Puji serta syukur kami
sampaikan kepada Allah SWT, karena-Nya lah kami dapat menyelesaikan tugas
makalah kelompok Sejarah Sastra Indonesia, dengan judul “Karakteristik Karya
Sastra Periode 1933-1942”. Tak lupa kami sampaikan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Diantaranya
kepada dosen pembimbing kami Bapak Asep Jejen Jaelani M.Pd. karena bimbingan
serta dorongan dari beliau lah kami dapat menyelesaikan makalah kelompok ini
tepat pada waktunya. Serta kepada rekan-rekan PBSI 11A yang telah memberikan
saran serta masukannya dalam penyempurnaan makalah ini.
Makalah ini selain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
“Sejarah Sastra Indonesia”, juga untuk menambah tingkat apresiasi kami terhadap
sejarah, salah satunya yaitu sejarah sastra.
Kekurangan masih terdapat dalam makalah ini. Oleh sebab itu,
segala tegur sapa demi penyempurnaan makalah ini sangat kami nantikan.
Terima
Kasih
Penulis
DAFTAR
ISI
PENGANTAR………………………………………………………………………..
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Masalah………………………………………
1.2
Rumusan
Masalah………………………………………………………
1.3
Tujuan
Penelitian……………………………………………………….
BAB 11 LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Sastra……………………………………………………….
2.2 Ilmu-Ilmu Sastra……………………………………………………….
2.3 Sejarah Sastra………………………………………………………….
2.4 Sejarah Sastra Indonesia Periode 1933-1942………………………….
BAB 111 PEMBAHASAN
3.1 Peristiwa Sastra Periode
1933-1942……………………………………
3.2 Karya Sastra dan Pengarang Periode
1933-1942………………………
3.3 Karakteristik Karya Sastra Periode
1933-1942………………………..
3.3.1 Puisi……………………………………………………………...
3.3.2 Prosa
Fiksi……………………………………………………….
3.3.3
Drama……………………………………………………………
BAB 1V KESIMPULAN……………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Sejarah dapat
diartikan sebagai kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa
lampau atau asal-usul (keturunan) silsilah, terutama bagi raja-raja yang
memerintah. Sementara sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sansakerta
‘sastra’, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari
kata dasar “sas” yang berarti “instruksi” atau “ajaran”, dan “tra” yang berarti
“alat” atau “sarana”.
Jadi, sejarah
sastra adalah Sejarah sastra adalah cabang ilmu
sastra yang menyelidiki perkembangan cipta sastra sejak awal pertumbuhannya
hingga perkembangannya sekarang.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana peristiwa sastra periode 1933
– 1942?
2.
Bagaimana karya sastra dan pengarang
periode 1933 – 1942?
3.
Bagaimana karakteristik karya sastra
periode 1933 – 1942, dari segi:
1)
Puisi
2)
Prosa Fiksi
3)
Drama
1.3 Tujuan
Penelitian
Berdasarkan
perumusan masalah di atas, kami menetapkan tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Ingin mengetahui peristiwa sastra pada periode
1933 – 1942.
2. Ingin mengetahui karya sastra dan pengarang
periode 1933 – 1942.
3. Ingin mengetahui karakteristik karya sastra
periode 1933 – 1942, dari segi:
1) Puisi
2) Prosa
Fiksi
3) Drama
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian
Sastra
Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta śāstra, yang
berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar śās-
yang berarti “instruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa
digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang
memiliki arti atau keindahan tertentu. Tetapi kata “sastra” bisa pula merujuk
kepada semua jenis tulisan, apakah ini indah atau tidak.
Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa
dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra
tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan
wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.
2.2 Ilmu-Ilmu Sastra
Ilmu sastra mempunyai
tiga macam cabang ilmu, yaitu:
1. Teori
Sastra
Teori
satra seperti namanya bekerja dalam bidang teori, misalnya penyelidikan hal
yang berhubungan dengan apakah sastra itu, apakah hakikat sastra, dasar-dasar
sastra, membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan teori dalam bidang sastra,
bermacam-macam gaya, teori komposisi sastra (genre), teori penilaian dan
sebagainya.
2. Sejarah Sastra
Sejarah sastra bertugas menyusun
perkembangan sastra dari mulai timbulnya hingga perkembangannya yang terakhir.
Misalnya sejarah timbulnya suatu kesusasteraan, sejarah jenis sastra (genre),
sejarah perkembangan gaya-gaya sastra, sejarah perkembangan pikiran-pikiran
manusia yang dikemukakan dalam karya-karya sastra, dan sebagainya.
3. Kritik Sastra
Kritik sastra ialah ilmu sastra yang
berusaha menyelidiki karya sastra dengan langsung menganalisis, member
pertimbangan baik-buruknya karya sastra, bernilai seni atau tidaknya.
2.3 Sejarah Sastra
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sejarah sastra merupalan cabang
ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa,
misalnya sejarah sastra Indonesia, sejarah sastra belanda, dan sejarah sastra inggris.
Dengan pengertian dasar itu tampak bahwa objek sejarah sastra adalah segala peristiwa yang terjadi pada
rentang masa pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa.
Lexemburg
(1984:200-212) menjelaskan bahwa dalam sejarah sastra dibahas periode-periode
kesustraan, aliran-aliran, jenis-jenis, pengarang-pengarang, dan juga reaksi
pembaca. Semua itu dihubungkan deengan perkembangan di luar sastra seperti,
social, politik, dan filsafat. Jadi, sejarah sastra meliputi penulisan
perkembangan sastra dalam arus sejarah dan di dalam konteksnya. Hal tersebut
senada dengan Teeuw (1984:325) yang mengatakan bahwa penulis sejarah sastra
dalam tegangan antara perkembangan intrinsik dan perkembangan
sosio-budaya-politik dalam masyarakat yang menghasilkan sastra tersebut.
Artinya, sejarah sastra di ulis dalam isolasi terhadap sejarah umum. Contoh
jelas misalnya sejarah sastra Indonesia modern, kaitannya dengan sejarah
sosial-politik Indonesia tidak dapat disangkal lagi. Pembabakan periodisasi
sastra Indonesia tidak lepas dari perkembangan politik. Wellek & warren
(1989:354) mengatakan bahwa pada umumnya, periode sejarah sastra dibagi sesuai
dengan perubahan politik.
Sejarah
sastra pada dasarnya membicarakan mengenai peristiwa-peristiwa penting yang di
jelaskan secara kronologis sehingga terlihat adanya perkembangan pada bidang
sastra. Peristiwa yang dimaksud dalam sejarah sastra adalah peristiwa-peristiwa
yang berkaitan dengan kesastraan, yaitu yang bersangkutan dengan lahirnya
karya-karya sastra, pengarangnya, kualitas karya, munculnya konsep-konsep baru,
serta situasi social-dudaya-politik yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa
penting tersebut.
2.4 Sejarah Sastra Indonesia Periode 1933-1942
1933, armijin pane, amir hamzah , dan sultan
takdir alisjahbana berhasil mendirikan majalah poejangga baroe (1933 – 142 dan
1949 – 1953). Pada mulanya keterangan resmi tentang majalah itu berbunyi “majalah kesustraan dan bahasa serta
kebudayaan umum”, tapi sejak tahun 1935 berbah menjadi “pemabawa semangat baru dalam kesustraan, seni, kebudayaan, dan soal
masarakat umum”, dan sejak 1936 bunyinya berubah menjadi “pembimbing sangat baru yang dinamis untuk
membentuk kebudayaan persatuan Indonesia”.
Majalah
pujangga baru mendapat sambutan hangat dari sejumlah orang terpelajar, seperti
Adinegoro, Ali Hasyim, Amir Sjarifuddin, Aoh K. Mihrdja, H.B Jassin, I Gusti
Nyonya Panji Tisna, Soetan Sjahrir, dan W.J .S. Poewadarminta. Namun di sisi
lain, majalah itu tidak di tanggapi oleh kaum bangsawan Melayu, dan dikritik
keras oleh para guru yang setia kepada pemerintahan kolonial belanda. Kata
mereka, majalah tersebut merusak bahasa Melayu karena memasukaan bahasa daerah
dan bahasa asing.
Majalah itu bertahan hingga pada tahun 1942,
kemudian dilarang oleh penguasa militer jepang karena dianggap kebarat-baratan
dan progresif. Akan tetapi, setelah Indonesia merdeka dapat diterbitkan lagi
pada tahun 1949 -1953 di bawah kendali Sutan Takdir Alisjahbana dengan dukungan
tenaga-tenaga baru sepeti Asrul sani, Chairil Anwar, Dodong Djiwapradja, Harijadi
S. Hartowardojo, dan Rivai Apin.
Majalah ini terbit dengan setia, meskipun
bukan tanpa kesulitan, berkat pengorbanan dan keuletan Sutan Takdir
Alisjahbana. Oplahnya pernah hanya sekitar 500 eksemplar saja setiap terbit,
dan langganan yang membayar tetap hanya sekitar 150 orang. Kerugian di tanggung
oleh kantong Sutan Takdir Alisjahbana dan Arnijn pane.
Kelahiran
majalah pujangga baru yang banyak melontarkan gagasan-gagasan baru dalam bidang
kebudayaan itu bukan tidak menimbulkan reaksi. Keberanian menandakan bahwa
bangsa Indonesia bukan bahasa melayu, menimbulkan berbagai reaksi. Sutan Takdir
dalam sebuah esainya dalam tahun pertama (1933) menulis antara lain : “Bahasa Indonesia ialah bahasa perhubungan
yang berabad-abad tumbuh perlahan-lahan
dikalangan penduduk Asia selatan dan yang setelah bangkitnya pergerakan
kebangunan rakyat Indonesia pada pemulaan abad dua puluh dengan insyaf diangkat
dan dijunjung sebagai bahasa persatuan”. Sikap ini menimbulka reaksi dari
tokoh bahasa yang erat berpegangan kepada
kemurnian bahsa melau tinggi seperti H. Agus Salim, Sutan Moh. Zain, S.M
Latief, dan lain-lain. Maka terjadinya polemic tentang bahasa yang tidak hanya
dimulut dalam mejalah pujangga baru saja, melaikan juga meluas dalam surat
kabar dalam majalah-majalah yang terbit pada masa itu.
Polemik golongan pujangga baru dengan kaum tua itu
tidak hanya mengenai bahsa saja, karena gerakan pujangga baru bukanlah hanya
gerakan bahasa dan sastra belaka, tetapi juga mengenai kebudayaan, pendidikan,
pandangan hidup dan kemasyarakatan. Sutan takdir yang pro-Barat dan mengatakan
bahwa hanya dengan jalan mengeruk ilmu dan roh barat sepuas-puasnya sejalan
kita dapat mengimbangi bangsa Barat. Ia berharap dengan Dr. soetomo, Ki Hadjar
Dewantara, dan lain-lain yang hendak mempertahankan tradisionalisme yang
dianggap sebagai kepribadian bangsa. Sanusi pane juga turut aktif dalam
polemic-polemik itu dan akhirnya menatakan bahwa baginya manusia (Indonesia)
baru haruslah merupakan campur antara faust (yang dianggap mewkili roh
kepribadian barat) dengan arjuna (sebagai wakil roh kepribadian timur). Sikap
ini dinyatakan dalam dramanya yang berujudul manusia baru (1940). Sebelumnya
sanusi pane dikenal sebaai orang yang sangat mempetahankan Timur dalam
menghadapi Sutan Takdir Alisjahbana.
Tokoh-tokoh
yang terlibat dalam polemic itu antara lain Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi
Pane, R.M. Ng. Poerbatjaraka, Dr. Soetomo, Adinegoro, Dr. M. Amir, dan Ki
Hadjar Dewantara. Sebagai dari polemic mengenai kebudayaan itu kemudian
dikumpulkan oleh Achdit K. Mihadja dan diterbitkan sebagai buku dengan judul
polemic kebudayaan (1977)
BAB
111
PEMBAHASAN
3.1 Peristiwa
Sastra Periode 1933-1942
Asal
mula pujaga baru sebagai satu fenomena
kebudayaan dapat ditelusur kebelakang pada organisasi-organisasi kebudayaann
kaum muda nasionalis daerah-daerah pada awal abad ke-20 di Indonesia. Yang
pertama diantara organisasi-organisasi tersebut jong java yang dibentuk dalam tahun
1915 dibawah pengayoman Budi Utomo, bertujuan menyelenggarakan dan
mengembangkan kesadaran dan pengertian kaum muda terpelajar jawa akan warisan
kebudayaan jawa. Dalam tahun 1917 gerakan ini diikuti oleh jong sumatramen
Bond, dengan tujuan yang sama, tapi juga menyadari adanya perbedaan etnis
kedaerahannya; karena itu menyatakan bahwa tujuannya hendak mengembangkan
kesadaran kesatuan identitas diantara orang-orang Sumatra melalui
penggunaan”kesenian, bahasa dan adat” Sumatera. Salah satu jalan guna mencapai
tujuan itu ialah mengembangkan bahasa melayu sebagai bahasa umum yang
mempersatukan orang-orang Sumatera adapun salah satu cara mengembangkan bahasa
melayu ialah menyebarkan kesadaran akan kesusastraan melayu, dan mendorong kaum
muda sematera yang berpendidikan Belanda
agar menulis dalam bahasa melayu sebagai pernyataan identitas bersama
kebudayaan mereka. Dan itulah yang melahirkan apa yang sekarang pada umumnya
dianggap sebagai awal puisi Indonesia modern.
Baik
Jong Java maupun Jong Sumatramen Bond merasakan perlunya kaum muda Indonesia
yang berpendidikan Belanda agar mengenal warisan kebudayaan asli. Memang dalam
beberapa hal mereka sudah terasing dari kebudayaan nenek moyangnya sebagai
akibat pendidikan Belanda, karena itu perlu berusaha menyesuaikan persepsi
terhadap norma-norma budaya eropa (“kemoderenan” mereka) dengan ikatan perasaan
dan kejiwaan yang mendalam pada identits yang asli, mempernyawakan yang “modern
itu kedalam usaha memperkembangkan warisan tradisiolan”.
Perkembangan
dalam gerakan politik segera membuat komposisi dan pendangan organisasi pemuda
berubah. Setelah 1924, Dr. Sutomo membentuk Indonesische Studieclub, terdapat
hasrat yang makin meningkat pada semua organisasi yang berorientasi
nasionalisme untuk bersatu dibawah panji-panji “Indonesia” (yang berlawanan
dengan “Hindia”). Bagi gerakan-gerakan pemuda, ini berarti suatu dimensi baru
dalam masalah identitas kebudayaan, karena jika kesetiaan mereka sejakk itu
tertuju pada “Indonesia”, tentu masalahnya bukan lagi hanya terbatas pada
warisan kebudayaan “jawa” dan “sumatera” saja. Pada tahun 1926, Kongres Pemuda
Indonesia yang pertama diadakan di Jakarta nebegaskan persatuan semua gerakan
kebudayaan nasionalis pemuda daerah sebagai suara pemuda “Indonesia”. Laporan
mengenai kongres itu menggambarkan adanya kesepakatan pikiran, sehingga
membuahkan pendapat bahwa sudah tiba saatnya bagi masing-masing kelompok
menganggap dirinya bukan saja “pemuda jawa” atau “pemuda sumatera”, tapi juga
“pemuda Indonesia”. Dalam salah satu siding kongres itu, Muhamad Yamin yang
dalam tahun 1920 mengatakan bahwa bahasa melayu merupakan bahasa kesatuan
sumatera, menyampaikan ceramah dalam bahasa Belanda mengenai “Kemungkinan
Bahasa dan Sastra Indonesia dimasa depan”. Bahasa yang dipakai sebagai sarana guna
membangkitkan kesadaran orang_orang sumatera itu agaknya dapat berperan pula
dalam membantu perkembangan cita-cita baru kesatuan Indonesia. Bahasa kesatuan
dan kesatuan tradisi kebudayaan yang tampak dalam kesusastraanya memberikan
sumbangan penting dalam mewujudkan cita-cita baru.
3.2 Karya Sastra Dan
Pengarang Periode 1933-1942
1. Sutan Takdir
Alisjahbana
Motor
dan pejuang bersemangat gerakan pujangga baru ialah Sutan Takdir Alisjahbana
(lahir di Natal pada tahun 1908). Ia telah sejak tahun 1929 muncul dalam
panggung sejarah sastra Indonesia, yaitu ketika menerbitkan romannya yang
berjudul Tak Putus Dirundung Malang. Roman
ini diterbitkan oleh Balai Pustaka seperti juga roman-romannya yang lain. Roman
kedua yang ditulisnya berjudul Dian Yang
Tak Kunjung Padam (1932) dan yang ketiga berjudul Layar Terkembang (1936). Roman yang berjudul Anak Perawan Di Sarang Penyamun (1941) ditulisnya lebih dahulu
daripada Layar Terkembang dan dimuat
sebagai feuilleton dalam majalah Pandji Poestaka, tetapi diterbitkan
sebagai buku lebih kemudian. Tiga puluh tahun kemudian konon Takdir menulis
sebuah roman pula berjudul Grotta Azzurra
(Gua Biru) yang diterbitkan berkenaan dengan hari lahirnya yang ke-60.
Layar Terkembang merupakan
roman Takdir yang terpenting. Roman ini jelas bukan roman sekedar bacaan
perintang waktu, melainkan sebuah roman bertendensi. Roman ini biasanya
dianggap sebagai salah satu roman terpenting yang terbit pada tahun tiga
puluhan, merupakan salah satu karya terpenting pula dari para pengarang
pujangga baru.
Kecuali
sebagai penulis Roman, Takdir terkenal sebagai penulis esai dan sebagai pembina
bahasa Indonesia. Oleh Ir. S. Udin ia pernah disebut sebagai “insinyur bahasa
Indonesia”. Atas inisiatif Takdir melalui Poedjangga
Baroe-lah maka pada tahun 1938 di Solo diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia yang pertama. Sehabis perang Takdir pernah menerbitkan dan memimpin
majalah Pembina Bahasa Indonesia (1947
– 1952). Dalam majalah itu dimuat segala hal-ihwal perkembangan dan masalah
bahasa Indonesia. Tulisan-tulisannya yang berkenaan dengan bahasa kemudian
diterbitkan dengan judul Dari Perjuangan dan
Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957).
Takdir
pun juga menulis sajak. Sajak-sajak yang ditulisnya dekat setelah kematian
istrinya yang pertama, diterbitkan sebagai nomor khusus majalah Poejangga Baroe berjudul Tebaran Mega (1936). Dalam sajak-sajak
itu tergambar pergaulan Takdir yang semula hampir tenggelam dalam kesunyian
teosofi Krishnamurti lalu bangkit menjadi pejuang bersemangat yang
gembira-riang. Sajak-sajaknya terang dan jelas, kadang-kadang terasa prosaic.
Kecuali yang dimuat dalam Tebaran Mega masih
ada pula beberapa sajaknya yang tersebar dalam berbagai majalah.
Esai-esai
tentang sastra sebenarnya banyak juga, antara lain yang dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe, misalnya ‘Puisi
Indonesia Zaman Baru’, ‘Kesusasteraan di zaman Pembangunan Bangsa’ (1938), dan
lain-lain. Ia pun menyusun dua serangkai bunga rampai Puisi Lama (1941) dan Puisi
Baru (1946) dengan kata pengantar yang menekankan pendapatnya bahwa sastra
merupakan pancaran masyarakatnya masing-masing. Sastra lama sebagai pancaran
masyarakat lama dan sastra baru sebagai pancaran masyarakat baru. Perubahan
masyarakat itu menyebabkan perubahan puisi dan sastranya pula.
2. Armijn
Pane
Organisator
pujangga baru ialah Armijn Pane, adiknya Sanusi Pane yang tiga tahun lebih muda
(lahir di Muarasipongi pada tahun 1908). Tahun 1923 ia mengunjungi sekolah
kedokteran (STOVIA dan kemudian NIAS) tetapi keinginan hatinya tertumpu pada
bahasa dan sastra, maka ia pindah ke AMS A-1 (sastra Barat) di Solo. Kemudian
ia bergerak di surat kabar dan perguruan kebangsaan. Tahun 1933 ia bersama
Takdir dan kawan sekolahnya, Amir Hamzah, menerbitkan majalah Poedjangga Baroe.
Armijn
terkenal sebagai pengarang roman Belenggu(1940),
yang terbit pertama kali dalam majalah Poedjangga
Baroe. Roman ini mendapat reaksi yang hebat, baik dari yang pro maupun yang
kontra terhadapnya. Yang pro menyokongnya sebagai sebuah karya cabul yang
terlalu banyak melukiskan kehidupan nyata yang selama itu disembunyikan
dibelakang dinding-dinding kesopanan.
Tetapi
keributan itu tidak menghalangi jalan roman ini untuk menjadi roman terpenting
yang ditulis para pengarang pujangga baru.sebelum menulis romannya itu, Armijn
Pane banyak menulis cerpen, sajak, esai, dan sandiwara. Cerpennya ‘Barang Tiada
Berharga’ dan sandiwaranya ‘Lukisan Masa’ merupakan prototip buat romannya Belenggu.
Cerpen-cerpennya
bersama yang ditulisnya sesudah perang, kemudian dikumpulkan dengan judul Kisah Antara Manusia (1953). Sedang sandiwara-sandiwaranya
dikumpulkan dengan judul Jinak-Jinak
Merpati (1954). Sajak-sajaknya dengan judul Jiwa Berjiwa diterbitkan sebagai nomor istimewa majalah Poedjangga Baroe (1939). Dan
sajak-sajaknya yang tersebar, kemudian dikumpulkan juga dan dalam berbagai majalah, belum dibukukan.
Dalam bahasa Belanda ,Armijin menulis Kort Overzicht vande modern Indonesische
Literatuur (1949).
Gaya bahasa
Armijn sangat bebas dari struktur bahasa Melayu. Dalam karangannya ia pun lebih
banyak melukiskan gerak kejiwaan tokoh – tokohnya daripada gerak
lahirnya.Inilah terutama yang membedakan Armijn dengan para pengarang
sejarahnya. Karena itu maka ia oleh beberapa orang penelaan sastra Indonesia
dianggap sebagai pendahulu angkatan sesudah perang, paling tidak dianggap sebagai “missing link” antara para pengarang sebelum dan sesudah perang.
3. Amir
Hamzah
Dalam lingkungan
pujangga baru ada dua orang penyair yang dikenal sebagai penyair religious
(keagamaan). Yang satu Amir Hamzah, Islam. Sedangkan yang satu lagi J.E. Tatengkeng,
Kristen. Sebenarmnya keduanya tidak semata-mata menulis sajak. Keduanya juga
menulis prosa, baik berupa esai, kritik maupun sketsa. Namun mereka lebih
terkenal sebagai penyair.
Amir
Hamzah (1911 – 1946) ialah seorang keturunan bangsawan Langkat di Sumatera
Timur. Ia pergi sekolah ke Jawa, paling akhir sebagai mahasiswa Fakultas Hukum,
dengan dibiayai oleh pamannya yang menjadi Sultan Langkat. Di Jawa ia aktif
juga dalam kegiatan-kegiatan gerakan kebangsaan. Ia pun bersama dengan Sutan
Takdir dan Armijn Pane mendirikan majalah Poedjangga
Baroe. Tetapi ia kemudian harus meninggalkan semuanya itu karena mendapat
panggilan dari pamannya. Ia harus pulang ke Langkat dan menikah dengan salah
seorang putrid Sultan Langkat. Dengan berat hati ia meninggalkan “tanah Jawa”
dan sekolahnya di Fakultas Hukum yang hampir tamat, dan konon juga seorang
gadis yang dicintainya. Kesemuanya itu menyebabkan ia merasa sunyi dan sepi.
Dan dengan indah pengalamannya itu kemudian dituangkannya dalam bentuk puisi,
menjadi sekumpulan sajak berjudul Nyanyi
Sunyi (1937). Sajak-sajaknya yang ditulis lebih dahulu, kemudian
dikumpulkan dan diterbitkan juga dengan judul Buah Rindu (1941). Disamping kedua kumpulan sajaknya itu, Amir
Hamzah menerbitkan pula sekumpulan sajak terjemahan dari para penyair
negri-negri tetangga seperti dari Jepang, India, Arab, Persia, dan
lain-lainnya, berjudul Setanggi Timur (1939).
Dalam majalah Poedjangga Baroe tahun
1-11 (1933-1942) ia pun mengumumkan terjemahan lengkap karya sastra klasik
India Bhagavad Gita melalui bahasa
Belanda. Karangan-karangan yang semula tersebar dalam majalah itu kemudian
dikumpulkan dalam buku H.B. Jassin, yang berjudul Amir Hamzah, Raja Penyair Pujangga Baru (1963). Telaah Amir Hamzah
tentang sastra Melayu lama dengan judul Sastra
Melayu Lama dengan Tokoh-tokohnya terbit di Medan tahun 1941.
Di
Langkat ia memegang kedudukan sebagai bangsawan, menjadi “hulu negri”. Ketika
terjadi “revolusi sosial” tahun 1946 ia diculik dan dibunuh beserta sejumlah
keluarga kesultanan Langkat lainnya.
4. J.E.
Tatengkeng
Jan Engelbert Tatengkeng lahir di Sangihe
pada tanggal 19 Oktober 1907. Ia adalah seorang penyair beragama Kristen yang
taat. Bahkan ketika anaknya meninggal selagi bayi, ia segera menganggapnya
sebagai kehendak Tuhan yang dihadapinya dengan hati yang merasa dihibur pula
oleh-Nya, seperti dapat kita baca dalam sajaknya ‘Anakku’.
Sajak itu bersama dengan sejumlah sajak
lain diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Rindu Dendam (1934). Isinya umumnya merupakan sajak-sajak kerindudendaman
penyairnya terhadap Yang Satu, Tuhan Yang Maha Esa.
Rindu
Dendamialah satu-satunya buku J.E. Tatengkeng yang pernah terbit. Tapi
sebenarnya masih banyak lagi buah tangannya yang masih berserakan dalam
berbagai majalah, terutama dalam majalah Poegjangga
Baroe.
5. Asmara
Hadi dan Penyair-Penyair Pujangga Baru
Diantara
para penyair yang sajak-sajaknya sering dimuat dalam majalah Poejangga Baroe, banyak yang
sesungguhnya menulis sajak yang jumlahnya lebih dari cukup untuk dibukukan
tetapi tidak mereka lakukan. Diantaranya ialah Asmara Hadi yang sering
mempergunakan nama samara H.R, atau Ipih, A.M. Daeng Myala (nama samara A.M.
Thahir), Mozasa (nama samaran Muhammad Zain Saidi), M.R. Dajoh dan lain-lain.
Sajak-sajak
Asmara Hadi yang nama sebenarnya Abdul Hadi (lahir di Bengkulu 1914) salah
satunya berjudul Kuingat Padamu (Poedjangga
Baroe, 1937).
A.M. Thahir (lahir di Ujungpandang 1909)
yang setiap menulis mempergunakan nama samara A.M. Dg. Myala kecuali dalam Poedjangga Baroe, sajak-sajaknya juga
dimuat dalam Pandji Poestaka dan
lain-lain. Sesudah perang ia masih juga menulis dan ada sajak-sajaknya yang
dimuat dalam majalah-majalah kebudayaan terkemuka seperti majalah Indonesia. Salah-satu sajaknya yaitu
berjudul Buruh (Poedjangga Baroe,
1937).
Moehammad
Zain Saidi (lahir di Asahan, bulan Oktober 1913), nama samarannya yaitu Mozasa.
Ia beberapa lamanya hidup menjadi guru di Kisaran, ketika ia mulai menulis
sajak. Sajak-sajaknya banyak melukiskan kegembiraan alam. Seperti dalam
sajaknya yang berjudul Di Kaki Gunung.
A.
Rivai (lahir di Bonjol, Sumatera Barat, tanggal 1 Juli 1876) juga kalau menulis
selalu mempergunakan nama samara, yaitu Yogi. Namanya telah muncul sebelum
majalah Poedjangga Baroe terbit,
yaitu dalam Sri Poestaka tahun 1930
ketika ia mengumumkan sekumpulan sajak dengan judul Gubahan. Kumpulan sajaknya yang kedua berjudul Puspa Aneka diterbitkannya sendiri, setahun kemudian, tahun 1931.
Tetapi ia biasanya tergolong kepada penyair Poedjangga
Baroe, karena sajak-sajakya pun banyak dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe.
6. Para
Pengarang Wanita
Para pengarang wanita Indonesia jumlahnya
tidak banyak, apalagi pada masa sebelum perang. Yang paling terkenal dan paling
penting ialah Selasih atau Seleguri, keduanya nama samara Sariamin (lahir di
Talu, Sumatera Barat, tahun 1909) yang menulis dua buah roman dan sajak-sajak.
Kedua buah roman itu ialah Kalau Tak
Untung (1933) dan Pengaruh Keadaan (1937).
Sajak-sajaknya banyak dimuat dalam majalah Poedjangga
Baroe dan Pandji Poestaka.
Pengarang wanita lain yang juga mengarang
roman ialah Hamidah yang konon merupakan nama samara Fatimah H. Delais (1914 –
1953) yang pernah namanya tercantum sebagai pembantu majalah Poedjangga Baroe dari Palembang. Roman
yang ditulisnya hanya sebuah, berjudul Kehilangan
Mestika (1935).
Adlin
Affandi dan Sa’adah Alim (1898 – 1968) masing-masing menulis sebuah sandiwara,
masing-masing berjudul Gadis Modern
(1941) dan Pembalasannya (1941).
Sa’adah Alim disamping itu menulis pula sejumlah cerpen yang kemudian dibukukan
dengan judul Taman Penghibur Hati
(1941). Ia pun menerjemahkan Angin Timur
Angin Barat karangan seorang pengarang wanita kebangsaan Amerika yang
pernah mendapat hadiah Nobel 1938, ialah Pearl S. Buck (lahir 1892). Disamping
itu ia pun banyak menerjemahkan buku-buku lain.
Pada saat Jepang datang, muncul pula
Maria Amin (dilahirkan di Bengkulu tahun 1920) yang menulis sajak-sajak dalam
majalah Poedjangga Baroe, tetapi
peranannya lebih berarti pada masa Jepang ketika ia menulis dan mengumumkan
beberapa prosa lirik yang simbolistis.
3.3 Karakteristik
Karya Sastra
3.3.1 Puisi
1. Puisi
Amir Hamzah
Padamu
Jua
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia, selalu
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Dimana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Saying berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai
Puisi Amir Hamzah diatas mengisahkan tentang pertemuan dua orang
kekasih yang telah lama terpisah, yaitu antara aku dengan kekasihnya, yaitu Tuhan. Puisi ini banyak menggunakan bahasa symbol yang berkonotasi positif, seperti kandil, pelita, dan dara. Selain itu banyak juga digunakan
kata-kata berkonotasi negatif, seperti kikis, hilang, cemburu, ganas, cakar,
lepas, nanar, sasar, sunyi.
2.
Puisi J.E. Tatengkeng
Anakku
Engkau datang menghintai hidup,
Engkau datang menunjukkan muka.
Tetapi sekejap matamu kaututup,
Melihat terang anakanda tak suka.
Mulut kecil tiada kaubuka,
Tangis teriakmu tak diperdengarkan,
Alamat hidup wartakan suka,
Kau diam anakku, kami kautinggalkan
Sedikitpun matamu tak mengerling,
Memandang ibumu sakit berguling,
Air matamu tak bercucuran.
Tinggalkan ibumu ta’ penghiburan.
Kau diam, diam, kekasihku,
Tak kaukatakan barang pesanan,
Akan penghibur duka di dadaku,
Kakasihku, anakku, mengapa kian?
Sebagai anak melalui sedikit
Akan rumah kami berdua,
Tak anak tak insaf sakit,
Yang diderita orang-tua.
Tangan kecil lemah bergantung,
Tak diangkat memeluk ibu,
Menyapu dadanya, menyapu jantung,
Hiburkan hatinya, sayangkan ibumu.
Selekas anakanda datang,
Selekas anakanda pulang,
Tinggalkan ibu sakit terlentang,
Tinggalkan bapa sakit mengenang.
Selamat datang anakanda kami,
Selamat jalan kekasih hati.
Anak kami Tuhan berikan,
Anak kami Tuhan panggilkan,
Hati kami Tuhan hiburkan,
Nama Tuhan kami pujikan.
Engkau datang menunjukkan muka.
Tetapi sekejap matamu kaututup,
Melihat terang anakanda tak suka.
Mulut kecil tiada kaubuka,
Tangis teriakmu tak diperdengarkan,
Alamat hidup wartakan suka,
Kau diam anakku, kami kautinggalkan
Sedikitpun matamu tak mengerling,
Memandang ibumu sakit berguling,
Air matamu tak bercucuran.
Tinggalkan ibumu ta’ penghiburan.
Kau diam, diam, kekasihku,
Tak kaukatakan barang pesanan,
Akan penghibur duka di dadaku,
Kakasihku, anakku, mengapa kian?
Sebagai anak melalui sedikit
Akan rumah kami berdua,
Tak anak tak insaf sakit,
Yang diderita orang-tua.
Tangan kecil lemah bergantung,
Tak diangkat memeluk ibu,
Menyapu dadanya, menyapu jantung,
Hiburkan hatinya, sayangkan ibumu.
Selekas anakanda datang,
Selekas anakanda pulang,
Tinggalkan ibu sakit terlentang,
Tinggalkan bapa sakit mengenang.
Selamat datang anakanda kami,
Selamat jalan kekasih hati.
Anak kami Tuhan berikan,
Anak kami Tuhan panggilkan,
Hati kami Tuhan hiburkan,
Nama Tuhan kami pujikan.
Puisi J.E Tatengkeng
diatas mengisahkan tentang seorang ayah yang kehilangan anaknya yang baru saja
lahir. Puisi ini tidak seperti puisi Amir Hamzah. Dari segi kata-kata yang
dipilihnya cukup mudah untuk dipahami. Tetapi J.E Tatengkeng mengangkat objek
yang sama seperti Amir Hamzah, yaitu tentang Tuhan.
3.3.2
Prosa Fiksi
1.
Novel karya
Armijn Pane
Sinopsis
Belenggu
Dokter Sukartono adalah suami
seorang perempuan berparas ayu, pintar, serta lincah yang bernama Sumartini
atau panggilannya Tini. Walaupun mereka telah menikah, sebenarnya Sukartono
dengan Sumartini tidaklah saling mencintai. Mereka berdua menikah dengan alasan
masing-masing. Dokter Sukartono menikahi Sumartini karena kecantian,
kecerdasan, serta kelincahannya. Sedangkan Sumartini menikahi Dokter Sukartono
karena hendak melupakan masa silamnya. Menurutnya dengan menikahi seorang
dokter, ia dapat menghapus kenangan masa lalunya. Karena keduanya tidak saling
mencintai, kehidupan rumah tangga mereka tidaklah harmonis. Mereka tidak saling
berbicara dan saling bertukar pikiran. Masalah yang mereka hadapi tidak pernah
dipecahkan bersama-sama sebagaimana layaknya suamiistri. Mereka sering salah
paham dan suka bertengakar.Kesalah pahaman dan pertengkaran selalu terjadi dalam
keluarga mereka. Ketidak harmonisan keluarga mereka semakin menjadi
karena Dokter Sukartono sangat mencintai danbertanggung jawab penuh terhadap
pekerjaannya. Dia bekerja tanpa kenal waktu. Jam berapa saja ada pasien yang
membutuhkannya, dia dengan sigap berusaha membantunya. Perhatian yang
seharusnya dicurahkan kepada isterinya diberikan kepada seluruh pasiennya.
Akibatnya, Dokter Sukartono melupakan kehidupan rumah tangganya sendiri.
Dokter Sukartono sangat
dicintai oleh pasiennya. Dia tidak hanya suka menolong kapan pun pasien yang
membutuhkan pertolongan, tetapi ia juga tidak meminta bayaran kepada pasien
yang tidak mampu. Itulah sebabnya, dia dikenal sebagi dokter yang sangat
dermawan. Kesibukan Dokter Sukartono yang tidak kenal waktu tersebut semakin
memicu pertengkaran dalam rumah tangga. Menurut Sumartini, Dokter Sukartono
sangat egois. Sumartini merasa telah disepelekan dan direndahkan karena selalu
ditinggalkan suaminya yang selalu sibuk menolong pasien-pasiennya. Dia merasa
dirinya telah dilupakan. Karena Sukartono tidak mampu memenuhi hak sebagai
seorang suami, maka Sumartini sering bertengkar. Hampir setiap hari mereka
bertengkar. Masing-masing tidak mau mengalah dan merasa paling benar. Suatu
hari Dokter Sukartono mendapat panggilan dari seorang wanita yang mengaku
dirinya sedang sakit keras. Wanita itu meminta Dokter Sukartono datang ke hotel
tempat dia menginap. Dokter Sukartono pun datang ke hotel tersebut. Setibanya
di hotel, dia merasa terkejut sebab pasien yang memanggilnya adalah Yah atau
Rohayah, wanita yang telah dikenalnya sejak kecil. Sewaktu masih bersekolah di
Sekolah Rakyat, Yah adalah teman sekelasnya.
Pada saat itu Yah sudah
menjadi janda. Dia korban kawin paksa. Karena tidak tahan hidup dengan suami
pilihan orang tuanya, dia melarikan diri ke Jakarta dan menjadi wanita
panggilan. Yah sebenarnya secara diam-diam sudah lama mencintai Dokter
Sukartono. Dia sering menghayalkan Dokter Suartono sebagai suaminya. Itulah
sebabnya, dia mencari alamat Dokter Sukartono. Setelah menemukannya, dia
menghubungi Dokter Sukartono dengan berpura-pura sakit. Karena sangat
merindukan Dokter Sukartono, pada saat itu juga, Yah menggodanya. Dia sangat
mahir dalam hal merayu laki-laki karena pekerjaan itulah yang dilakukannya
selama di Jakarta. Pada awalnya Dokter Sukartono tidak tergoda akan rayuannya,
namun karena Yah sering meminta dia untuk mengobatinya, lama kelamaan Dokter
Sukartono mulai tergoda akan rayuannya. Yah dapat memberikan banyak kasih
sayang yang sangat dibutuhkan oleh Dokter Sukartono yang selama ini tidak
diperoleh dari istrinya. Karena Dokter Sukartono tidak pernah merasakan
ketentraman dan selalu bertengkar dengan istrinya, dia sering mengunjungi Yah.
Dia mulai merasakan hotel tempat Yah menginap sebagai rumahnya yang kedua.
Lama-kelamaan hubungan Yah
dengan Tono diketahui oleh Sumartini. Betapa panas hatinya ketika mengetahui
hubungan gelap suaminya dengan wanita bernama Yah. Secara diam-diam Sumartini
pergi ke hotel tempat Yah menginap. Dia berniat hendak memaki Yah sebab telah
mengambil dan dan menggangu suaminya. Akan tetapi, setelah bertatap muka dengan
Yah, perasaan dendamnya menjadi luluh. Kebencian dan nafsu amarahnya tiba-tiba
lenyap. Yah yang sebelumnya dianggap sebagai wanita jalang, ternyata merupakan
seorang wanita yang lembut dan ramah. Tini merasa malu pada Yah. Dia merasa
bahwa selama ini dia bersalah pada suaminya. Dia tidak dapat berlaku seperti
Yah yang sangat didambakan oleh suaminya. Sepulang dari pertemuan dengan Yah,
Tini mulai mengintropeksi diri. Dia merasa malu dan bersalah kepada suaminya.
Dia merasa dirinya belum pernah memberi kasih sayang yang tulus pada suaminya.
Selama ini dia selalu kasar pada suaminya. Dia merasa telah gagal menjadi
Istri. Akhirnya, dia memutuskan untuk berpisah dengan Sukartono.
Permintaan tersebut dengan
berat hati dipenuhi oleh Dokter Sukartono. Bagaimanapun, dia tidak mengharapkan
terjadinya perceraian. Dokter Sukartono meminta maaf pada istrinya dan berjanji
untuk mengubah sikapnya. Namun, keputusan istrinya sudah bulat. Dokter
Sukartono tidak mampu menahannya dan akhirnya mereka bercerai. Betapa sedih
hati Dokter Sukartono akibat perceraian tersebut. Hatinya bertambah sedih saat
Yah juga pergi. Yah hanya meninggalkan sepucuk surat yang mengabarkan jika dia
mencintai Dokter Sukartono. Dia akan meninggalkan tanah air selama-lamanya dan
pergi ke Calidonia. Dokter Sukartono merasa sedih dalam kesendiriannya.
Sumartini telah pergi ke Surabaya. Dia mengabdi pada sebuah panti asuhan yatim
piatu, sedangkan Yah pergi ke negeri Calidonia.
Tono adalah seorang dokter yang sangat peduli kepada pekerjaannya dan memilih untuk berpergian tiap
hari untuk mengobati pasien-pasiennya meninggalkan rumah sehingga istrinya,
Tini. merasa diabaikan dan membalasnya dengan sikap yang amat tidak acuh
terhadap suaminya. Dan hal ini makin memperunyam masalah dalam rumah tangga
itu.
Tono lalu bertemu dengan Yah,
perempuan jalang namun sebenarnya hidup seperti itu karena kepedihan hidupnya.
Yah pada awalnya mengaku sebagai Ny. Eni. Yah ternyata teman sepermainan Tono
sewaktu kecil, dan memendam perasaan cinta terhadap Tono sehingga Yah pun
berusaha memikat hati Tono.dan ternyata Yah adalah seorang penyanyi yang di
kagumi oleh Tomo yaitu Siti Hayati,
Namun akhir kisah cinta
segitiga ini pun berakhir pedih. Tidak ada seorang pun mendapatkan Tono. Karena
dua wanita yang mencintainya itu memutuskan untuk mengikhlaskan Tono kepada
satu sama lain.
Belenggu menceritakan tentang
perjalanan rumah tangga seorang dokter, yaitu Tono dengan seorang perempuan
bernama Tini. Dalam novel ini Armijn menggunakan tanda ellipsis (…) untuk
mencerminkan konflik batin tokoh masing-masing.
2. Novel karya Sutan Takdir Alisjahbana
Sinopsis
Layar Terkembang
Tuti dan Maria adalah kakak beradik,
anak dari Raden Wiriatmadja mantan Wedana daerah Banten. Sementara itu ibu
mereka telah meninggal. Meskipun mereka adik-kakak, mereka memiliki watak yang
sangat berbeda. Tuti si sulung adalah seorang gadis yang pendiam, tegap, kukuh
pendiriannya, jarang sekali memuji, dan aktif dalam organisasi-organisasi
wanita. Sementara Maria adalah gadis yang periang, lincah, dan mudah kagum.
Diceritakan pada hari Minggu Tuti
dan Maria pergi ke akuarium di pasar ikan. Di tempat itu mereka bertemu dengan
seorang pemuda yang tinggi badannya dan berkulit bersih, berpakaian putih
berdasi kupu-kupu, dan memakai kopiah beledu hitam. Mereka bertemu ketika
hendak mengambil sepeda dan meninggalkan pasar, pada saat itu pula mereka
berbincang-bincang dan berkenalan. Nama pemuda itu adalah Yusuf, dia adalah
seorang mahasiswa sekolah tinggi kedokteran. Sementara Maria adalah murid H.B.S Corpentier Alting Stichting dan
Tuti adalah seorang guru di sekolah H.I.S
Arjuna di Petojo. Mereka berbincang samapai di depan rumah Tuti dan Maria.
Yusuf
adalah putra dari Demang Munaf di Matapura, Sumatra Selatan. Semenjak pertemuan
itu Yusuf selalu terbayang-bayang kedua gadis yang ia temui di akuarium.,
terutama Maria. Yusuf telah jatuh cinta kepada Maria sejak pertama kali
bertemu, bahkan dia berharap untuk bisa bertemu lagi dengannya. Tidak disangka
oleh Yusuf, keesokan harinya dia bertemu lagi di depan hotel Des Indes. Semenjak pertemuan keduanya itu, Yusuf mulai sering menjemput
Maria untuk berangkat sekolah serta dia juga sudah mulai berani berkunjung ke
rumah Maria. Sementara itu Tuti dan ayahnya melihat hubungan kedua remaja itu
tampak bukan lagi hubungan persahabatan biasa.
Tuti sendiri terus disibukan oleh
kegiatan-kegiatan nya dalam kongres Putri Sedar yang diadakan di Jakarta, dia
sempat berpidato yang isinya membicarakan tentang emansipasi wanita. Tuti
dikenal sebagai seorang pendekar yang pandai meimilih kata, dapat membuat
setiap orang yang mendengarnya tertarik dan terhanyut.
Sesudah ujian doctoral pertama dan kedua berturut-turut selesai, Yusuf pulang ke
rumah orang tuanya di Martapura, Sumatra Selatan. Selama berlibur Yusuf dan Maria saling mengirim
surat, dalam surat tersebut Maria mengatakan kalau dia dan Tuti telah pindah ke
Bandung. Kegiatan surat menyurat tersebut membuat Yusuf semakin merindukan
Maria. Sehingga pada akhirnya Yusuf memutuskan untuk segera kembali ke Jakarta
dan ke Bandung untuk mengunjungi Maria. Kedatangan Yusuf disambut hangat oleh
Maria dan Tuti. Setelah itu Yusuf mengajak Maria berjalan-jalan ke air terjun
Dago, tetapi Tuti tidak dapat meninggalkan kesibukannya. Di tempat itu Yusuf
menyatakan perasaan cintanya kepada Maria.
“Maria, Maria, tahukah engkau saya cinta
kepadamu?”
“Lama benar engkau menyuruh saya
menanti katamu…”
Setelah kejadian itu, kelakuan Maria
berubah. Percakapannya selalu tentang Yusuf saja, ingatannya sering tidak
menentu, dan sering melamun. Sehingga Rukamah sering mengganggunya. Sementara
hari-hari Maria penuh kehangatan bersama Yusuf, Tuti sendiri lebih banya
membaca buku. Sebenarnya pikiran Tuti terganggu oleh keinginannya untuk
merasakan kemesraan cinta. Melihat kemesraan Maria dan Yusuf, Tuti pun ingin
mengalaminya. Tetapi Tuti juga memiliki ke khawatiran terhadap hubungan Maria dan Yusuf. Kemudian Tuti
menasehati Maria agar jangan sampai diperbudak oleh cinta. Nasihat tulus Tuti
justru memicu pertengkaran diantara mereka dan memberikan pukulan keras
terhadap Tuti.
Karena hal itu, Tuti sama sekali
tidak berbicara dengan Maria, juga dia merasa sendiri dan sepi dalam
kehidupannya.
Ketika Maria mendadak terkena
penyakit malaria dan TBC, Tuti pun kembali memperhatikan Maria, Tuti menjaganya
dengan sabar. Pada saat itu juga adik Supomo datang atas perintah Supomo untuk
meminta jawaban pernyataan cintanya kepada Tuti. Sebenarnya Tuti sudah ingin
memiliki seorang kekasih, tetapi Supomo dipandangnya bukan pria idaman yang
diinginkan Tuti. Maka dengan segera Tuti menulis surat penolakan.
Sementara itu, keadaan Maria semakin
hari makin bertambah parah. Kemudian ayahnya, Tuti, dan Yusuf memutuskan untuk
merawatnya di rumah sakit. Dokter yang merawatnya menyarankanagar Maria dibawa
ke rumah sakit khusus penderita penyakit TBC wanita di Pacet, Sindanglaya Jawa
Barat. Perawatan Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. Namun keadaannya
tidak juga mengalami perubahan, yang terjadi adalah kondisi Maria semakin
lemah.
Pada
suatu kesempatan, Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna dan Saleh di
Sindanglaya, disitulah Tuti mulai terbuka dalam memandang kehidupan di
pedesaan. Kehidupan suami istri yang melewati hari-harinya dengan bercocok
tanam, ternyata juga mampu membimbing masyarakat sekitarnya menjadi sadar akan
pentingnya pendidikan. Keadaan tersebut benar-benar telah menggugah alam
pikiran Tuti. Ia menyadari bahwa kehidupan mulia, mengabdi kepada masyarakat
tidak hanya dapat dilakukan di kota atau dalam kegiatan-kegiatan organisasi,
sebagaimana yang selama ini ia lakukan. Tetapi juga di desa atau di masyarakat
mana pun, pengabdian itu dapat dilakukan.
Semakin hari hubungan Yusuf dan tuti
semakin akrab, sementara itu kondisi kesehatan Maria justru semakin
mengkhawatirkan. Dokter yang merawatnya pun sudah tidak dapat berbuat lebih
banyak lagi. Pada saat kritis Maria mengatakan sesuatu sebelum ia menginggal.
“Badan saya tidak kuat lagi, entah apa
sebabnya. Tak lama lagi saya hidup di dunia ini. Lain-lain rasanya… alangkah
berbahagia saya rasanya di akhirat nanti, kalau saya tahu, kalau kakandaku
berdua hidup rukun dan berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam
beberapa hari ini. Inilah permintaan saya yang penghabisan dan saya, saya tidak
rela selama-lamanya kalau kakandaku masing-masing mencari peruntungan pada
orang lain.” Demikianlah pesan terakhir almarhum Maria.
Setelah
beberapa lama kemudian, sesuai dengan pesan terakhir Maria, Yusuf dan Tuti
menikah dan bahagia selama-lamanya.
Didalam novel tersebut STA menggambarkan
kehidupan wanita di masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang atau
bisa gender disebut sebagai Wanita Modern seperti Takdir menggambarakan pada
karakter Tuti. Di dalam cerita ini ada dua karakter wanita utama; Tuti dan
Maria. Tuti adalah seorang yang berbakat pintar/ cerdas, seorang wanita yang
kuat, pekerja keras, mandiri dan dia juga sebagai seorang pemimpin organisasi
Putri Sedar yang menuntut kesamaan hak. Maria adalah karakter yang lemah, mudah
sedih, bergantung kepada orang lain, wanita yang kolot.
Dari kedua novel diatas, dapat ditemukan
bahwa Armijn Pane dan STA memiliki perbedaan dalam pengangkatan tema. Armijn
lebih kepada kehidupan masyarakat sehari-hari, sementara STA lebih kepada
emansipasi wanita.
3.3.3 Drama
Sinopsis drama Ken Arok dan Ken Dedes
Ken Arok adalah
seorang pemimpin rampok yang ditakuti oleh rakyat kediri. Ken Arok dan
kelompoknya sering merampok penduduk atau siapa saja yang berada di Kediri.
Kelompok ini terkenal sangat kejam bahkan tidak segan-segan membunuh orang yang
dirampoknya. Hasil rampok dibagi-bagikan pada anak buahnya dan digunakan untuk
bersenang-senang dan berjudi.
Sebagai raja Kediri,
Kertajaya tidak bisa tinggal diam. Ia sudah berkali-kali mengirim prajuritnya
untuk menangkap Ken Arok dan kelompoknya. Akan tetapi usahanya gagal, karena
kelompok Ken Arok sangat tangguh. Sebagai jalan keluarnya, akhirnya Kertajaya
mengutus para pendeta untuk menemui Ken Arok berharap semoga para pendeta
berhasil membujuknya kembali ke jalan yang benar.
Sebelum para pendeta
yang diutus pergi menemui Ken Arok, terlebih dahulu merekan singgah di Tumapel.
Tumapel ini berada di bawah kekuasaan Kediri. Mereka menemui Akuwu Tumapel
yaitu Tunggul Ametung untuk membicarakan masalah tersebut. Tunggul Ametung mendukung
usul rajanya. Para pendeta yang diutus pun pergi menemui Ken Arok di hutan
karena memang tempat Ken Arok adalah di sana. Ken Arok mau menerima usul dari
pendeta akan tetapi dengan satu syarat dirinya harus dijadikan pengawal Akuwu
Tumapel.
Singkat cerita Ken
Arok telah menjadi pengawal Tumapel beserta kelompoknya. Di balik semua itu
rupanya Ken Arok punya rencana lain yaitu membunuh Tunggul Ametung karena Ken
Arok ingin menguasai daerah tersebut sekaligus ingin memiliki Ken Dedes, istri
Tunggul Ametung yang memang sangat cantik. Dengan menghalalkan segala cara
akhirnya Ken Arok berhasil menyingkirkan Akuwu Tumapel bahkan Empu Gandring
seorang pandai keris pun menjadi korbannya karena Empu Gandring belum
menyelesaikan keris pesanannya.
Tak lama kemudian
Ken Arok dapat menguasai Tumapel dan dia menjadi raja sekaligus memperistri Ken
Dedes walaupun secara paksa. Nama Tumapel diganti dengan Singasari. Berita
tentang kematian Tunggul Ametung telah sampai ke Kediri. Kini yang menjadi raja
ialah Ken Arok dan Ken Arok ingin menguasai Kediri. Menurut salah satu pendeta,
Kertajaya tidak pernah takut pada siapa pun kecuali pada Betara guru. Hal ini
dimanfaatkan oleh Ken Arok. Ken Arok meminta pendeta lohgawe untuk
mengangkatnya menjadi Betara Guru. Ken Arok berencana akan menyerang kediri.
Berita tersebut telah didengar oleh Kertajaya. Apalagi setelah tahu yang akan
menyerang wilayahnya adalah Betara Guru, maka tanpa diduga Kertajaya
menghunuskan kerisnya pada dirinya sendiri.
Delapan belas tahun
berlalu, Kerajaan Singasari meluas. Banyak tempat judi, mabuk-mabukan dan
berpoya-poya. Sementara Ken Dedes tidak bisa berbuat apa-apa. Ken Dedes
memiliki putera empat, putera pertama adalah Anusapati, anak dari Tunggul
Ametung, kemudian anak dari Ken Arok tiga orang yaitu Wong Ateleng, Panji
Saprang, dan Agnibaya. Anusapati kini sudah remaja dan berada bersama kakeknya
di Panawijen untuk menuntut ilmu. Anusapati mengetahui kalau dirinya bukan anak
kandung Ken Arok dan Anusapati pun telah tahu bahwa ayah kandungnya Tunggul Ametung
yang telah dibunuh oleh Ken Arok.
Semasa Pemerintahan
Ken Arok, banyak rakyat menderita. Anusapati tak dapat membiarkan itu.
Anusapati bersama orang-orang yang tertindas berontak dan berencana akan
membunuh Ken Arok. Dan siang harinya ketika pesta sedang berlangsung di Keraton
Singasari, tanpa diduga Anusapati telah berhasil membunuh Ken Arok dengan
bantuan orang desa. Akhirnya Anusapati naik tahta. Dia mengganti Ken Arok
menjadi raja Singasari.
Drama ini lebih
banyak menampilkan latar kerajaan. Ceritanya sendiri seputar kerajaan walaupun
walaupun diselingi latar hutan belantara sebagai tempat Ken Arok sebelum
menjadi raja. Latar yang diambil adalah kerajaan Jawa maka otomatis budaya yang
ditampilkan adalah budaya Jawa dengan mengangkat kesenian Jawa pula seperti
seni gamelan yang mendukung suasana kerajaan.
Bahasa yang
digunakan ialah bahasa percakapan sehari-hari. Tidak menggunakan bahasa melayu.
Setiap tokoh memiliki ciri khas bahasanya seperti untuk tokoh Ken Arok memiliki
contoh bahasa pertentangan karena cenderung sebagai tokoh antagonis dan
berwatak pembangkang. Berbeda dengan tokoh pendeta lohgawe, yang menggunakan
bahasa penegasan karena tokoh tersebut merupakan tokoh yang berpikiran dan
berpandangan serius dan mungkin sekali penuh idealis.
BAB 1V
KESIMPULAN
1.
Peristiwa sastra periode 1933-1942 yaitu tentang lahirnya majalah
pujangga baru, dan adanya polemikdiantara kaum muda dan kaum tua. Polemik
golongan pujangga baru dengan kaum tua itu tidak hanya mengenai bahsa
saja, karena gerakan pujangga baru bukanlah hanya gerakan bahasa dan sastra
belaka, tetapi juga mengenai kebudayaan, pendidikan, pandangan hidup dan
kemasyarakatan. Sutan takdir yang pro-Barat dan mengatakan bahwa hanya dengan
jalan mengeruk ilmu dan roh barat sepuas-puasnya sejalan kita dapat mengimbangi
bangsa Barat. Ia berharap dengan Dr. soetomo, Ki Hadjar Dewantara, dan
lain-lain yang hendak mempertahankan tradisionalisme yang dianggap sebagai
kepribadian bangsa. Sanusi pane juga turut aktif dalam polemic-polemik itu dan
akhirnya menatakan bahwa baginya manusia (Indonesia) baru haruslah merupakan
campur antara faust (yang dianggap mewkili roh kepribadian barat) dengan arjuna
(sebagai wakil roh kepribadian timur). Sikap ini dinyatakan dalam dramanya yang
berujudul manusia baru (1940). Sebelumnya sanusi pane dikenal sebaai orang yang
sangat mempetahankan Timur dalam menghadapi Sutan Takdir Alisjahbana.
2.
Karya sastra dan pengarang periode 1933-1942, yaitu:
a. Sutan Takdir
Allisjahbana, karya-karyanya:
a) Dian yang tak
kunjung padam (1932)
b) Layar terkembang
(1936)
c) Anak perawan di
sarang penyamun (1941).
b. Armijn Pane,
karya-karyanya:
a) Belenggu (1940)
b) Jiwa berjiwa (1939).
c. Amir Hamzah,
karya-karyanya:
a) Nyanyi Sunyi (1937)
b) Buah rindu (1941)
c) Setanggi timur
(1939)
d. J.E. Tatengkeng,
karya-karyanya:
a) Rindu dendam (1934)
3.
Karakteristik karya sastra periode 1933-1942, yaitu:
a. Puisi
Dari puisi karya Amir Hamzah dan J.E Tatengkeng, dapat disimpulkan
bahwa keduanya memiliki persamaan dalam memilih tema. Yaitu tentang Tuhan.
Tetapi puisi Amir Hamzah lebih bertemakan kepada kepasrahan seorang hamba
terhadap Tuhannya, sementara dari puisi J.E Tatengkeng lebih bertemakan tentang
seorang Ayah yang mengikhlaskan anaknya diambil lagi oleh Tuhan.
b. Prosa Fiksi
Dari novel Belenggu (Armijn Pane) dan Layar terkembang (STA)
terdapat perbedaan mengenai pemilihan tema. Tema yang diambil oleh Armijn yaitu
lebih kepada kehidupan masyarakat sehari-hari. Sementara STA memilih tema
tentang emansipasi wanita.
c. Drama
Drama Ken Arok dan Ken Dedes berceritakan tentang kerajaan di Jawa.
Sehingga latar dan bahasa yang digunakan dalam naskah drama tersebut tidak
terlepas dari unsur jawa.
DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana, Sutan
Takdir. (1999). Layar Terkembang.
Jakarta: Balai Pustaka.
Foulcher, Keith.
(1991). Pujangga Baru. Jakarta: Girimukti Pusaka.
Hamzah, Amir.
(2008). Nyanyi Sunyi. Jakarta: Dian
Rakyat.
Jaelani, Asep Jejen.
(2013). Sejarah Sastra Indonesia.
Kuningan: PBSI FKIP UNIKU.
Pane, Armijin.
(2010). Belenggu, Jakarta : Dian Rakyat
Pradopo, Rachmat
djoko. (2011). Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press
Rosidi, Ajip.
(2000). Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia.
Bandung: Putra Abardin.
Sugiantomas, Aan.
(2011). Langkah Awal Menuju Apresiasi
Sastra Indonesia. Kuningan: PBSI FKIP UNIKU.
Sugiantomas, Aan.
(2012). Kajian Prosa Fiksi dan Drama.
Kuningan: PBSI FKIP Kuningan: PBSI FKIP
UNIKU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar