aturan, dan belejar pemecahan masalah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Syah, Muhibin, 2009, Psikologi
Belajar, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
2. Ahmadi, Abu dan Supriyono
Widodo, 2004. Psikologi Belajar, Jakarta: Rineka Cipta.
3. Bell Gredler,M.E., 1986,
Learning and instruction, New York: Macmillan Publishing.
4. Winataputra, Udin S. dkk,
2007, Teori Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Universitas Terbuka.
5. Makmun, Syamsudin Ibn.,
2007, Psikologi Kependidikan, Perangkat Sistem Pengajaran Modul, Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
6. Republik Indonesia, 2003,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar